KABARBURSA.COM — Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengajak masyarakat yang mudik Lebaran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengajak masyarakat yang mudik Lebaran untuk mengecek patok tanah di halaman milik keluarga.
Direktur Jenderal Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (Dirjen SPPR) Kementerian ATR/BPN, Virgo Eresta Jaya, mengatakan, pengecekan tersebut penting untuk mencegah potensi sengketa tanah, pasalnya ada lebih dari 50 persen konflik batas tanah terjadi akibat ketidaan patok yang jelas.
"Lebih dari 50 persen masalah sengketa batas terjadi akibat ketiadaan patok batas. Oleh karena itu, kita akan mengatur dalam regulasi baru bahwa tanda batas harus bersifat permanen. Jika tidak permanen, maka tidak bisa diukur. Tidak bisa lagi hanya menggunakan bambu sebagai tanda batas, harus sesuatu yang permanen, seperti beton, tembok, atau pagar. Buat masyarakat yang mudik, yuk di cek kembali patok atau tanda batas tanahnya," ujar Virgo dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Senin, 31 Maret 2025.
Virgo menjelaskan bahwa menjaga aset tanah, termasuk yang ada di kampung halaman, adalah tanggung jawab pemiliknya. Salah satu cara menjaga tanah adalah dengan memasang patok batas yang jelas. Selain sebagai bukti kepemilikan, patok batas juga menjadi langkah awal dalam proses legalisasi hak atas tanah sebelum diterbitkan sertipikat resmi.
Ia juga menambahkan bahwa pemasangan patok batas tanah tidak hanya berdampak administratif, tetapi juga memiliki nilai sosial karena melibatkan interaksi dengan tetangga sekitar.
“Nanti ketika di kampung halaman masing-masing, tanahnya ditembok atau pagari. Dalam proses pemasangan tanda atas, pasti akan ada silaturahmi dengan tetangga, minimal dengan yang ada di kiri, kanan, dan belakang. Jadi, memasang tanda batas bukan hanya soal administrasi, tetapi juga memiliki nilai sosial dan keberkahan,” kata Virgo.
Merujuk pada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2021, ada beberapa aturan dalam pemasangan tanda batas bidang tanah.
Beberapa ketentuan tersebut meliputi; pemasangan patok dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pemilik tanah yang berbatasan, pendokumentasian setiap patok batas yang dipasang dengan foto serta dilengkapi keterangan lokasi, koordinat, atau geotagging, pemeliharaan tanda batas menjadi tanggung jawab pemilik tanah, surat pernyataan pemasangan patok dan persetujuan dari pemilik tanah yang berbatasan menjadi syarat kelengkapan berkas permohonan legalisasi tanah.
Sebagai bagian dari upaya pencegahan sengketa tanah, Kementerian ATR/BPN telah mencanangkan Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas (GEMAPATAS) sejak Februari 2023.
Adapun, program ini melibatkan pemasangan satu juta patok batas secara serentak di seluruh Indonesia guna mempercepat pendaftaran tanah dan mengurangi potensi konflik kepemilikan.
Satgas Mafia Tanah
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dede Yusuf, mengaku setuju jika pelaku mafia tanah dimiskinkan. Dia bahkan mengusulkan pemerintah untuk membentuk satuan tugas (satgas) khusus yang menangani penegakan hukum pemberantasan mafia tanah.
“Menurut saya, perlu dibentuk satgas khusus yang serius dalam memberikan sanksi tegas kepada mafia tanah. Satgas ini akan menjadi garda terdepan dalam memberantas praktik mereka,” kata Dede dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, dikutip Sabtu, 2 November 2024.
Dede menilai, satgas penegakan hukum mafia tanah dinilai diperlukan untuk mempermudah koordinasi antara Pemerintah dengan aparat penegak hukum. Dia berharap Satgas ini bisa menjadi terobosan dalam pemberantasan mafia tanah karena ancaman hukumannya cukup signifikan bagi pelaku.
“Kolaborasi menjadi kunci untuk menangani masalah mafia tanah. Sehingga harus ada koordinasi dengan lembaga-lembaga penegak hukum yang kompeten dalam hal ini dan harus ada komitmen bersama, tidak bisa dikerjakan sendirian,” tuturnya.
Seperti diketahui, Pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid berencana menjerat mafia tanah dengan delik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Upaya pemiskinan mafia tanah dinilai penting agar memberikan dampak besar.
Untuk memulai langkah tersebut, Pemerintah akan berkoordinasi intensif dengan penegak hukum di Indonesia seperti Kejaksaan Agung (Kejagung), Polri, hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dede menyambut positif rencana tersebut karena menurutnya mafia tanah kerap terjadi akibat kurang adanya efek jera dalam penegakan hukum bagi pelaku. “Mungkin itu yang akan diupayakan dengan delik TPPU, bisa dimiskinkan. Kita lihat ide ini bagus, prinsipnya kita dukung,” jelasnya.
