KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia ambles pada Rabu, 25 Juni 2025, seiring meredanya ketegangan di Timur. Dilansir dari Reuters di Jakarta, harga minyak mentah terpukul tajam. Brent Crude anjlok 6,1 persen menjadi USD67,14 per barel (sekitar Rp1,1 juta), sementara West Texas Intermediate (WTI) jatuh 6,0 persen ke USD64,37 per barel (sekitar Rp1,05 juta).
Kedua harga itu melanjutkan pelemahan lebih dari 7 persen sehari sebelumnya, setelah sempat menguat akibat serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran pada akhir pekan lalu.
Di pasar mata uang, dolar AS melemah terhadap mayoritas mata uang utama, termasuk yen Jepang dan franc Swiss yang dikenal sebagai aset aman. Euro justru menguat, mencerminkan selera risiko investor yang mulai pulih.
Di pasar valas, dolar Amerika Serikat melemah tajam. Mata uang Paman Sam itu turun 0,88 persen terhadap yen Jepang ke posisi 144,80, dan merosot 0,90 persen terhadap franc Swiss di level 0,80515. Sementara itu, euro justru menguat 0,27 persen dan diperdagangkan di kisaran USD1,16125 (sekitar Rp19.050).
Indeks dolar—yang mencerminkan kekuatan dolar terhadap sekeranjang mata uang utama termasuk yen dan euro—turun 0,30 persen ke 97,94.
Ketua The Fed Jerome Powell dalam kesaksiannya di hadapan Komite Jasa Keuangan DPR AS menyebut bahwa tarif impor yang lebih tinggi bisa mulai mendorong inflasi naik pada musim panas ini. Periode tersebut akan menjadi kunci dalam pertimbangan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS.
Dari sisi domestik, data menunjukkan bahwa kepercayaan konsumen AS secara mengejutkan memburuk pada Juni. Pelemahan ini dipandang sebagai sinyal awal pelemahan pasar tenaga kerja.
Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun turun 3 basis poin menjadi 4,293 persen. Yield obligasi 2 tahun—yang lebih sensitif terhadap ekspektasi kebijakan The Fed—turun 1,2 basis poin ke level 3,817 persen.
Sementara itu, di Eropa, imbal hasil obligasi pemerintah Jerman naik tipis setelah kabinet negara tersebut menyetujui rancangan anggaran 2025. Yield obligasi acuan 10 tahun Jerman (Bunds) naik 0,9 basis poin menjadi 2,543 persen.
Harga emas turut terpukul. Emas spot turun 1,34 persen ke level USD3.323,49 per troy ounce (sekitar Rp54,5 juta). Emas berjangka di AS (gold futures) bahkan ditutup melemah 1,5 persen ke posisi USD3.298,40 per ons (sekitar Rp54 juta).
Penutupan Hormuz bisa Dorong Harga Minyak ke USD110 per Barel
Ketegangan di Selat Hormuz kembali memicu kekhawatiran pasar energi global. Goldman Sachs memperkirakan, gangguan pasokan minyak dari jalur laut strategis itu dapat mendorong harga minyak mentah jenis Brent menembus USD110 per barel (setara Rp1.804.000).
Dalam catatan analisis tertanggal Ahad kemarin, Goldman menyebutkan skenario itu bisa terjadi jika aliran minyak melalui Selat Hormuz terpangkas separuh selama satu bulan, lalu masih terganggu 10 persen selama 11 bulan berikutnya.
“Harga akan melonjak sesaat, tapi cenderung moderat di akhir tahun,” tulis laporan tersebut, dikutip dari Reuters.
Bank investasi itu memperkirakan harga rata-rata Brent akan berada di kisaran USD95 per barel (sekitar Rp1.558.000) pada kuartal terakhir 2025.
Pasar minyak langsung merespons ketegangan terbaru. Harga melonjak ke level tertinggi sejak Januari setelah Amerika Serikat ikut menggempur fasilitas nuklir Iran pada akhir pekan lalu.
Goldman mencatat pasar prediksi—meski likuiditasnya terbatas—kini memperhitungkan peluang 52 persen bahwa Iran akan menutup Selat Hormuz pada 2025. Data itu berasal dari platform prediksi terdesentralisasi Polymarket.
Dalam simulasi lainnya, Goldman memperkirakan bahwa penurunan pasokan Iran sebesar 1,75 juta barel per hari selama enam bulan bisa mendorong Brent ke puncaknya di USD90 per barel (sekitar Rp1.476.000). Jika pasokan kembali pulih, harga minyak kemungkinan turun ke kisaran USD60-an pada 2026.
Namun, jika produksi Iran tetap rendah lebih lama, Brent diproyeksikan bertahan di rentang USD70–80 (sekitar Rp1.148.000–1.312.000) per barel pada 2026. Proyeksi itu didasari pada penurunan stok global dan kapasitas cadangan yang menipis.
“Meski situasi di Timur Tengah masih berkembang, kami yakin insentif ekonomi, baik dari AS maupun China, cukup kuat untuk mencegah gangguan besar dan berkepanjangan di Selat Hormuz,” tulis Goldman Sachs.(*)