KABARBURSA.COM - Lululemon Athletica Inc dituduh mengelabui konsumen dengan kampanye marketing 'Be Planet' yang menggambarkan merek ini berkelanjutan dan ramah lingkungan, meskipun emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya justru meningkat. Dugaan ini mencuat dalam gugatan kelompok yang diajukan pada hari Jumat.
“Industri pakaian jadi merupakan kontributor utama terhadap krisis lingkungan, dan sebagai salah satu perusahaan terbesar di dunia, Lululemon memiliki dampak signifikan terhadap iklim dan lingkungan,” demikian pengaduan yang diajukan di Pengadilan Distrik AS untuk Distrik Selatan Florida. “Tindakan dan produknya secara langsung merusak lingkungan dan memburuknya kesehatan planet ini—bertentangan dengan janji dan representasi Be Planet.”
Lululemon belum memberikan komentar terkait tuduhan tersebut.
Konsumen sering kali membayar lebih mahal untuk produk yang diklaim ramah lingkungan. Dengan keyakinan bahwa mereka berinvestasi dalam produk berkelanjutan, konsumen rela mengeluarkan biaya tambahan.
Namun, ketika klaim tersebut tidak didukung oleh fakta, konsumen membayar lebih tanpa mendapatkan manfaat lingkungan yang dijanjikan.latan olahraga ini meluncurkan Be Planet Impact Agenda pada Oktober 2020, yang menguraikan strategi jangka panjang untuk mengurangi dampak lingkungannya.
Salah satu rencana tersebut adalah memastikan setidaknya 75 persen produk perusahaan mengandung bahan yang berkelanjutan serta mengurangi penggunaan air tawar pada tahun 2025.
Namun, kampanye Be Planet disebut membuat konsumen percaya bahwa Lululemon adalah perusahaan "ramah lingkungan" yang berkontribusi pada perbaikan lingkungan, padahal sebenarnya tidak demikian, kata pengaduan tersebut.
Laporan dampak perusahaan tahun 2022 menunjukkan emisi ruang lingkup 3 Lululemon—emisi tidak langsung dari rantai pasokannya—meningkat menjadi 1,2 juta ton karbon dioksida. Emisi ini hampir dua kali lipat dari emisi ruang lingkup 3 tahun 2020. Pengaduan tersebut menyatakan bahwa emisi akan terus meningkat seiring upaya perusahaan menggandakan pendapatannya pada tahun 2026.
Pendapatan Lululemon telah lebih dari dua kali lipat antara tahun 2018 hingga 2022, mencapai USD8,1 miliar. Menurut hasil fiskal kuartal pertama 2024, perusahaan mengoperasikan lebih dari 700 toko dan berambisi mencapai target 2026 dengan menggandakan pendapatan pria dan e-commerce.
Pengaduan tersebut juga menyebut Lululemon menggunakan gambar sungai, hutan, dan alam di situs web serta pemasarannya untuk "memperkuat dan melanggengkan" kesan menyesatkan bahwa perusahaan tersebut ramah lingkungan kepada konsumen yang rela membayar harga premium untuk produk berkelanjutan.
Penggugat utama, Amandeep Gyani, mengajukan klaim berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen Florida dan berupaya mewakili kelas konsumen nasional dan negara bagian yang telah membeli produk Lululemon sejak Oktober 2020. Gyani juga mengajukan klaim atas pengayaan yang tidak adil dan menuntut ganti rugi.
Gugatan ini muncul di tengah meningkatnya pengawasan terhadap dampak iklim industri fashion. Anggota parlemen dari Partai Demokrat baru-baru ini meluncurkan kaukus untuk mengkaji daur ulang tekstil dan penggunaan serat berkelanjutan, sementara merek pakaian peduli lingkungan seperti Patagonia dan Everlane telah mendorong peraturan pengungkapan emisi.
Perlu diketahui, Greenwashing adalah praktik di mana perusahaan mengklaim memiliki kredensial lingkungan yang baik untuk menarik lebih banyak pelanggan atau menghindari pengawasan tanpa benar-benar melakukan tindakan yang signifikan untuk melindungi lingkungan. Ini adalah bentuk penipuan yang membuat konsumen percaya bahwa produk atau layanan yang mereka beli ramah lingkungan, padahal kenyataannya tidak demikian.
Greenwashing dapat merugikan konsumen yang ingin membuat pilihan yang benar-benar berkelanjutan dan dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap klaim lingkungan yang sebenarnya valid.
Oleh karena itu, sangat penting bagi konsumen untuk melakukan riset dan mencari sertifikasi pihak ketiga yang independen saat membeli produk yang diklaim ramah lingkungan.raktiknya, greenwashing dapat berupa penggunaan bahasa yang menyesatkan, gambar-gambar alam yang menenangkan, atau janji-janji besar tentang keberlanjutan yang tidak didukung oleh tindakan konkret.
Contoh-contoh greenwashing meliputi:
- Label Ramah Lingkungan yang Menyesatkan: Perusahaan mungkin menempelkan label seperti "eco-friendly" atau "green" tanpa ada sertifikasi yang sah atau tanpa mematuhi standar lingkungan yang ketat.
- Klaim yang Tidak Dapat Diverifikasi: Pernyataan tentang pengurangan emisi atau penggunaan bahan daur ulang yang tidak dapat diverifikasi oleh pihak ketiga yang independen.
- Informasi yang Tidak Lengkap: Menyoroti satu aspek ramah lingkungan dari produk sambil mengabaikan dampak negatif lainnya. Misalnya, botol plastik yang diklaim terbuat dari bahan daur ulang tetapi tetap berkontribusi terhadap polusi plastik.
- Penggunaan Gambar dan Simbol Alam: Penggunaan gambar-gambar seperti hutan, sungai, dan hewan untuk menciptakan kesan produk yang ramah lingkungan tanpa ada bukti nyata di balik klaim tersebut. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.