KABARBURSA.COM — Harga minyak dunia kembali tersandung pada Jumat, 30 Mei 2025, dini hari WIB, setelah sempat mencicipi angin kenaikan di awal sesi. Kali ini, biang keladinya datang dari keputusan mengejutkan pengadilan di Amerika Serikat yang memblokir sebagian besar tarif perdagangan era Donald Trump.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Jumar, minyak Brent ditutup turun 75 sen atau setara 1,2 persen ke posisi USD64,15 per barel (sekitar Rp1,05 juta). Sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) ambles 90 sen atau 1,5 persen ke level USD60,94 per barel (sekitar Rp999 ribu).
Awalnya, pelaku pasar sempat menyambut positif keputusan pengadilan yang menyebut Trump melampaui kewenangan saat mengenakan bea masuk secara merata atas produk impor. Tapi euforia itu tak bertahan lama.
Seiring waktu, sejumlah pejabat senior Gedung Putih buru-buru menghaluskan dampaknya dan menyebut masih ada banyak jalur hukum lain untuk memberlakukan tarif serupa.
“Reaksi pasar terhadap keputusan soal tarif Trump menyusut drastis saat sesi berlangsung,” tulis Jim Ritterbusch dari konsultan energi Ritterbusch and Associates.
Menurut dia, situasi ini menunjukkan bahwa ketidakpastian soal kebijakan perdagangan AS masih akan terus menggantung, sebab tarif-tarif khusus seperti untuk otomotif dan baja tetap berlaku.
Dari sisi fundamental, pelaku pasar juga mencermati dua hal besar lainnya. Pertama, kekhawatiran bahwa Amerika Serikat bakal menjatuhkan sanksi baru untuk membatasi pasokan minyak mentah dari Rusia. Kedua, keputusan OPEC+ soal kemungkinan menambah produksi pada Juli mendatang.
Tapi dari sisi permintaan, kabarnya tak semanis ekspektasi. Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA), Fatih Birol, menyebut permintaan minyak dari China melemah cukup signifikan. Situasi di Rusia dan Iran juga masih menjadi “tanda tanya besar” yang berpotensi menahan harga minyak.
AS dan Iran diketahui tengah menggelar pembicaraan soal program nuklir, yang sejak ditinggalkan Trump pada 2018 telah membuat aktivitas nuklir Teheran kembali menggeliat. Ketegangan ini membuat arah harga energi sulit diprediksi.
“Kita lihat sendiri, isu Iran ini bikin tarik-ulur sentimen. Hari ini ancaman konflik, besok angin damai. Jadinya pasar bergerak secara teknikal sekaligus emosional,” ujar Phil Flynn, analis senior Price Futures Group.
OPEC+ Siap Tambah Pasokan
Kabar dari blok negara penghasil minyak mentah alias OPEC+ kembali mencuri perhatian pasar. Sabtu ini, kelompok yang terdiri dari negara-negara OPEC plus sekutunya dijadwalkan mengambil keputusan penting: apakah akan mempercepat peningkatan produksi mulai Juli mendatang.
Dalam catatan analis ING, diperkirakan OPEC+ bakal menyepakati tambahan pasokan sebesar 411.000 barel per hari. Proyeksi ini kemungkinan akan terus berlaku hingga akhir kuartal ketiga, seiring upaya kelompok tersebut mempertahankan pangsa pasarnya di tengah ketidakpastian geopolitik dan ekonomi.
Namun, suasana belum sepenuhnya kondusif. Pasar masih dibayangi risiko tambahan dari kemungkinan sanksi baru terhadap ekspor minyak mentah Rusia, yang bisa mengganggu keseimbangan pasokan global.
Sinyal buruk juga datang dari Amerika Selatan. Chevron—raksasa migas asal Amerika Serikat—menghentikan seluruh aktivitas produksi minyak dan beberapa operasi lain di Venezuela. Langkah ini diambil setelah pemerintah Trump pada Maret lalu mencabut izin operasional Chevron di negara tersebut.
Sebagai dampaknya, ekspor minyak Venezuela anjlok drastis. Chevron sebelumnya menyuplai 290.000 barel per hari, lebih dari sepertiga total produksi minyak Venezuela. Tapi pada April, pemerintah Caracas resmi membatalkan sejumlah pengiriman ke Chevron, dengan dalih ketidakpastian pembayaran akibat sanksi AS.
Meski begitu, analis dari Rystad Energy, Mukesh Sahdev, memperkirakan periode Mei hingga Agustus akan tetap menunjukkan kecenderungan bullish alias harga cenderung naik. Menurutnya, permintaan global untuk minyak cair diperkirakan akan melampaui pertumbuhan pasokan sekitar 600.000 hingga 700.000 barel per hari.
Angin segar sempat datang dari data mingguan Energy Information Administration (EIA) AS yang menunjukkan penurunan mengejutkan dalam stok minyak mentah. Persediaan minyak mentah AS turun sebesar 2,8 juta barel, menyisakan 440,4 juta barel. Padahal analis sempat memperkirakan adanya kenaikan sebesar 118.000 barel.
Dari utara, kebakaran hutan di Alberta, Kanada, juga memaksa sebagian produksi minyak dan gas di wilayah tersebut ditutup sementara. Selain menimbulkan kekhawatiran logistik, peristiwa ini berpotensi mempersempit pasokan jangka pendek.