KABARBURSA.COM – PT Cipta Sarana Medika Tbk atau IDX DKHH, adalah emiten layanan Kesehatan yang baru saja melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 8 Mei 2025. Bagaimana perusahaan ini, apakah layak dikoleksi dan akan memberikan keuntungan maksimal bagi investor, mari simak ulasan berikut ini!
Cipta Sarana Medika hadir dengan misi mulia, memberikan pelayanan Kesehatan terbaik bagi masyarakt. Bergerak di bidang Rumah Sakit Swasta, perusahaan ini menunjukkan komitmennya dengan mengelola rumah sakit tipe C yang tersebar di lokasi-lokasi strategis seperti Kedungwaringin, Sukatani, dan Cibadak, Jawa Barat.
Dengan fokus pada layanan yang optimal dan menyeluruh, rumah sakit ini patuh pada Peraturan Menteri Kesehatan, yaitu Pasal 16 Ayat (1), yang mengharuskan rumah sakit tipe C memiliki minimal 100 tempat tidur.
Hal ini menjadi jaminan bahwa masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang tidak setengah-setengah, melainkan komprehensif dan sesuai standar nasional.
Pada 8 Mei 2025, perusahaan ini membuat langkah besar dengan melakukan pencatatan saham perdana atau IPO. BEI memberikan kode saham DKHH. Dengan harga penawaran Rp132 per saham, perusahaan berhasil melepas 530 juta saham ke publik dan mengantongi dana segar senilai Rp70 miliar.
Ini tentu menjadi tonggak penting yang menandai babak baru perusahaan untuk tumbuh lebih besar, memperluas layanan, dan memperkuat eksistensinya di dunia kesehatan nasional.
Jika melihat dari sisi kepemilikan, kendali utama tetap berada di tangan PT Siliwangi Djajakusumah Hospitals yang memegang sekitar 79,22 persen saham, atau setara dengan 2,02 miliar lembar saham. Sisanya, yakni 20,78 persen, dimiliki oleh masyarakat umum.
Dengan total jumlah pemegang saham yang menyentuh angka 99.197 orang pada 8 Mei 2025, perusahaan ini menunjukkan daya tarik tersendiri di mata investor, terutama yang percaya pada potensi sektor kesehatan di Indonesia.
Cipta Sarana Medika dipimpin oleh Satria Muhammad Wilis sebagai Direktur Utama, dibantu oleh Octen Suhadi selaku Direktur. Di sisi pengawasan, terdapat nama-nama seperti Iqbal Rahim Wilis sebagai Komisaris Utama, serta tiga Komisaris Independen, yaitu Abdullah Sayidi dan Mohammad Luthfi, yang turut menjaga transparansi serta integritas perusahaan.
Berkantor pusat di Jl. Siliwangi No. 139, Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, perusahaan ini siap melayani dengan semangat profesionalisme tinggi. Dengan nomor telepon (021) 4586 9050 dan alamat surel corsec@dkhhospitals.com, mereka membuka diri bagi komunikasi yang lebih luas, baik dengan mitra bisnis maupun masyarakat umum.
Situs web resminya, www.dkhhospitals.com, menjadi etalase digital untuk siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat tentang layanan dan perkembangan perusahaan.
Dengan kombinasi antara visi sosial, kekuatan finansial dari IPO, serta manajemen yang solid, perusahaan ini tampak siap menjadi pemain utama dalam industri rumah sakit swasta di Indonesia, dengan tetap menjaga nilai-nilai pelayanan kesehatan yang inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan.
Naik Turun Laporan Keuangan
Untuk laporan keuangan, Cipta Sarana Medika menyuguhkan kisah menarik, terutama dalam kurun waktu tiga tahun terakhir hingga kuartal ketiga 2024.
Namun, di balik pencapaian ini, beban pokok penjualan yang tercatat sebesar Rp87 miliar menyedot cukup banyak dari total pendapatan, menyisakan laba kotor Rp39 miliar. Menariknya, laba kotor ini justru lebih rendah dibanding Q3 2023 dan tahun-tahun sebelumnya, meskipun pendapatan lebih tinggi. Kondisi ini mencerminkan potensi kenaikan biaya operasional atau efisiensi yang belum optimal.
Melangkah ke laba usaha, terlihat bahwa Q3 2024 mencatatkan angka Rp9 miliar, turun drastis dari Rp83 miliar di Q3 2023. Penurunan ini tampaknya dipicu oleh beban usaha yang melonjak ke Rp30 miliar dari sebelumnya Rp26 miliar.
Di saat yang sama, pos penghasilan atau beban lain-lain mencatatkan kerugian Rp10 miliar, yang semakin menekan laba sebelum pajak menjadi minus Rp1 miliar. Ini menjadi satu-satunya kuartal dari data yang tersedia di mana perusahaan merugi sebelum pajak.
Namun, yang unik, justru di kuartal yang secara operasional tidak terlalu cerah ini, muncul beban pajak penghasilan negatif sebesar Rp3 miliar. Kemunculan ini mengartikan bahwa perusahaan mendapat manfaat pajak, entah berupa restitusi atau insentif fiskal.
Hasil akhirnya adalah laba bersih Rp2 miliar untuk Q3 2024, angka yang kecil bila dibandingkan dengan laba kuartalan di masa lalu, tapi tetap menunjukkan perusahaan tidak sepenuhnya merugi.
Yang cukup mengejutkan adalah komponen pendapatan komprehensif lainnya pada Q4 2023 yang melonjak drastis hingga Rp27 miliar, sehingga membuat total laba komprehensif perusahaan pada kuartal itu mencapai Rp49 miliar, tertinggi di antara seluruh periode yang dicatat.
Ini bisa jadi berasal dari revaluasi aset, keuntungan investasi jangka panjang, atau dampak positif dari selisih kurs. Sayangnya, catatan ini tak konsisten di kuartal lain.
Masuk ke rasio keuangan, EPS atau laba per saham di Q3 2024 hanya sebesar Rp1,08, jauh dibanding Q4 2023 yang ‘menggelegar’ di angka Rp77.853 per saham. Ini tampaknya karena perbedaan jumlah saham beredar pasca-IPO yang memperbesar denominator, membuat angka EPS terbaru terlihat kecil.
Namun yang jelas, rasio profitabilitas seperti Return on Equity (ROE) dan Return on Assets (ROA) menunjukkan tren penurunan. ROE misalnya, turun drastis dari 190 persen di Q4 2021 menjadi hanya 1,69 persen di Q3 2024.
Ini menjadi sinyal kuat bahwa meskipun pendapatan naik, efisiensi dalam menghasilkan laba dari modal sendiri semakin menipis.
Selain itu, rasio Interest Coverage yang menggambarkan kemampuan perusahaan membayar bunga utangnya juga turun tajam. Dari sebelumnya berada di kisaran dua digit (di atas 15), kini hanya tinggal 0,94 di Q3 2024.
Artinya, laba operasi yang tersedia bahkan nyaris tidak cukup menutupi beban bunga. Ini adalah lampu kuning yang perlu diperhatikan serius oleh manajemen ke depan.
Secara keseluruhan, laporan ini menggambarkan sebuah perusahaan yang sedang dalam masa transisi: dari masa lalu yang penuh keuntungan besar menuju fase pertumbuhan baru yang penuh tantangan.
Pendapatan meningkat, tetapi tekanan biaya, beban keuangan, dan efisiensi operasional menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar. Jika perusahaan mampu mengelola struktur biaya dengan lebih baik dan menyeimbangkan pertumbuhan dengan profitabilitas, peluang untuk kembali ke masa-masa emasnya masih terbuka lebar.
Waran, “Tiket Emas” untuk Investor
Ada yang menarik saat IPO DKHH, 8 Mei 2025 kemarin, Yaitu, adanya tawaran Waran sebagai bonus bagi investor.
Waran ini bisa dibilang sebagai “tiket emas” bagi investor yang ingin ikut serta dalam potensi pertumbuhan jangka menengah. Waran resmi diperdagangkan mulai 8 Mei 2025 dan akan tetap aktif di pasar hingga 5 Mei 2026. Artinya, investor punya waktu hampir satu tahun penuh untuk memperdagangkan waran ini layaknya saham biasa.
Namun, tidak seperti saham yang bisa langsung dieksekusi, waran ini baru bisa digunakan atau dikonversi menjadi saham biasa mulai 10 November 2025. Masa eksekusinya akan berlangsung hingga 8 Mei 2026.
Jadi, ada jendela waktu sekitar enam bulan di mana para pemegang waran bisa memutuskan untuk “menebus” haknya dengan harga tertentu.
Berapa harganya? Waran ini bisa dieksekusi dengan harga Rp155 per lembar saham. Jadi, apabila harga saham di pasar saat itu lebih tinggi dari Rp155, waran menjadi sangat menarik karena investor bisa membeli saham dengan harga lebih murah dari pasar.
Sebaliknya, kalau harga saham masih di bawah Rp155, waran ini berisiko tidak memiliki nilai ekonomis alias “out of the money.”
Fleksibilitas ini menjadikan waran sebagai instrumen yang menarik bagi investor yang berani ambil posisi spekulatif atau ingin meningkatkan leverage dalam portofolio. Tapi tentu saja, ada batas waktu dan strategi yang harus dipertimbangkan.
Satu hal yang pasti, waran ini bisa jadi kunci untuk menambah nilai investasi—kalau dimainkan dengan cermat dan momentum pasar berpihak.
Tantangan Besar Efisiensi Operasional dan Arus Kas
Melihat laporan valuasi dan fundamental perusahaan ini seperti membaca catatan perjalanan bisnis yang sedang melalui fase pencarian arah baru.
Di satu sisi, perusahaan sudah berhasil melantai di bursa dan menunjukkan eksistensi di dunia publik. Namun di sisi lain, angka-angka dalam laporan ini mengisyaratkan bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama dari segi efisiensi operasional dan arus kas.
