KABARBURSA.COM - Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami tren penurunan sejak 2011, dengan kontribusi sektor manufaktur yang juga melemah. Guru Besar Ekonomi Universitas Paramadina, Ahmad Badawi Saluy, menyoroti kondisi ini sebagai tantangan utama bagi daya saing ekonomi nasional.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2011 hingga 2024 memang cenderung menurun. Bahkan, sempat mengalami kontraksi saat pandemi COVID-19. Hingga triwulan IV 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,03 persen. Pada awal pemerintahan Jokowi di 2014, pertumbuhan ekonomi masih berada di angka 6 persen, namun terus menurun hingga saat ini,” ujar dia dalam diskusi publik, dikutip Jumat 28 Februari 2025.
Selain itu, sektor industri manufaktur yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi juga mengalami pelemahan. Target kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) awalnya ditetapkan sebesar 19,9-20,05 persen, tetapi realisasi di 2024 hanya mencapai 18,98 persen. Bahkan, dari total pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen, sektor industri pengolahan hanya berkontribusi sekitar 1 persen, diikuti sektor perdagangan sebesar 0,67 persen.
“Kontribusi manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya mencapai puncaknya pada periode 1999-2001. Namun, setelah itu terus mengalami penurunan, begitu pula dengan sumbangannya terhadap PDB per kapita,” tambahnya.
Daya saing industri manufaktur Indonesia juga menunjukkan tren menurun. Dalam lima tahun terakhir, skor Competitive Industrial Performance (CPI) Index Indonesia cenderung stagnan di peringkat ke-39, tertinggal dari Vietnam (peringkat ke-30), Thailand (ke-25), dan Malaysia (ke-20). Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah masih dominannya industri berbasis sumber daya alam (resource-based industry), sementara sektor berteknologi tinggi masih sangat minim.
“Jika dilihat dari struktur industri pengolahan berdasarkan teknologi, Indonesia didominasi oleh industri berbasis sumber daya alam sebesar 47,4 persen. Sementara sektor industri berteknologi tinggi hanya menyumbang 4,5 persen. Bandingkan dengan Malaysia yang memiliki industri berbasis teknologi tinggi mencapai 43,2 persen, Thailand 19,4 persen, dan Vietnam 41,1 persen. Ini menunjukkan bahwa struktur industri Indonesia masih tertinggal dalam hal inovasi dan teknologi,” jelasnya.
Meski demikian, terdapat proyeksi peningkatan share industri manufaktur terhadap PDB yang diharapkan dapat mencapai 20,8 persen pada 2025, dengan pertumbuhan PDB sektor manufaktur berkisar antara 5,5 hingga 6,2 persen. Sementara itu, PDB per kapita Indonesia terus meningkat hingga mencapai Rp78,6 triliun pada 2024.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, berdasarkan data Sakernas Agustus 2024, tiga sektor utama yang menyerap tenaga kerja terbanyak adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan (28,18 persen), perdagangan besar dan eceran (18,89 persen), serta industri pengolahan (13,83 persen).
“Untuk memperkuat sektor industri, Indonesia perlu mendorong transformasi manufaktur berbasis teknologi agar lebih kompetitif di pasar global. Jika tidak, kita akan semakin tertinggal dari negara-negara tetangga,” tutupnya.
Tingkat Profitabilitasnya Mumpuni
Kebijakan insentif pajak yang selama ini digadang-gadang sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi justru dinilai timpang dan tidak tepat sasaran.
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyoroti bagaimana kebijakan ini lebih banyak dimanfaatkan oleh perusahaan yang sebenarnya tidak membutuhkannya.
“Banyak kebijakan insentif perpajakan ini implementasinya dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan yang paling sedikit pantas mendapatkannya. Insentif pajak seharusnya diberikan kepada industri yang sulit mencapai tingkat kompetitif ataupun kelayakan ekonomi tanpa adanya kelonggaran kebijakan, bukan kepada perusahaan-perusahaan yang tingkat profitabilitasnya sudah sangat mumpuni ketika tanpa diberikan insentif pajak sekalipun,” ujarnya kepada Kabarbursa.com, Jumat 14 Februari 2025.
Data menunjukkan bahwa sektor konstruksi, pertambangan, dan pertanian tergolong “under-taxed”, sementara sektor manufaktur justru mengalami beban pajak yang berlebihan.
Berdasarkan laporan DDTC mencatat bahwa sektor manufaktur menyumbang 18,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia, tetapi harus menanggung 28,7 persen dari seluruh penerimaan pajak. Sebaliknya, sektor konstruksi dan pertambangan masing-masing menyumbang 9,8 persen dan 12,2 persen terhadap PDB, tetapi hanya dikenakan pajak sebesar 4,1 persen dan 8,3 persen.
“Padahal banyak perusahaan manufaktur, terutama manufaktur padat karya, saat ini berada di ujung tanduk untuk bertahan hidup dengan kondisi deindustrialisasi dini Indonesia saat ini,” lanjut Andri.
Pemerintah selama ini mengampanyekan hilirisasi sebagai solusi, tetapi menurut Andri, dampaknya sangat terbatas dan hanya berhasil pada komoditas tertentu seperti nikel. Faktor global lebih dominan dalam menentukan investasi ketimbang insentif pajak yang diberikan pemerintah.
“Kebijakan insentif pajak yang sama tidak berhasil menarik investasi hilirisasi di komoditas-komoditas lain yang dicanangkan mencapai 28 komoditas tersebut,” tambahnya.
Lebih lanjut, Andri menegaskan bahwa insentif pajak ini sering kali justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar yang seharusnya bisa memberikan kontribusi lebih besar. Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang paling banyak berkontribusi terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja malah semakin diperas dengan beban pajak yang lebih berat.
“Ini adalah permasalahan utama kebijakan insentif pajak, karena treatment yang diberikan bisa sangat berbeda antar satu sama lain perusahaan, dan yang paling menikmati insentif tersebut kerap kali berasal dari mereka yang sangat besar potensi ceruk kontribusi pajaknya,” tutupnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa hingga saat ini, sebanyak 655 investor telah memanfaatkan berbagai insentif perpajakan yang diberikan pemerintah sebagai strategi untuk menarik modal ke dalam negeri. Menurutnya, kebijakan fiskal ini digunakan secara aktif untuk mendukung program pemerintah, meskipun di sisi lain belanja pajak berdampak pada penerimaan negara dan menambah beban pengeluaran pemerintah.
“Kami memberikan tax holiday kepada 221 wajib pajak dengan nilai investasi yang mereka tanamkan mencapai Rp421,94 triliun dan USD479 juta (periode 2011-November 2024),” ujarnya dalam Mandiri Investment Forum (MIF) 2025, Selasa 11 Februari 2025
Pemerintah juga memberikan tax holiday khusus bagi investor yang menanamkan modal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sepanjang 2021 hingga November 2024, sebanyak 60 Wajib Pajak (WP) Badan memanfaatkan insentif ini dengan total investasi mencapai Rp12,74 triliun. Secara keseluruhan, tax holiday menjadi insentif pajak yang paling banyak digunakan investor, dengan total 281 WP (umum dan KEK) sejak 2011 hingga November 2024.(*)