KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia melonjak hampir 2 persen pada Jumat, 2 Mei 2025, setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengancam akan menjatuhkan sanksi sekunder kepada Iran. Ancaman ini muncul usai perundingan putaran keempat antara AS dan Iran ditunda.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Jumat, kontrak Brent crude ditutup di USD62,13 per barel, naik USD1,07 atau 1,8 persen. Sementara itu, kontrak West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup di USD59,24 per barel, naik USD1,03 atau 1,8 persen.
Dalam pernyataannya, Trump menegaskan semua pembelian minyak atau produk petrokimia dari Iran harus dihentikan, dan negara atau individu mana pun yang tetap membeli akan langsung dikenai sanksi sekunder.
Komentar keras Trump ini muncul usai pembatalan pertemuan yang sedianya digelar di Roma pada Sabtu, terkait program nuklir Iran. Seorang pejabat senior Iran mengatakan kepada Reuters bahwa tanggal baru akan ditentukan tergantung pada pendekatan AS.
Menurut Presiden Lipow Oil Associates, Andrew Lipow, jika pemerintah Trump berhasil menegakkan sanksi sekunder ini, pasokan global bisa berkurang sekitar satu setengah juta barel per hari. “Harga minyak yang rendah saat ini justru memberi ruang bagi pemerintahan Trump untuk lebih tegas menegakkan sanksi, apalagi di saat OPEC+ memproduksi jauh melebihi kuota dan bahkan berniat menaikkan produksi,” ujarnya.
Beberapa negara anggota OPEC+ dikabarkan akan mengusulkan percepatan kenaikan produksi dalam rapat bulan Juni, yang akan menjadi percepatan kedua berturut-turut. Menurut sumber Reuters, delapan negara OPEC+ dijadwalkan bertemu pada 5 Mei mendatang untuk memutuskan rencana produksi Juni.
Sementara itu, Arab Saudi disebut-sebut memberi sinyal kepada para sekutunya dan pelaku industri bahwa mereka tidak berniat menopang pasar minyak dengan pemangkasan pasokan dan siap menghadapi periode harga rendah yang berkepanjangan.
Namun di sisi permintaan, data terbaru justru menunjukkan ekonomi AS mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam tiga tahun pada kuartal pertama 2025. Penurunan ini dipicu lonjakan impor karena perusahaan-perusahaan berlomba menghindari biaya tambahan akibat tarif Trump, mempertegas dampak kebijakan perdagangan Trump yang tidak menentu.
Sebuah jajak pendapat Reuters bahkan menunjukkan bahwa tarif-tarif Trump kemungkinan besar akan menyeret ekonomi global ke dalam resesi tahun ini.
Ramalan Harga Minyak Dunia Versi Goldman Sachs
Prediksi soal harga minyak dunia makin panas setelah Goldman Sachs angkat bicara. Dalam catatan tertanggal 7 April, bank investasi top ini memperkirakan harga minyak dunia jenis Brent bakal bertengger di USD62 per barel (sekitar Rp1.036.019) pada Desember 2025, lalu turun ke USD55 (sekitar Rp919.995) setahun berikutnya.
Sementara minyak WTI diprediksi bakal mencapai USD58 per barel (sekitar Rp969.064) pada Desember 2025 dan anjlok ke USD51 (sekitar Rp854.139) pada Desember 2026.
Tapi tenang, ramalan ini datang dengan dua asumsi. Pertama, ekonomi Amerika Serikat sukses menghindari resesi berkat pemangkasan tarif yang cukup besar, yang dijadwalkan berlaku 9 April.
Kedua, pasokan dari delapan negara anggota OPEC+ naik secara moderat dengan tambahan produksi 130.000 sampai 140.000 barel per hari di bulan Juni dan Juli. Dengan dua asumsi ini, harga minyak dunia diprediksi tetap sedikit stabil meski tetap rawan goyang.
Sayangnya, kalau Amerika Serikat kejeblos resesi seperti siklus biasanya, Goldman Sachs memperkirakan harga minyak dunia bakal jatuh lebih dalam. Dalam skenario ini, harga Brent diprediksi turun ke USD58 per barel (sekitar Rp969.064) pada Desember 2025, lalu lanjut longsor ke USD50 (sekitar Rp835.450) pada Desember 2026. Ancaman resesi ini bikin outlook harga minyak dunia makin seram buat para investor.
Masih belum cukup dramatis? Kalau terjadi pembalikan tajam kebijakan tarif, harga minyak dunia bisa saja lebih tinggi dari prediksi. Namun, situasi yang lebih realistis adalah skenario suram, yakni Goldman Sachs bahkan sampai memangkas lagi proyeksi harga rata-rata tahunan Brent dan WTI untuk 2026. Risiko resesi yang makin gede dan potensi suplai OPEC+ yang lebih banyak jadi penyebabnya. Semua ini membuat harga minyak dunia sulit berharap banyak.
Dalam skenario perlambatan pertumbuhan global, sambil tetap memakai asumsi dasar OPEC+, Goldman Sachs memperkirakan harga minyak dunia jenis Brent akan turun ke USD54 per barel (sekitar Rp902.086) pada Desember 2025 dan ke USD45 (sekitar Rp751.905) pada Desember 2026. Harga minyak dunia yang makin tertekan ini jadi mimpi buruk baru bagi pasar energi global.
Lebih ekstrem lagi, kalau dunia benar-benar mengalami pelambatan ekonomi plus terjadi pembatalan total pemangkasan produksi OPEC+, harga minyak dunia bisa benar-benar ambruk.
Dalam skenario ini, Brent diprediksi bakal meluncur ke bawah USD40 per barel (sekitar Rp668.360) pada akhir 2026. Bayangin aja, harga minyak dunia anjlok sedalam itu—dampaknya bisa kacau balau buat negara-negara penghasil minyak.(*)