KABARBURSA.COM - Pasar obligasi global mulai mereda dari gejolaknya pada Kamis, 9 Januari 2025, sementara dolar AS masih kokoh di puncak tertingginya dalam lebih dari setahun. Namun, pasar saham Asia tetap memerah dengan mayoritas indeks mengalami penurunan.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Kamis, imbal hasil obligasi 10 tahun AS melandai ke 4,66 persen dari puncak semalam di 4,73 persen—angka tertinggi sejak April 2024. Di Jepang, obligasi pemerintah bertenor sama sempat naik 1 basis poin ke 1,185 persen, level tertinggi sejak Mei 2011, sebelum kembali stabil.
Australia juga mengikuti tren serupa, dengan imbal hasil obligasi bertahan di 4,49 persen setelah menyentuh puncak 4,54 persen pada Rabu—angka tertinggi sejak akhir November.
Kini, perhatian investor beralih ke pasar obligasi Inggris yang memicu kekhawatiran akibat lonjakan imbal hasil sebesar 20 basis poin pekan ini, meskipun tidak ada pemicu spesifik.
“Pasar obligasi Inggris layak diwaspadai, trennya jelas mengkhawatirkan. Namun, Bank of England (BoE) lebih siap menghadapi gejolak kali ini,” ujar Kepala Riset Pepperstone, Chris Weston.
Nilai tukar pound sterling kembali melemah 0,26 persen ke USD1,23 (sekitar Rp19.680). Penurunan ini melanjutkan pelemahan 0,9 persen pada Rabu kemarin. Di sisi lain, indeks dolar—yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama lainnya—naik ke 109,07, mendekati level tertinggi 109,54 yang tercapai minggu lalu.
Tekanan dari Ekonomi AS
Kenaikan dolar dan imbal hasil obligasi AS didorong oleh data ekonomi yang menunjukkan ekonomi AS tetap tangguh di tengah inflasi yang persisten. Ini membuat pasar mengurangi ekspektasi pemotongan suku bunga oleh The Fed tahun ini.
Risalah rapat The Fed pada Desember tahun lalu mengungkap kekhawatiran para pejabat soal kebijakan tarif dan imigrasi yang direncanakan Presiden terpilih Donald Trump. Tarif Trump dinilai dapat memperpanjang perlawanan terhadap inflasi.
Rabu kemarin, kabar CNN yang menyebut Trump mempertimbangkan deklarasi keadaan darurat ekonomi nasional memicu penjualan besar-besaran obligasi AS. Kebijakan tersebut dirumorkan akan menjadi dasar penerapan tarif universal terhadap negara sekutu maupun rival. Saat ini, pasar hanya memperkirakan satu kali pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin di 2025, dengan peluang 60 persen untuk pemotongan kedua.
Bursa Asia Berguguran
[caption id="attachment_106564" align="alignnone" width="1199"] Seorang pejalan kaki melewati Bursa Efek Shanghai di Area Baru Pudong. Foto: Wang Gang/untuk China Daily[/caption]
Pasar saham global merasakan dampak sentimen lemah ini. Nikkei Jepang merosot 1,2 persen, diperparah oleh penguatan yen yang naik 0,2 persen menjadi 158,08 per dolar setelah sempat anjlok ke level terendah 158,55 per dolar.
Indeks saham Australia melemah 0,5 persen, sementara pasar Taiwan turun 1,1 persen. Indeks Hang Seng Hong Kong dan CSI 300 Tiongkok daratan relatif stabil tanpa pergerakan signifikan.
Futures indeks S&P 500 AS turun 0,2 persen, meski indeks utamanya sempat naik tipis 0,2 persen semalam. Futures STOXX 50 Eropa turut terkoreksi, namun futures FTSE Inggris mencatat kenaikan tipis 0,2 persen.
Dengan kekhawatiran inflasi dan kebijakan Trump yang belum jelas, pasar tampaknya masih mencari keseimbangan di tengah ketidakpastian global.
Sementara itu, pasar saham AS tutup hari ini untuk memperingati hari berkabung nasional atas meninggalnya mantan Presiden Jimmy Carter. Pasar obligasi AS pun hanya buka setengah hari.
Investor menantikan laporan ketenagakerjaan bulanan AS yang akan dirilis Jumat besok dan diharapkan memberi petunjuk arah kebijakan The Fed.
Di sisi lain, yuan China nyaris tak bergerak di dekat level terendah 16 bulan terhadap dolar AS setelah bank sentral Tiongkok mengumumkan penjualan surat utang yuan lepas pantai dalam jumlah rekor untuk menopang mata uangnya.
“Langkah ini menegaskan preferensi kebijakan Tiongkok yang teguh menjaga stabilitas mata uangnya,” ujar seorang analis di Mizuho Securities, Shoki Omori. Ia memprediksi yuan akan menguat ke 7,22 per dolar AS pada akhir tahun.
Yuan di pasar domestik tercatat di 7,3310 per dolar AS, tak jauh dari level terendah 7,3322 yang tercapai sehari sebelumnya—angka terlemah sejak September 2023.
Harga Minyak dan Emas Menurun
Di sisi lain, harga minyak melemah tipis karena penguatan dolar dan lonjakan persediaan bahan bakar di AS pekan lalu. Minyak Brent turun 4 sen menjadi USD76,11 (sekitar Rp1,22 juta) per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) turun 8 sen menjadi USD73,24 (sekitar Rp1,17 juta) per barel.
Harga emas juga turun 0,1 persen menjadi sekitar USD2.659 (sekitar Rp42,54 juta) per ons, setelah sempat menyentuh puncak tertinggi USD2.670,10 pada malam sebelumnya—level tertinggi sejak 13 Desember.
Di dunia kripto tak kalah lesu. Harga Bitcoin bertahan di sekitar USD94.508 (sekitar Rp1,51 miliar) setelah anjlok 7 persen selama dua hari terakhir.(*)