Ini bisa berarti dua hal, pasar memiliki ekspektasi tinggi terhadap pertumbuhan perusahaan, atau justru laba saat ini sangat minim sehingga valuasi terlihat membengkak.
Dari sisi harga terhadap nilai buku (PBV), rasio perusahaan berada di angka 3,01. Artinya, harga saham diperdagangkan tiga kali lipat dari nilai ekuitas per lembar saham. Untuk sektor rumah sakit yang umumnya memiliki aset tetap besar dan pertumbuhan moderat.
Ini termasuk cukup tinggi dan mengindikasikan sentimen pasar yang cukup optimis atau valuasi premium yang perlu dibuktikan dengan kinerja nyata.
Sayangnya, dari segi cashflow, perusahaan masih dalam tekanan. Rasio Price to Cashflow dan Price to Free Cashflow sama-sama minus -21,06. Artinya, aliran kas operasional dan kas bebas (free cash flow) negatif, yang menunjukkan bahwa perusahaan belum mampu menghasilkan uang tunai dari bisnis intinya secara stabil.
Hal ini diperkuat dengan data free cash flow kuartal yang minus Rp16 miliar, dan arus kas operasional TTM yang juga negatif Rp18 miliar. Kondisi ini bisa menjadi sinyal risiko bagi investor jangka panjang, apalagi jika tren ini berlanjut tanpa perbaikan struktural.
Dari neraca, total aset perusahaan mencapai Rp269 miliar, dengan total kewajiban sebesar Rp140 miliar. Dengan total ekuitas Rp129 miliar, rasio utang terhadap ekuitas berada pada level 1,09, cukup moderat dan masih dalam batas sehat.
Namun, dengan current ratio di bawah 1 (0,98) dan quick ratio hanya 0,85, perusahaan bisa dibilang agak "ketat napas" dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Hal ini perlu dicermati, karena kemampuan membayar utang lancar menjadi indikator kesehatan keuangan yang penting.
Satu catatan menarik lainnya datang dari profitabilitas. Return on Equity (ROE), Return on Assets (ROA), dan Return on Capital Employed (ROCE) semuanya tercatat 0 persen untuk TTM. Ini mencerminkan bahwa perusahaan belum mampu mengkonversi aset, modal sendiri, maupun modal kerja menjadi laba yang berarti dalam periode setahun terakhir.
Gross profit margin yang sebesar 31,27 persen sebenarnya cukup baik untuk industri ini, namun margin laba bersih yang hanya 1,72 persen menunjukkan bahwa sebagian besar keuntungan masih "terbakar" di jalur operasional, beban bunga, atau biaya lain.
Di sisi efisiensi, Days Sales Outstanding yang rendah (7,63 hari) menunjukkan bahwa perusahaan cukup cepat dalam menagih piutang. Begitu pula Days Inventory dan Days Payable yang rendah, menghasilkan siklus konversi kas hanya 8,25 hari, sebuah tanda positif bahwa arus operasional berjalan relatif cepat meski dalam tekanan kas.
Skor Piotroski F yang hanya 2 dari 9 menandakan kondisi fundamental yang lemah. Nilai ini mencerminkan kombinasi rendahnya profitabilitas, likuiditas yang terbatas, dan efisiensi operasional yang masih harus ditingkatkan.
Ditambah lagi, Altman Z-Score yang hanya 1,25, di bawah ambang batas 1,8, menandakan potensi risiko kebangkrutan jangka menengah jika tidak ada perbaikan.
Dari sisi kinerja saham, harga sempat menyentuh Rp240 sebagai titik tertinggi dalam 52 minggu, namun juga sempat turun hingga Rp152. Fluktuasi ini menandakan bahwa pasar masih mencari keseimbangan dalam menilai prospek perusahaan.
Secara keseluruhan, perusahaan ini seperti sedang membangun fondasi di tengah ekspektasi besar dari publik. Valuasi tinggi dan sentimen pasar yang positif memberi angin segar, namun semua itu masih harus dibuktikan dengan perbaikan nyata dalam kinerja operasional, profitabilitas, dan arus kas.
Jika manajemen bisa menavigasi tantangan ini dengan strategi yang tepat, bukan tidak mungkin perusahaan ini akan tumbuh menjadi kekuatan baru di industri rumah sakit swasta Indonesia.
Saham Menarik Dikoleksi, Tapi …
Berdasarkan keseluruhan data keuangan dan valuasi yang tersedia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
- Valuasi mahal
- Profitabilitas rendah
- Arus kas negatif
- Likuiditas ketat
- Pertumbuhan laba menurun
- Risiko finansial moderat hingga tinggi
- Tidak membagikan dividen
Namun, memiliki efisiensi operasional yang relatif cepat dan solvabilitas yang masih wajar. Maka secara faktual, berdasarkan data yang tersedia, saham ini tidak memenuhi banyak kriteria layak koleksi dalam pendekatan berbasis fundamental.(*)