Logo
>

Memahami Strategi Sell in May and Go Away, Ada Apa?

Dalam dunia pasar modal Indonesia, tren musiman menjadi bahan diskusi menarik, terutama menjelang bulan-bulan yang dianggap “berisiko.” Seperti apa tren ini berkembang?

Ditulis oleh Yunila Wati
Memahami Strategi Sell in May and Go Away, Ada Apa?
Ilustrasi. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA.COM - Mungkin beberapa investor pernah mendengar istilah “Sell in May and Go Away.” Ini bukan sekadar pepatah lama di dunia saham, tapi sebenarnya merujuk pada strategi investasi yang cukup populer dan sudah lama dibicarakan investor, terutama di pasar saham Amerika Serikat.

Apa Sih Maksudnya?

Secara sederhana, strategi ini menyarankan para investor untuk menjual saham mereka pada awal bulan Mei, lalu menghindari pasar saham hingga akhir Oktober, dan baru kembali masuk pasar pada bulan November. 

Kenapa? Karena berdasarkan data historis, kinerja pasar saham cenderung lebih lemah di bulan-bulan musim panas (Mei hingga Oktober) dibandingkan musim dingin (November hingga April).

Seperti Apa Performa di Masa Lalu?

Kalau dilihat data sejarahnya, strategi ini memang punya dasar:

  • November sampai April biasanya menunjukkan performa lebih kuat. Misalnya, sejak tahun 1990, indeks saham S&P 500 rata-rata naik sekitar 6,3 persen di periode ini.
  • Sedangkan Mei sampai Oktober, kenaikannya lebih rendah, rata-rata hanya sekitar 3 persen.

Tapi jangan buru-buru ambil kesimpulan! Contohnya saja di tahun 2024, dari Mei hingga Oktober, S&P 500 malah naik 14,1 persen — jauh melampaui rata-rata. Jadi, strategi ini tidak selalu tepat dan hasilnya bisa bervariasi dari tahun ke tahun.

Apa Kekurangan Strategi Ini?

Walaupun terdengar logis, strategi ini juga punya beberapa kelemahan yang perlu dipertimbangkan:

  • Pasar itu tidak bisa diprediksi. Ada banyak faktor yang bisa mengganggu pola musiman, seperti krisis ekonomi, gejolak geopolitik, atau bahkan pandemi. Jadi, kinerja masa lalu tidak selalu mencerminkan hasil di masa depan.
  • Biaya transaksi dan pajak. Menjual saham berarti kamu mungkin harus membayar pajak atas keuntungan yang didapat, belum lagi biaya jual-beli. Ini bisa memangkas keuntungan.
  • Peluang yang terlewatkan. Dengan keluar dari pasar selama enam bulan, kamu bisa saja melewatkan momen-momen emas saat harga saham naik di luar dugaan.

Apakah Ada Alternatif?

Tentu saja! Banyak investor memilih pendekatan lain yang dianggap lebih stabil dan minim risiko, seperti:

  • Strategi Buy and Hold
    Ini artinya investor tetap menyimpan saham dalam jangka panjang tanpa tergoda untuk menjual karena faktor musiman. Strategi ini cocok untuk investor yang percaya bahwa pasar akan naik dalam jangka panjang, meski naik-turunnya tidak bisa dihindari.
  • Dollar-Cost Averaging (DCA)
    Dengan strategi ini, kamu rutin membeli saham dalam jumlah uang yang sama setiap periode (misalnya tiap bulan), tanpa peduli apakah harga sedang naik atau turun. Tujuannya adalah agar kamu bisa mendapatkan harga rata-rata dalam jangka panjang dan tidak terjebak dalam keputusan emosional.

Perlu Ikut atau Tidak?

Strategi “Sell in May and Go Away” memang menarik karena didukung oleh data historis. Tapi seperti strategi investasi lainnya, tidak ada yang selalu berhasil di semua kondisi. Pasar terus berubah, dan strategi yang cocok untuk satu orang belum tentu cocok untuk orang lain.

Kalau kamu ingin mencoba strategi ini, pastikan untuk mempertimbangkan kondisi pasar saat ini, tujuan investasimu, dan seberapa besar kamu bisa menerima risiko. Dan yang paling penting, jangan lupakan strategi jangka panjang yang terencana dan disiplin — karena itulah yang biasanya membawa hasil terbaik dalam investasi.

