Logo
>

MK Pangkas Ambang Batas Pencalonan Pilkada 2024

Ditulis oleh KabarBursa.com
MK Pangkas Ambang Batas Pencalonan Pilkada 2024

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menurunkan ambang batas pencalonan dalam Pilkada Serentak 2024, setelah mengabulkan uji materi terhadap Pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Putusan ini terkait Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora.

    Kedua partai merasa hak konstitusionalnya terhalang, lantaran aturan lama hanya memperbolehkan partai yang memiliki kursi di DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah. Padahal, baik Partai Buruh maupun Partai Gelora mengklaim memiliki dukungan signifikan di beberapa daerah, meski suara mereka tak cukup untuk dikonversi menjadi kursi di DPRD.

    Menurut mereka, semua partai politik peserta pemilu seharusnya bisa berkoalisi untuk mencapai 25 persen suara sah, tanpa harus memiliki kursi di DPRD. Patokannya adalah jumlah suara sah yang diperoleh dalam Pileg, bukan kursi yang berhasil diraih.

    Alih-alih hanya merevisi Pasal 40 ayat (3), MK justru membuat perubahan signifikan dengan menurunkan ambang batas pencalonan bagi partai politik dalam Pilkada 2024.

    Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menekankan pentingnya Pilkada yang demokratis sesuai Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Ia menjelaskan bahwa dengan memberikan peluang bagi semua partai politik yang memiliki suara sah, maka demokrasi bisa berjalan lebih sehat.

    "Norma Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, jika dibiarkan, bisa mengancam proses demokrasi yang ideal," ucap Enny, Selasa 20 Agustus 2024.

    MK juga menyoroti bahwa syarat pencalonan antara partai politik dan calon independen harus disetarakan.

    Ketua MK Suhartoyo menambahkan, penurunan ambang batas ini berlaku untuk pencalonan gubernur dan wakil gubernur, berdasarkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di setiap provinsi.

    Ambang Batas Baru untuk Pilkada Provinsi:

    • Provinsi dengan DPT maksimal 2 juta suara: Partai atau koalisi hanya perlu memenuhi 10 persen suara sah di Pileg.
    • Provinsi dengan DPT 2-6 juta suara: Ambang batas minimal adalah 8,5 persen suara sah.
    • Provinsi dengan DPT 6-12 juta suara: Ambang batas diturunkan menjadi 7,5 persen suara sah.
    • Provinsi dengan DPT lebih dari 12 juta suara: Partai atau koalisi hanya perlu mencapai 6,5 persen suara sah.

    Ambang Batas Baru untuk Pilkada Kota/Kabupaten:

    • Kota/Kabupaten dengan DPT maksimal 250 ribu suara: Ambang batas pencalonan ditetapkan pada 10 persen suara sah.
    • Kota/Kabupaten dengan DPT 250-500 ribu suara: Ambang batas turun menjadi 8,5 persen suara sah.
    • Kota/Kabupaten dengan DPT 500 ribu hingga 1 juta suara: Partai atau koalisi hanya perlu mengantongi 7,5 persen suara sah.
    • Kota/Kabupaten dengan DPT lebih dari 1 juta suara: Ambang batas minimal ditetapkan pada 6,5 persen suara sah.

    Dengan perubahan ini, diharapkan muncul lebih banyak calon kepala daerah, serta demokrasi yang lebih berimbang tanpa didominasi oleh calon tunggal.

    Spekulasi Pilkada 

    Putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai persyaratan usia calon kepala daerah kini menuai tudingan sebagai langkah politik untuk mempermudah putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Walau demikian, beberapa partai politik membantah tuduhan ini, dengan menegaskan bahwa keputusan ini memberi ruang bagi generasi muda untuk menunjukkan kapasitas mereka dalam arena politik.

    Menurut Aisah Putri Budiarti, peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), keputusan MA membuka kesempatan bagi Kaesang, yang baru akan berusia 30 tahun pada bulan Desember mendatang, untuk mencalonkan diri dalam pilkada tingkat provinsi. “Selain faktor usia, pertanyaan timbul mengapa revisi ini dilakukan saat ini? Mengapa harus dilakukan di tengah proses pemenuhan persyaratan dukungan calon perseorangan dan melalui jalur-jalur yang terkesan memotong prosedur?” ujar Aisah, dikutip Selasa 20 Agustus 2024.

    MA telah mengubah ketentuan syarat usia calon kepala daerah dari minimal 30 tahun untuk tingkat provinsi dan 25 tahun untuk kota/kabupaten terhitung sejak penetapan pasangan calon pada 22 September 2024, menjadi terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih yang diperkirakan akan dilaksanakan pada awal tahun 2025.

    Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengkritik penalaran hukum dalam putusan MA yang dianggapnya tidak wajar dan melampaui kewenangan konstitusional MA. “Kita melihat pola yang serupa dengan perubahan syarat capres dan cawapres di MK. Ini seperti modus operandi yang sudah dikenal,” kata Bivitri, menambahkan bahwa pola ini mirip dengan perubahan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya untuk memuluskan pencalonan Gibran.

    Dia juga menyoroti waktu revisi yang terjadi di tengah proses pilkada, mempertanyakan urgensi perubahan tersebut tanpa dasar yang jelas. “Perubahan ini seharusnya dilakukan melalui jalur legislatif yang matang, bukan dengan prosedur kilat,” ujarnya.

    Dalam putusan tersebut, MA menilai bahwa ketentuan syarat usia calon kepala daerah yang lama bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. MA mengabulkan hak uji materi (HUM) yang diajukan oleh Ahmad Ridha Sabana dari Partai Garuda terhadap Pasal 4 ayat 1 huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020, yang semula menetapkan usia minimal terhitung sejak penetapan pasangan calon, kini berubah menjadi usia terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.

    Dalam perkembangan terkini, Presiden Joko Widodo dan kakaknya, Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, enggan berkomentar banyak mengenai putusan tersebut. Kaesang sendiri sering disebut-sebut dalam berbagai spekulasi sebagai calon kepala daerah di beberapa wilayah, termasuk DKI Jakarta.

    Partai-partai politik memiliki pandangan berbeda terhadap putusan MA. Partai Golkar melihat keputusan ini sebagai hal yang positif karena memberikan kesempatan yang sama bagi semua calon, sementara Partai Nasdem dan beberapa politikus dari PDI Perjuangan menilai keputusan tersebut sebagai bentuk manipulasi hukum untuk kepentingan tertentu.

    Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga kini belum memberikan tanggapan resmi terkait putusan MA tersebut. Sementara itu, beberapa politisi dan pengamat hukum mengkritik proses pengujian yang dianggap terlalu cepat dan kurang transparan.

    Keputusan ini juga mengundang berbagai spekulasi tentang langkah politik Kaesang ke depan, baik dalam Pilkada DKI Jakarta maupun kemungkinan lainnya. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi