KABARBURSA.COM – PT Sanurhasta Mitra Tbk, dengan kode saham MINA, menjadi salah satu saham yang pergerakannya begitu cepat. Dalam setahun terakhir, harga sahamnya meroket hingga lebih dari 1.200 persen, bahkan naik lebih dari 370 persen sepanjang tahun berjalan (YtD).
Kenaikannya memang sangat luar biasa. Pasar tampak antusias terhadap prospek jangka pendek yang ditawarkan. Namun, tidak dengan fundamentalnya. Perusahaan ini masih berada dalam kondisi rugi besar dan berisiko tinggi.
Ya, fundamental MINA memperlihatkan gambaran yang sangat kontran antara performa harga di pasar yang spektakuler dengan fundamental keuangan yang rapuh. Secara valuasi, indikator utama menunjukkan anomali yang sangat mencolok.
Rasio Price-to-Earnings (P/E) berada di kisaran negatif besar, yaitu -572,63 (annualized) dan -390,99 (TTM). Angka ini menandakan bahwa perusahaan saat ini tidak mencatatkan laba bersih, melainkan kerugian.
Dengan kondisi seperti ini, secara teoritis, saham MINA tidak dapat dihitung dengan pendekatan P/E tradisional karena laba per saham (EPS) berada di wilayah negatif, yaitu -0,57 untuk periode berjalan. Sementara itu, price-to-book value (PBV) mencapai 24,43 kali, yang sangat tinggi dibandingkan median PBV sektor energi di Indonesia yang umumnya berada di bawah 3 kali.
Angka ini menunjukkan bahwa harga saham MINA telah jauh melampaui nilai buku perusahaannya yang hanya Rp9,09 per saham, sehingga menandakan overvaluation ekstrem dari perspektif fundamental klasik.
Dari sisi efisiensi dan profitabilitas, MINA juga masih dalam kondisi yang belum sehat. Return on Assets (ROA) berada di -5,45 persen, Return on Equity (ROE) di -6,25 persen, dan Return on Capital Employed (ROCE) di -5,05 persen.
Ini berarti perusahaan belum mampu menghasilkan laba dari aset maupun modal yang dikelola. Net profit margin tercatat -21,48 persen, menunjukkan setiap pendapatan Rp1 hanya menghasilkan kerugian bersih Rp0,21.
Walau gross profit margin masih terlihat tinggi di 61,58 persen, hal ini kemungkinan berasal dari efisiensi produksi sementara atau perubahan pengakuan pendapatan, bukan peningkatan fundamental laba bersih.
Minim Utang, Solvabilitas Baik
Namun, sisi menarik dari laporan keuangannya terletak pada neraca (balance sheet) yang menunjukkan struktur modal relatif ringan. Perusahaan memiliki total aset sebesar Rp103 triliun, dengan liabilitas hanya Rp13 triliun, sehingga menghasilkan rasio utang terhadap ekuitas (Debt-to-Equity Ratio) yang sangat rendah di 0,01 kali.
Hal ini memberi kesan bahwa perusahaan minim utang dan memiliki posisi solvabilitas yang baik. Belum lagi didukung current ratio sebesar 3,34 yang menunjukkan kemampuan likuiditas jangka pendek yang cukup kuat.
Dengan kata lain, MINA tidak mengalami tekanan keuangan jangka pendek, meskipun tidak menghasilkan laba.
Metrik pertumbuhan menunjukkan kontras lain. Pendapatan kuartalan tumbuh 45,60 persen YoY, sementara laba bersih tetap negatif. Artinya, perusahaan memang berhasil meningkatkan skala operasi, namun belum mampu mengubah pertumbuhan pendapatan menjadi profitabilitas.
Ini juga terlihat dari arus kas yang stagnan, yaitu cash flow dari operasi, investasi, dan pembiayaan sama-sama nol (TTM),yang menandakan lemahnya perputaran kas riil di balik lonjakan harga saham.
Dari sisi valuasi pasar, kapitalisasi MINA saat ini mencapai Rp2.185 triliun, dengan total saham beredar 9,84 miliar lembar dan free float 44,51 persen. Lonjakan harga yang luar biasa dalam jangka pendek, yaitu naik lebih dari 1.200 persen dalam setahun, menunjukkan adanya euforia pasar yang kemungkinan besar tidak sejalan dengan kondisi keuangan perusahaan.
Kinerja harga seperti ini sering kali disebabkan oleh spekulasi tinggi, sentimen momentum, atau dorongan teknikal jangka pendek. Bukan karena peningkatan nilai intrinsik perusahaan.
Harga Wajar di Kisaran 18-20 per Saham
Menghitung harga wajar saham MINA menjadi sulit karena perusahaan masih mencatatkan rugi bersih dan EPS negatif. Namun, jika menggunakan pendekatan konservatif berbasis price-to-book value wajar sektor energi sekitar 2 kali, sementara nilai buku MINA hanya Rp9,09 per saham, maka estimasi harga wajarnya berada di kisaran Rp18–20 per saham.
Dengan harga pasar terkini yang berada di kisaran Rp238 per saham, saham MINA secara fundamental sedang diperdagangkan 10–12 kali lipat lebih tinggi dari nilai wajarnya.
Ini menegaskan bahwa kenaikan harga yang tajam lebih mencerminkan ekspektasi pasar dan spekulasi, bukan kekuatan fundamental.
Dari perspektif investasi, meskipun saham MINA tampil “hijau” dalam jangka menengah dengan kenaikan fantastis, fundamentalnya belum mendukung untuk dikategorikan layak koleksi jangka panjang.
Perusahaan masih mencatatkan kerugian, efisiensi rendah, dan valuasi jauh di atas nilai intrinsik. Kinerja harga yang melesat tanpa dukungan profitabilitas cenderung menciptakan risiko koreksi besar di masa mendatang, seperti yang terlihat hari ini ketika harga saham mulai terkoreksi setelah reli panjang.
Kesimpulannya, saham MINA saat ini lebih tepat disebut saham momentum daripada saham fundamental. Bagi investor jangka pendek, potensi volatilitasnya tinggi dan bisa dimanfaatkan dalam perdagangan spekulatif.
Namun bagi investor jangka menengah dan panjang yang berorientasi pada nilai dan kestabilan kinerja, MINA belum layak dikoleksi sebelum perusahaan menunjukkan perbaikan laba bersih, arus kas positif, dan rasio valuasi yang lebih rasional.
Saat ini, harga pasar MINA jauh melampaui nilai wajarnya, dan risiko koreksi lanjutan masih terbuka lebar jika euforia pasar mulai mereda.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.