Benarkah Mei Selalu Membawa Awan Gelap bagi Investor?

Dalam dunia pasar modal Indonesia, tren musiman menjadi bahan diskusi menarik, terutama menjelang bulan-bulan yang dianggap “berisiko.” Salah satunya adalah fenomena yang kerap dikaitkan dengan istilah global "Sell in May and Go Away." 

Tapi, apakah hal ini juga berlaku bagi IHSG? Untuk menjawabnya, mari kita telaah data pergerakan IHSG dari Januari hingga Desember selama lima tahun terakhir.

Tren Bulanan IHSG: Siapa yang Bersinar, Siapa yang Meredup?

Sumber: Stockbit
Jika dilihat dari data lima tahun terakhir, bulan Mei secara konsisten menunjukkan performa buruk, dengan rata-rata return sebesar -1,78 persen. Ini merupakan rata-rata terendah sepanjang tahun, bahkan dengan probabilitas kenaikan hanya 20 persen dan menjadikannya bulan dengan potensi naik paling kecil. 

Hal ini memperkuat sentimen bahwa Mei memang bukan bulan yang bersahabat bagi investor IHSG.

Namun, tidak semua bulan musim panas tampil buruk. Justru sebaliknya, Juli dan Agustus menjadi bintang utama dengan rata-rata return masing-masing 2,19 persen dan 2,66 persen, serta probabilitas naik mencapai 100 persen. 

Artinya, dalam lima tahun terakhir, IHSG selalu mengalami kenaikan pada bulan Juli dan Agustus. Ini menjadi sinyal kuat bahwa tidak semua bagian dari strategi “Sell in May” relevan dengan pasar Indonesia.

Pergeseran Sentimen di Tahun-Tahun Tertentu

Tahun 2024 dan 2025 menunjukkan dinamika menarik. Misalnya, di Februari 2025, IHSG anjlok tajam hingga -11,80 persen, menjadi salah satu penurunan bulanan terbesar dalam lima tahun. 

Namun, bulan berikutnya justru bangkit tajam dengan kenaikan 3,83 persen di Maret dan 3,93 persen di April 2025. Ini mengisyaratkan bahwa volatilitas tinggi masih mewarnai pola pergerakan indeks, dan investor harus waspada terhadap pembalikan tren mendadak.

Sebaliknya, tahun 2023 menunjukkan pola pemulihan dengan pertumbuhan tahunan sebesar 6,16 persen, disokong lonjakan kuat pada November (4,87 persen) dan Desember (2,71 persen). Ini memperlihatkan bahwa meski sebagian bulan lemah, IHSG mampu mengakhiri tahun dengan impresif.

Apa Kata Statistik? 

Secara statistik, probabilitas kenaikan IHSG paling tinggi terjadi pada Februari (80 persen), April (80 persen), serta Juli dan Agustus (masing-masing 100 persen). 

Ini menunjukkan bahwa strategi berdasarkan rata-rata kinerja bulanan dapat memberikan sinyal waktu terbaik untuk masuk pasar.

Namun, perlu dicatat bahwa strategi musiman tidak menjamin hasil pasti. Misalnya, meskipun November memiliki rerata negatif (-0.58 persen), pada tahun 2023 indeks justru naik hampir 5 persen. 

Oleh karena itu, investor sebaiknya tidak hanya mengandalkan statistik bulanan semata, tetapi juga memperhatikan sentimen pasar, data ekonomi makro, dan faktor global lainnya.

Apakah Waktunya “Sell in May”?

Data historis memang menunjukkan bahwa Mei seringkali membawa tekanan bagi IHSG, tetapi tidak berarti investor harus serta-merta keluar dari pasar. 

Sebaliknya, pemahaman yang lebih mendalam mengenai tren, pola volatilitas, dan probabilitas naik di bulan-bulan tertentu justru bisa menjadi alat bantu yang ampuh untuk mengatur strategi masuk dan keluar dari pasar secara lebih cerdas.

Investor cerdas bukan yang sepenuhnya menghindar saat risiko datang, melainkan yang mampu mengelola risiko dengan informasi yang akurat dan strategi yang disiplin. 

Dalam konteks IHSG, kadang-kadang tetap berada di pasar dan memanfaatkan momentum—terutama di bulan Juli dan Agustus—dapat menghasilkan imbal hasil yang lebih optimal dibanding hanya mengikuti strategi musiman secara mentah.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79