KABARBURSA.COM - Sejumlah analis memberikan pandangan mengenai makna penguatan saham emiten "big banks" atau bank kelas atas pada lanjutan sesi pertama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), pada Selasa, 4 Juni 2024. Pertanyaannya, apakah menjadi sinyal berbalik arah (bottoming) atau technical rebound?
Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebutkan bahwa saham bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Bank Mandiri (Persero) Tbk atau BMRI menjadi yang terdepan dalam kenaikan itu. Saham BMRI naik sebesar 2,46 persen. Dengan ini, saham BMRI sudah menguat 4 hari beruntun.
Sementara itu, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga menguat sebesar 2,16 persen. Asing masih mencatatkan jual bersih (net sell) Rp1,13 triliun atas saham BBCA dalam sepekan terakhir.
Saham bank pelat merah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) juga terapresiasi 0,43 persen. Dalam sepekan, asing melakukan net sell Rp265,61 miliar.
Tidak ketinggalan, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) tumbuh 0,22 persen ke Rp4.540 per saham, melanjutkan kenaikan pada kemarin. Saham BBRI mencoba memutus pelemahan yang sudah terjadi 5 hari beruntun selama pekan lalu.
BBRI sudah turun sekitar 28 persen dari level tertinggi sepanjang masa (all-time high/ATH). Dalam sepekan, asing mencatatkan jual bersih (net sell) atas saham BBRI Rp2,26 triliun di pasar reguler, sedangkan dalam sebulan mencapai Rp8,08 triliun.
Belum Munculkan Sinyal
Pengamat Pasar Modal Michael Yeoh berpendapat, rebound bank kakap (big banks) belum memberikan sinyal bottoming. “Belum. Rebound dari big banks terjadi karena UST10Y (obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun) mendapat inflow dari investor,” jelas Michael Yeoh, Selasa, 4 Juni 2024.
Imbal hasil US Treasury, kata Michael, turun dari 4,6 persen ke 4,4 persen. “Ini membuat gap antara bonds di Indonesia dengan US semakin melebar. Serta pergerakan rupiah yang menguat dari titik tertinggi Rp16.300 per USD,” imbuhnya.
Michael melanjutkan, apabila ditilik selama 3 bulan ke belakang, investor asing sudah melakukan jual bersih (net sell) cukup besar di perbankan, dengan angka arus keluar (outflow) lebih dari Rp20 triliun “Hal ini disinyalir terjadi karena rupiah yang melemah. Dan ada narasi yang mengatakan bahwa foreign institusi khawatir terhadap NPL (non-performing loan/kredit bermasalah) BBRI yang disebabkan oleh maraknya judi online yang ada,” beber Michael.
Namun, kata dia, “saat ini belum ada kejelasan alasan pasti untuk aksi jual investor asing.” Saat ini, masih mengikuti argumentasi Michel, apabila kita melihat teknikal, semua saham bank raksasa sudah jenuh jual atawa oversold, yang mengindikasikan akan adanya technical rebound.
Ke depan, pria yang akrab disapa MY tersebut melihat, perbankan menghadapi tantangan besar, termasuk soal normalisasi pertumbuhan kredit, pelemahan rupiah, serta bagaimana menjaga daya beli ritel.
Akan tetapi, secara umum, dengan kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI), kata Michael, ini membuat bank dengan porsi CASA (dana murah) yang tinggi mendapatkan keuntungan. “Bank dengan CASA tertinggi saat ini adalah BBCA,” pungkasnya.
Hal senada diungkapkan Investment Analyst Indo Premier Emir Parengkuan, yang juga menilai, penguatan saham perbankan hari ini masih terlalu awal untuk dianggap sebagai bottom.
“(Ini) karena foreign ownership (kepemilikan asing) di big banks sekitar 70-80-an persen. Pastinya, yang paling penting untuk kita perhatikan itu foreign flow di banking seperti apa,” ungkap Emir.
Menurut amatan Emir, sejak 1 April, hampir setiap hari asing net sell dengan jumlah yang lumayan jumbo. Dalam 3 bulan belakangan, kata Emir, asing membukukan net sell di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar Rp23,6 triliun, dengan BBRI menyumbang Rp15 triliun.
“Jadi, sepertinya akan butuh waktu yang lebih lama agar asing akumulasi lagi secara konsisten,” tambah Emir. Namun, Emir memproyeksikan, amatlah mungkin untuk melihat adanya pemulihan pada Juli, khususnya untuk saham BBCA dan BMRI.
Dirinya menjelaskan, kinerja keuangan 4 bulan pertama di 2024 BMRI menunjukkan penguatan di pos pinjaman atau kredit dan pertumbuhan dana simpanan. Sementara, BBCA menunjukkan pertumbuhan laba bulanan yang baik.
Berbeda, demikian kata Emir, untuk BBRI dan BBNI masih di bawah konsensus.
Segendang sepenarian dengan Michael di atas, Emir bilang, tantangan terbesar untuk banking, khususnya BBRI adalah angka NPL yang membengkak.
“Hal ini disebabkan BBRI memiliki segmen client UMKM dan individu yang cukup besar. Berbeda dengan dengan BBCA dan BMRI yang lebih fokus kepada client korporat besar,” jelas Emir.
Ditambah lagi, katanya, BI baru menaikkan suku bunga 25 basis points (bps) yang dapat meningkatkan biaya kredit atau cost of credit (CoC) dan NPL, dan menekan kinerja perbankan secara keseluruhan.
Sementara, menurut hemat Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta, rebound-nya sejumlah saham bank kakap usai mengalami tekanan jual yang tinggi akhir-akhir ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan aksi akumulasi beli.
“Apalagi kalau kita memanfaatkan berakhirnya periode Sell In May & Go Away pada Mei lalu. Dala, 8 tahun terakhir, indeks cenderung positif selama Juni, Juli, Agustus. Ini bisa dimanfaatkan untuk akumulasi beli terhadap saham big banks, termasuk BBRI, yang bisa menopang pegerakan indeks,” ungkap Nafan.
Analis Teknikal
Dari kacamata analisis teknikal, Senior Technical Analyst Samuel Sekuritas Indonesia M. Alfatih mengatakan, saham BBRI memang mengalami rebound di dekat target penurunan pola sepanjang Oktober 2021 hingga Maret 2024.
Namun, dirinya menilai, saat ini BBRI masih di dalam down channel pola sejak Maret 2024. “Jika (BBRI) mampu tembus 4.600-4.750 maka down channel berakhir,” kata Alfatih. Sementara, jelasnya, BBCA masih dalam pola upchannel sejak Oktober 2022.
Kemudian, BMRI mengalami bullish reversal, tetapi saat ini harus mampu menembus dan bertahan di atas 6.300 untuk bisa mengakhiri downchannel sejak Februari 2024, dan menjadikan pergerakan dalam dua pekan terakhir sebagai false bearish breaks.
Terakhir, BBNI masuk dalam area demand (pola consolidasi Agustus 2022-September 2023). “Namun harus tembus dulu 5.000-5.250, barulah mengakhiri downtrend pola sejak Februari 2024,” kata Alfatih. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.