Logo
>

Nasib Proyek PT.Timah (TINS) di Bangka Belitung

Ditulis oleh KabarBursa.com
Nasib Proyek PT.Timah (TINS) di Bangka Belitung

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Timah telah menjelma sebagai salah satu andalan utama di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kontribusinya membawa Indonesia berdiri tegak sebagai negara kedua terbesar dalam produksi timah, melampaui belahan bumi manapun kecuali China.

    Kepulauan Bangka Belitung menjadi pangkalan terbesar produksi timah di tanah air, menyumbang hingga 90 persen dari total timah yang dihasilkan di Indonesia. Tak mengherankan, deretan perusahaan tambang timah menjulang di Bangka Belitung.

    Saat ini, di antara para pemain utama di sektor ini, selain raksasa industri seperti PT Timah Tbk (TINS), bergabunglah PT Mitra Stania Prima (MSP), sebuah entitas milik Hasjim Djojohadikusumo yang merupakan adik dari Prabowo Subiyanto, Presiden terpilih 2024.

    Di bawah naungan Arsari Group (PT Arsari Tambang), yang juga kepunyaan Hasjim Djojohadikusumo, terhampar empat anak perusahaan. Mereka menggarap eksplorasi, eksploitasi, penambangan, pemrosesan, peleburan, pemurnian, hingga ekspor timah di kawasan kepulauan Bangka Belitung.

    Pertama, PT Mitra Stania Prima (MSP) menempati posisi sebagai salah satu dari tiga perusahaan tambang timah terbesar di Indonesia. Sejak 2013, MSP telah berkecimpung dalam kegiatan penambangan di Mapur dengan luas lahan mencapai 233.5 hektar, dengan potensi cadangan mencapai 7.071 ton timah (Sn).

    MSP memiliki dan mengoperasikan fasilitas peleburan timah serta pabrik pemurnian. Fasilitas peleburan MSP dilengkapi dengan dua tungku konvensional yang mampu memproduksi 3.600 ton ingot timah per tahun. Ingot timah MSP menjadi produk yang terdaftar di Bursa London Metals Exchange (LME). Saat ini, MSP mampu mengekspor sekitar 3.300 ton logam timah.

    Kedua, PT Mitra Stania Kemingking, merupakan afiliasi dari PT Mitra Stania Prima. Sementara PT Mitra Stania Bembang, bergabung dengan PT Mitra Stania Prima pada tahun 2020 dan memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 441,5 Ha.

    Ketiga, PT AEGA Prima, anak perusahaan dari PT Arsari Tambang, turut berperan dalam industri pertambangan timah terintegrasi di Kepulauan Bangka Belitung.

    AEGA Prima memiliki total lahan IUP seluas 28.884,50 Ha tersebar di beberapa wilayah di antaranya Laut Tanjung Sangau, Laut Tanjung Genting, Laut Bubus, Laut Tanjung Mengkudu, dan Laut Teluk Kelabat. Dari total 19 IUP yang dimiliki, masa aktifnya berkisar antara tahun 2025 hingga 2031.

    Lima perusahaan pertambangan di Bangka Belitung telah mendapatkan verifikasi dari Sucofindo untuk melakukan ekspor timah pada periode 2019 hingga pertengahan 2020.

    Adapun perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Timah Tbk, PT Refined Bangka Tin, PT Mitra Stania Prima, PT Menara Cipta Mulia, dan PT Artha Cipta Langgeng. Namun, hanya lima perusahaan ini yang konsisten melakukan ekspor menggunakan jasa Sucofindo, meskipun terdapat sekitar 30 eksportir timah di Bangka Belitung.

    Di sisi lain, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat sejumlah perusahaan dan izin tambang yang dimiliki diantaranya PT Rajehan Ariq, PT Senta Tin Indo Sentosa, PT Sentra Tin Indo Cemerlang, PT Sentra Tin Indo Makmur, PT DS Jaya Abadi, PT Premium Tin Indonesia, CV Tiga Sekawan, PT Kijang Jaya Mandiri, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Timah Tbk (TINS).

    Sekretariat Jenderal Asosiasi Penambang dan Pengolahan Pasir Mineral Indonesia (Atomindo), Rudi Syahwani, menegaskan bahwa PT MSP menjadi satu-satunya perusahaan yang sudah aktif melakukan produksi dan ekspor sejak awal tahun 2024 setelah mendapat persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Dirjen Minerba.

    Posisi kedua yang sebelumnya ditempati oleh PT Refined Bangka Tin (RBT) mengalami gangguan akibat proses hukum di Kejaksaan Agung dan belum dikeluarkannya persetujuan RKAB, sehingga saat ini belum beroperasi.

    Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyangkal klaim bahwa hanya perusahaan milik Hasjim Djojohadikusumo yang mendapat persetujuan RKAB.

    "Sudah banyak yang kami setujui," ujar Tri mengutip Kontan, Rabu 3 April 2024.

    Namun, ekspor timah dari Kepulauan Bangka Belitung menunjukkan penurunan pada awal tahun ini. Menurut data resmi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024, ekspor timah dari provinsi tersebut nihil pada bulan Januari 2024.

    Dampaknya terasa dengan penurunan signifikan dalam nilai ekspor Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, baik secara bulanan maupun tahunan, mencapai level US$ 29,79 juta. Penurunan produksi dan ekspor timah ini sebagian disebabkan oleh maraknya tambang ilegal.

    Rudi menjelaskan bahwa dampak penurunan ekspor ini cukup terasa, terutama dalam grafik ekspor BPS yang mengalami penurunan yang signifikan.

    Menurut Rudi, penurunan ini berpotensi mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat karena timah dan pertambangan masih menjadi sumber pendapatan utama dan mudah bagi masyarakat di Bangka Belitung.

    Dengan lambatnya proses persetujuan RKAB oleh Dirjen Minerba, masyarakat kesulitan menjual hasil tambang mereka. Hal ini karena semua itu telah menjadi bagian dari rantai produksi yang berjalan selama ini.

    Rudi juga menyebutkan bahwa, hingga saat ini, kegiatan ekspor ingot masih berlangsung, dilakukan oleh PT Timah Tbk (TINS) dan PT MSP yang sudah mendapatkan RKAB.

    Namun, kegiatan ekspor lainnya belum aktif kembali, karena belum ada izin dari pihak berwenang. PT Timah dan MSP memiliki IUP yang aktif dikelola, sehingga mereka mampu membuktikan bahwa bijih timah yang mereka olah berasal dari sumber yang sah.

    Terkait perusahaan lainnya, Rudi menyatakan bahwa belum ada kejelasan terkait status mereka sebagai perusahaan yang sah dalam penambangan timah.

    Ketidakterbukaan ekspor timah telah membawa dampak negatif bagi masyarakat Bangka Belitung. Bisnis timah di sana telah menjadi jalinan ketergantungan yang saling menguntungkan antara masyarakat penambang, pembeli, pengolahan, hingga akhirnya menjadi komoditi ekspor.

    Menurut Rudi, dampak buruk lainnya adalah potensi terjadinya penyelundupan karena kondisi geografis di Bangka Belitung yang memungkinkan hal tersebut terjadi.

    Rudi menegaskan bahwa masyarakat tetap melakukan penambangan, dan jika tidak ada yang menerima hasil tambang mereka, akan timbul pertanyaan mengenai kemana bijih timah tersebut dibawa.

    Demikianlah gambaran eksplorasi yang dalam tentang peta bisnis timah di Bangka Belitung, sebuah cerita yang kental dengan keberagaman dan dinamika industri.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi