KABARBURSA.COM – Arus dana ritel kembali mengisi pasar dalam tujuh hari perdagangan terakhir. Data perdagangan memperlihatkan perbedaan tajam antara saham lapis dua dan tiga yang menguat cepat, dengan saham berkapitalisasi besar yang justru melemah tipis meski dibeli ritel.
Pola ini menjadi penanda perubahan preferensi risiko pelaku pasar ritel sepanjang periode 27 November hingga 5 Desember 2025.
Dalam rentang tersebut, Stockbit Sekuritas Digital, broker berkode XL yang dominan digunakan investor dan trader ritel, mencatat nilai transaksi Rp36,4 triliun, volume 111,7 miliar saham, dan net buy Rp842,2 miliar. Angka ini menempatkan XL di posisi teratas broker dengan transaksi terbesar selama sepekan.
Selain itu, XL membukukan 10,7 juta frekuensi transaksi, yang menegaskan intensitas trading ritel berada pada level tinggi.
Dari lima saham yang paling banyak dibeli ritel, dua mencatatkan performa paling kuat. PT Lotte Chemical Titan Tbk (FPNI) naik 72,31 persen dalam tujuh hari, didorong transaksi harian yang melonjak menjadi 38.355 kali, jauh di atas rerata sebelumnya. Harga bergerak dari kisaran Rp900–Rp1.000 hingga menutup pekan di sekitar Rp1.510, dengan volume lebih dari 49 juta saham.
Sementara itu, PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA) menguat 31,89 persen, ditopang volume 189,9 juta saham dan frekuensi transaksi 38.824 kali. Antrean bid di MINA juga terlihat tebal di rentang Rp395–Rp405, menunjukkan agresivitas pembeli yang konsisten sepanjang sesi.
Tiga saham lain memperlihatkan dinamika berbeda. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dibeli ritel senilai Rp369,4 miliar, tetapi harga justru turun 0,82 persen ke Rp3.650. Volume harian BBRI berada di 34,8 juta saham, lebih rendah dibandingkan rata-rata bulanan, menandakan melemahnya minat beli eksternal.
PT Darma Henwa Tbk (DEWA) mengumpulkan pembelian ritel Rp102,9 miliar, namun harga melemah 4,63 persen ke Rp412 meski volume masih berada di 316 juta saham. PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) juga terkoreksi 2,27 persen, dengan nilai beli ritel Rp73,8 miliar, volume 1,46 juta saham, dan tekanan jual yang lebih besar dari sisi frekuensi.
Perbandingan data tersebut menunjukkan respons pasar yang kontras. FPNI dan MINA merespons aliran dana ritel dengan kenaikan harga signifikan karena struktur penawaran yang longgar dan volume yang naik serempak dengan nilai beli ritel. Pada FPNI, rata-rata harga beli ritel berada di kisaran Rp1.510, dengan tekanan jual yang rendah pada awal kenaikan. Pada MINA, bid tebal dan offer tipis menciptakan kondisi yang mendorong kenaikan bertahap.
Situasi berbeda terlihat pada BBRI, DEWA, dan RAJA, di mana data mencerminkan distribusi dari pelaku pasar non-ritel. Pada DEWA, misalnya, frekuensi jual 69.919 kali lebih besar dari frekuensi beli 49.626 kali, menghasilkan selisih tekanan yang tidak dapat diserap ritel.
Begini Aktivitas Ritel
Lapisan data yang lebih dalam memperlihatkan arah likuiditas ritel. BBRI menyumbang nilai beli terbesar, yakni Rp369,4 miliar dengan total 1 juta lot, tetapi tidak menggerakkan harga karena nilai jual masih mendominasi di level Rp364,9 miliar dibanding nilai beli ritel Rp130,5 miliar.
Pada DEWA, pembelian ritel di Rp102,9 miliar tidak mampu menahan tekanan jual harian yang berada dalam rentang Rp73–Rp85 miliar. RAJA, meski dibeli ritel Rp52,9 miliar, berhenti menguat karena penawaran di rentang Rp6.700–Rp6.900 tetap tebal.
Sebaliknya, FPNI dan MINA memperlihatkan struktur perdagangan yang mendukung kenaikan. Pada FPNI, nilai beli ritel Rp62,4 miliar bertemu penawaran jual yang relatif tipis, sementara volatilitas intraday bergerak dalam rentang lebih dari 140 poin dari low ke high.
Pada MINA, nilai beli ritel Rp59,5 miliar dan dominasi bid memberi ruang harga bergerak stabil dan progresif. (*)