KABARBURSA.COM – Pemerintah mengandalkan program Makan Bergizi Gratis atau MBG sebagai jurus baru menggerakkan ekonomi lokal. Program prioritas Presiden Prabowo Subianto ini diklaim bakal mendorong perputaran uang di desa-desa, menghidupkan rantai pasok pangan lokal, dan pada akhirnya menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam teori, ini terdengar manis—bayangkan petani, peternak, hingga koperasi lokal kecipratan cuan dari pengadaan bahan baku program makan gratis skala nasional.
Namun, di tengah euforia rencana besar ini, muncul pertanyaan apakah program ini benar-benar akan menghidupkan ekonomi lokal atau justru malah memperkuat sistem yang sentralistik? Apalagi, pemerintah telah membentuk Badan Gizi Nasional untuk mengawasi distribusi pangan MBG dan mendirikan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai dapur umum di berbagai daerah.
Prabowo sendiri beberapa hari lalu menyatakan optimistismenya bahwa MBG akan menggerakkan ekonomi lokal. “Tentunya program Makan Bergizi Gratis yang diperkirakan akan meningkatkan pertumbuhan di seluruh daerah-daerah di negara kita karena uang berputar di desa, di kecamatan, di kabupaten,” ujar Prabowo dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Senin, 17 Februari 2025.
Dukungan terhadap program ini juga datang dari Kementerian Koperasi. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menyebut ada hampir 2.000 koperasi telah didata untuk berperan sebagai pemasok bahan baku MBG. “Ada 1.923 koperasi yang siap menampung, berkontribusi dalam program makan bergizi gratis. Hal itu termasuk koperasi telur, koperasi sayur, beras, koperasi ikan, dan sebagainya,” katanya seusai rapat bersama Prabowo di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat, 3 Januari 2025, lalu.
Tapi benarkah skema ini akan berimbas langsung pada ekonomi daerah atau ada risiko bahwa program ini justru memperkuat kontrol pemerintah pusat atas rantai pasok pangan nasional?
Masyarakat Ingin MBG Dikelola Berbasis Komunitas
[caption id="attachment_119014" align="alignnone" width="2560"] Presiden RI Prabowo Subianto menyapa para siswa di dalam kelas saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) program Makan Bergizi Gratis di SDN 1 dan SDN 2 Kedung Jaya, Bogor, Senin, 10 Februari 2025. Dalam kunjungannya, Prabowo berinteraksi dengan murid-murid sambil memastikan jalannya kegiatan belajar mengajar tetap kondusif. Foto: Dok. Setpres.[/caption]
Sebuah laporan dari CELIOS memberikan perspektif berbeda. Dalam survei mereka, mayoritas masyarakat tidak menginginkan pengelolaan program MBG sepenuhnya di tangan pemerintah pusat.
“53 persen responden berpendapat bahwa program ini sebaiknya dikelola oleh kombinasi dan kolaborasi beberapa pihak,” tulis laporan CELIOS yang ditulis oleh para penelitinya, antara lain Media Wahyudi Askar, Galau D Muhammad, Bakhrul Fikri, dan Jaya Darmawan.
Hanya 28 persen yang setuju pemerintah pusat mengelola program ini sendiri, sementara 11 persen memilih pemerintah daerah. Sisanya terbagi ke organisasi non-pemerintah dan sekolah, tetapi tidak ada yang memilih pihak swasta karena kekhawatiran akan komersialisasi program ini.
CELIOS menekankan pendekatan berbasis komunitas lebih efektif karena memungkinkan adaptasi dengan kebutuhan lokal, meningkatkan akuntabilitas, dan mengurangi risiko penyimpangan. Namun, realitasnya, program ini tetap dikendalikan oleh Badan Gizi Nasional sebagai pengelola utama dengan distribusi makanan yang dikontrol melalui SPPG di setiap daerah.
Tiap daerah di Indonesia punya karakter pangan yang khas, yang jika dikelola secara lokal bisa lebih efektif memenuhi kebutuhan gizi masyarakat setempat. CELIOS menyoroti pendekatan berbasis komunitas akan lebih adaptif terhadap kebutuhan daerah dibandingkan pola distribusi sentralistik. Pasalnya, setiap wilayah memiliki preferensi dan sumber pangan yang berbeda, yang belum tentu cocok jika dipaksakan dalam standar nasional yang seragam.
[caption id="attachment_110981" align="alignnone" width="2223"] Makan Gratis Bergizi Perdana di SD Negeri Cilangkap 3 Depok, Senin, 6 Januari 2025. Makan Gratis Bergizi 724 Murid dari kelas 1 sampai 6 di hadiri Menteri Infokom RI, Mutia Hafid. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji.[/caption]
Di Papua, misalnya, masyarakat lebih akrab dengan sagu dan tanaman hutan sebagai sumber karbohidrat utama dibandingkan nasi. Di Nusa Tenggara Timur, umbi-umbian dan sorgum justru lebih sesuai dengan kondisi tanah dan pola konsumsi masyarakatnya. Begitu juga di Aceh, di mana makanan berbasis ikan, labu, dan tanaman lokal seperti tengango lebih umum digunakan dalam keseharian.