“Tinggal bagaimana koordinasi dengan pihak penegak hukum karena bagaimanapun juga Menterinya kan tidak bisa melaksanakan hukum, paling kan mencabut izin,” sambungnya.
Bergerak Secara Terstruktur Dan Sistematis
Dari laporan Kementerian ATR/BPN kepada Komisi II DPR, Dede menilai jaringan mafia tanah ini bergerak secara terstruktur dan sistematis sehingga perlu ada penegakan hukum yang kuat. Ada beberapa faktor yang dinilai menjadi penyebab sulitnya penumpasan mafia tanah selama ini.
“Faktor tidak terukur dengan baik, tidak terdata dengan baik, tidak terkawal dengan baik atau mungkin ada oknum. Selama ini mungkin jerat hukumnya juga masih terlalu biasa, paling ancaman hukuman 5 tahun atau denda berapa,” terang Dede.
“Padahal kalau menurut Menteri itu, mafia tanah ini ada persatuan mafia tanahnya. Ada kaya organisasinya. Inilah yang membuat mereka patut dimiskinkan,” tambahnya.
Dede menyebut mafia tanah sudah menjadi masalah yang mengakar dan menghambat stabilitas agraria di Indonesia. Menurutnya, praktik mafia tanah bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga seringkali berdampak pada masyarakat luas yang kehilangan hak atas tanah mereka.
“Sementara yang dirugikan sangat banyak, makanya kemarin Menteri (ATR) menyampaikan untuk menggunakan deliknya adalah pencucian uang atau TPPU,” tegasnya.
Menurutnya, jika menggunakan jerat hukum TPPU berarti harus ada laporan tentang aliran dana pelaku dan laporan keuangan dari PPATK. Sebab kasus mafia tanah ada beberapa jenis, termasuk yang merugikan negara lewat penguasaan ilegal kelompok tertentu terhadap tanah.
Pemilik tanah kerap tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), tutur Dede, namun mereka membuat usaha di atas tanahnya. Modus operandi mereka seringkali melibatkan pemalsuan dokumen, penggelapan, dan pendudukan ilegal. Dede mengatakan, hal tersebutlah yang merugikan negara dengan nominal yang tidak sedikit.
“Pajak tidak dibayar, tidak punya HGU tapi produksi jalan terus. Itu kan banyak sekali perkebunan dan pertanahan yang mungkin itu milik negara, milik rakyat,” sebut mantan Wagub Jawa Barat ini.
Menurut data dari Satgas Anti Mafia Tanah, sebagian besar kasus melibatkan pemalsuan dokumen sekitar 66,7 persen, diikuti oleh penggelapan 19,1 persen, dan pendudukan ilegal 11 persen. Dede mengatakan, perihal tanah ini menyangkut masalah kedaulatan negara, di mana sebuah negara itu ada karena memiliki tanah, masyarakat, dan penghasilan sumber daya.
Tanah Hanya Dikuasai Segelintir Orang
Artinya, lanjut Dede, jika tanah hanya dikuasai oleh segelintir orang maka akan banyak rakyat yang belum sejahtera. “Rasanya nggak fair sebagai sebuah negara kehidupan berbangsa dan bernegara itu hanya ditentukan oleh segelintir orang yang menguasai jutaan hektar lahan,” kata Dede.
Dede meyakini, Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia bisa lebih tegas dalam penegakan hukum termasuk untuk mafia tanah. Apalagi, kata Dede, hal tersebut telah disinggung berkali-kali oleh Prabowo.
“Pasti beliau sudah punya pemikiran konsep selama ini peredaran uang itu hanya beredar pada 10 persen masyarakat yang ada di pucuk teratas. Makanya agak miris ketika masyarakat Indonesia masih banyak yang penghasilannya di bawah UMR, berarti asas keadilan belum terjadi,” sambung Dede.
Presiden Prabowo pun diyakini akan berjuang untuk 90 persen masyarakat lain yang ada di kelas menengah dan kelas ke bawah yang perputaran uangnya sangat sedikit. Dede menyebut Prabowo memiliki visi misi dalam memimpin Indonesia dengan asas keadilan bagi semua rakyat Indonesia.
“Dulu asasnya investasi, sebanyak-banyaknya investasi masuk, menciptakan lapangan kerja. Tapi realitanya pajak tidak dibayarkan di Indonesia, devisanya keluar negeri tapi ilegal, banyak banget ilegalnya,” imbuh Dede. (*)