KABARBURSA.COM - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) melihat bahwa pemangkasan suku bunga yang terjadi saat ini membawa dampak positif bagi instrumen obligasi. The Fed telah menurunkan suku bunganya sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75-5,00 persen, dan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 6 persen.
Menurut Laras Febriany, Portfolio Manager Fixed Income MAMI, penurunan suku bunga berdampak langsung pada pasar obligasi, karena ada hubungan erat antara suku bunga, imbal hasil, dan harga obligasi. Penurunan suku bunga membuat instrumen obligasi lebih diminati, karena investor dapat mengunci imbal hasil pada tingkat yang lebih tinggi. Seperti dalam keterangannya di Jakarta, 20 September 2024.
Laras juga menambahkan bahwa Indonesia memiliki profil ekonomi yang menarik di antara negara berkembang, dengan pertumbuhan ekonomi stabil, inflasi rendah, utang negara yang terkendali, stabilitas politik, serta imbal hasil obligasi yang tinggi. Ini menjadi daya tarik bagi investor asing, meskipun stabilitas nilai tukar Rupiah tetap menjadi faktor kunci. Dimulainya pemangkasan suku bunga The Fed dapat mendukung Rupiah dan menarik lebih banyak arus dana asing ke pasar obligasi Indonesia.
Merespons Inflasi Terkendali
PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menyampaikan bahwa pasar global bersiap memasuki era baru dengan semakin banyak negara mulai masuk dalam siklus pemangkasan suku bunga. Perubahan ekspektasi suku bunga global telah mengurangi tekanan terhadap Rupiah, dan diharapkan stabilitas rupiah yang berkesinambungan dapat menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia.
Sejumlah bank sentral di beberapa negara maju bahkan telah memangkas suku bunga mereka sejak kuartal pertama yang dilakukan untuk berbagai tujuan, seperti merespon inflasi yang terkendali (seperti terjadi di Swiss, Kanada, zona Euro, dan Inggris Raya), menjaga keseimbangan nilai tukar (Denmark), atau karena melemahnya permintaan domestik (Swedia).
Adapun normalisasi inflasi dijadikan pertimbangan pemangkasan suku bunga bagi negara-negara berkembang di Amerika Latin (Brasil, Kolombia, dan Cili) dan Eropa Tengah-Timur (Hungaria, Ceko, dan Rumania).
Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income mengatakan salah satu pusat ekonomi dunia, The Fed dalam rapat FOMC di bulan Juli telah mengindikasikan potensi pemangkasan suku bunga di bulan September semakin terbuka. Secara eksplisit, The Fed juga mulai memperhatikan risiko pelemahan sektor tenaga kerja, dan menyatakan ke depannya akan memberikan fokus yang seimbang antara faktor inflasi dan sektor tenaga kerja.
“Meningkatnya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed yang semakin mendekat, tecermin di pasar US Treasury (UST), dimana imbal hasil UST tenor pendek turun lebih banyak dibanding tenor panjang, dan selisih imbal hasil antara tenor 10Y dan 2Y semakin menipis, berada pada level terendah sejak kenaikan FFR agresif di 2022. Perubahan ekspektasi suku bunga juga terlihat dampaknya pada USD yang mulai melemah terhadap mata uang lainnya,” jelas Ezra, Rabu 14 Agustus 2024.
Pasar Global dan Asia
Ezra menambahkan, kawasan Asia menjadi yang akan diuntungkan oleh siklus pelonggaran moneter global. Secara historis, Asia diuntungkan saat USD melemah pada 24 tahun terakhir, pasar saham Asia 12 kali lebih unggul dibandingkan pasar saham global, dan dari 12 kali keunggulan tersebut 9 kali terjadi pada iklim pelemahan USD.
Sedangkan perekonomian Asia juga relatif kuat ditopang oleh membaiknya aktivitas perdagangan global. Hal tersebut berlawanan dengan ekonomi AS yang menunjukkan sinyal moderasi.
Pasar domestik
Dari sisi lainnya, Dr. Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist menyatakan, perubahan ekspektasi The Fed di bulan Juli membuat tekanan terhadap Rupiah mulai reda, dan investor asing mulai mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi setelah tiga bulan berturut-turut mencatat penjualan bersih.
“Tekanan Rupiah yang mereda juga diindikasikan oleh rata-rata imbal hasil lelang SRBI yang menurun,” terang Katarina.
Katarina meyakini, stabilitas Rupiah yang berkesinambungan akan menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia.
Ke depan, faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas rupiah di antaranya adalah perubahan ekspektasi FFR, pemilu AS, outlook postur RAPBN-2025, stabilitas inflasi domestik, dan kebijakan pemerintah baru.
MAMI sendiri memperkirakan, Rupiah hingga akhir tahun masih berada di kisaran Rp15.400 – 16.000 per dolar AS.
Menurut Katarina, meredanya tekanan pada Rupiah dan kembalinya arus dana asing ke pasar domestik menjadi faktor pendukung bagi kebijakan Bank Indonesia (BI). Inflasi domestik turun ke batas bawah target dan konsumsi domestik yang cenderung lemah dapat menjadi pertimbangan utama BI untuk memangkas suku bunga.
Namun di sisi lain, besaran pemangkasan suku bunga oleh BI diperkirakan lebih konservatif dibandingkan pemangkasan suku bunga The Fed. Hal ini dilakukan untuk memperlebar selisih suku bunga dengan AS demi menjaga stabilitas Rupiah. Hingga akhir 2025, pasar memperkirakan BI Rate akan turun 100 basis poin (bps) dan suku bunga The Fed turun sebesar 150 bps.
Pemerintah telah menaikkan anggaran belanja negara 2024 menjadi Rp3.412 triliun (naik Rp87 triliun dari anggaran awal), terutama dialokasikan untuk belanja modal, material, dan subsidi.
Akselerasi realisasi belanja negara diharapkan dapat menjadi faktor pendukung pertumbuhan ekonomi dan menopang likuiditas. Di paruh pertama 2024, realisasi anggaran baru mencapai 41 persen (Rp1.398 triliun) dari target.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.