Jika distribusi tetap dikendalikan secara sentralistik, ada risiko program ini malah mengabaikan pola pangan lokal dan memaksakan satu standar yang tidak relevan dengan kebutuhan daerah. Akibatnya, bisa timbul inefisiensi dan pemborosan, di mana bahan makanan yang tidak sesuai selera masyarakat menjadi mubazir atau malah tidak dikonsumsi. Padahal, jika pola desentralisasi diterapkan, komunitas lokal dan koperasi daerah bisa lebih leluasa menyesuaikan menu sesuai dengan bahan baku yang tersedia di wilayah mereka.
Menariknya, dari hasil survei CELIOS, nama Badan Gizi Nasional sama sekali tidak muncul dalam pilihan masyarakat tentang siapa yang seharusnya mengelola program ini. Alih-alih, masyarakat lebih memilih Kementerian Kesehatan (34,52 persen), Kementerian Pendidikan (30,31 persen), dan Kementerian Sosial (23,34 persen) sebagai pengelola utama.
Koperasi Berdaya atau Jadi Perpanjangan Tangan Pusat?
[caption id="attachment_82756" align="alignnone" width="2514"] Ilustrasi: Pedagang ayam di daerah. Foto: Kabar Bursa/abbas sandji.[/caption]
Keterlibatan koperasi dalam program MBG memang terlihat sebagai langkah mendukung ekonomi daerah. Tapi, seberapa besar peran koperasi dalam menentukan mekanisme distribusi dan harga bahan pangan?
Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengklaim koperasi akan menjadi pemasok utama. Ia juga menambahkan, “Arahan Presiden, bahan bakunya harus dari Indonesia sehingga bisa menggerakkan ekonomi masyarakat. Bahan bakunya bukan impor.”
Tapi ada satu hal yang perlu dicermati, yakni koperasi hanya sebagai pemasok, bukan pengambil keputusan utama. Bahan pangan tetap didistribusikan melalui SPPG di bawah koordinasi Badan Gizi Nasional. Artinya, koperasi hanya akan memenuhi pesanan sesuai regulasi pusat.
Sistem ini bisa dibilang desentralisasi semu. Secara teknis, koperasi daerah memang dilibatkan, tapi mereka tidak memiliki kewenangan penuh untuk menentukan mekanisme distribusi atau pihak yang menyesuaikan kebutuhan pangan daerah. Koperasi hanya menjadi rantai pasok, bukan pengendali pasar. Lantas, jika koperasi hanya sebagai pemasok dan distribusi tetap dikendalikan oleh pemerintah pusat, apakah benar ini menguntungkan ekonomi daerah?
Jika program ini memang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, seharusnya distribusi dan keputusan harga bahan pangan lebih fleksibel mengikuti kondisi di tiap daerah. Tapi dengan skema saat ini—di mana SPPG menjadi pusat kendali distribusi—ada risiko sentralisasi yang berlebihan.
Harga bahan pangan bisa lebih kaku karena ditentukan pusat, bukan berdasarkan permintaan dan penawaran lokal.
Peluang usaha di daerah bisa terbatas, karena hanya koperasi yang terdaftar yang bisa ikut dalam program ini. Jika ada keterlambatan distribusi, dampaknya bisa signifikan, karena semua keputusan tetap harus menunggu koordinasi dari pusat.
Masalah sentralisasi ini juga bisa berbahaya, seperti yang terjadi di India. Program makanan gratis serupa di sana pernah mengalami tragedi besar, di mana 23 anak meninggal akibat keracunan makanan dari dapur umum terpusat. Jika pengelolaan terlalu kaku dan pengawasan tidak maksimal, risiko ini bisa saja terjadi di Indonesia.
Memberdayakan atau Mengikat?
[caption id="attachment_25211" align="alignnone" width="1563"] Ayam menjadi salah satu menu utama dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa[/caption]
Program MBG memang membawa potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi daerah. Namun, jika pengelolaannya terlalu terpusat, manfaatnya bisa jadi tidak sebesar yang dibayangkan. Dari survei CELIOS, mayoritas masyarakat menginginkan pengelolaan berbasis komunitas, bukan kendali penuh dari pemerintah pusat. Selain itu, koperasi yang dilibatkan belum tentu bisa benar-benar mandiri karena sistem distribusi tetap dikendalikan pusat.
Jika pemerintah benar-benar ingin memastikan program ini membawa pertumbuhan ekonomi lokal, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
Lebih banyak keterlibatan pemerintah daerah dalam keputusan distribusi, bukan hanya koperasi sebagai pemasok. Harga bahan pangan harus bisa disesuaikan dengan kondisi pasar di daerah, bukan keputusan kaku dari pusat. SPPG sebaiknya lebih fleksibel dalam bekerja sama dengan komunitas lokal, bukan hanya menjalankan perintah dari Badan Gizi Nasional.
Jadi, apakah program ini benar-benar memberdayakan ekonomi daerah atau justru tetap sentralistik dengan kemasan baru? Itu yang perlu publik pantau ke depan.(*)