Logo
>

Pasar Tunggu Keputusan BI Rate di Tengah Tekanan Global

BI diproyeksi pangkas suku bunga jadi 5,50 persen usai Moody’s turunkan rating AS dan Wall Street stagnan di tengah kekhawatiran fiskal.

Ditulis oleh Syahrianto
Pasar Tunggu Keputusan BI Rate di Tengah Tekanan Global
Suasana dalam main hall Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta. (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM Pelaku pasar menantikan keputusan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Selasa, 20 Mei 2025. 

Saat ini, BI Rate berada di level 5,75 persen. Pasar keuangan tengah mencermati dua kemungkinan arah kebijakan, yaitu tetapnya suku bunga atau pemangkasan sebesar 25 basis poin.

Menurut laporan riset yang disusun oleh Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, terdapat dua skenario utama yang dianalisis pasar menjelang pengumuman tersebut.

Skenario BI Rate Tetap di 5,75 Persen

Dalam pandangan konservatif, BI diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mencegah aliran keluar modal asing. Hal ini terutama karena bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), belum menunjukkan sinyal pemangkasan Federal Funds Rate (FFR).

“Selama The Fed belum menurunkan FFR, BI cenderung bersikap hati-hati untuk menjaga interest rate differential,” tulis Liza dalam laporan bertajuk Macro Outlook Kiwoom Research, yang dirilis pada Senin, 19 Mei 2025.

Stabilitas eksternal menjadi faktor dominan dalam skenario ini. Risiko geopolitik juga ikut dipertimbangkan, seiring dengan potensi kebijakan proteksionis yang kembali mencuat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump di Amerika Serikat.

Meski telah terjadi kesepakatan gencatan dagang sementara antara AS dan China selama 90 hari, pasar dinilai masih melihat situasi tersebut sebagai bersifat tentatif dan belum cukup solid untuk mendorong pelonggaran agresif.

“Dalam konteks ini, BI kemungkinan besar akan mempertahankan kebijakan ketat sebagai perisai terhadap ketidakpastian global dan potensi lonjakan volatilitas pasar keuangan,” tulis Kiwoom Research.

Skenario BI Turunkan 25 Basis Poin

Dalam skenario yang lebih akomodatif, BI dinilai memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga ke level 5,50 persen. Stabilitas nilai tukar Rupiah di kisaran Rp16.435 per dolar AS menjadi salah satu faktor yang mendukung peluang pelonggaran.

Laporan tersebut juga mencatat bahwa BI pernah menurunkan suku bunga dalam kondisi serupa pada 17–18 September 2024, dari 6,25 persen ke 6 persen, saat Rupiah stabil di kisaran Rp15.330 per dolar AS.

Selain itu, pemangkasan peringkat kredit Amerika Serikat oleh Moody’s dari AAA menjadi Aa1 pada Jumat, 16 Mei 2025, juga menjadi perhatian. Aksi ini menimbulkan tekanan pada dolar AS dan meningkatkan daya tarik mata uang pasar berkembang, termasuk Rupiah.

Kiwoom juga menyoroti kebijakan moneter global. Meski inflasi di AS telah menunjukkan tren penurunan, The Fed belum memangkas suku bunga. Hal ini menyebabkan real interest rate di AS tetap tinggi.

“Dengan real yield AS yang masih tinggi, ruang untuk easing secara global terbuka lebih cepat, bahkan berpotensi dimulai pada Juni atau Juli,” kata Liza dalam laporan tersebut.

Dari kawasan regional, bank sentral China (PBOC) juga dijadwalkan menggelar rapat pada hari yang sama. Konsensus pasar memperkirakan pemangkasan China Loan Prime Rate sebesar 10 basis poin. Jika terealisasi, sentimen pelonggaran di Asia dapat memperkuat ekspektasi bahwa Indonesia juga memiliki peluang untuk memulai kebijakan yang lebih longgar.

Proyeksi Kiwoom Sekuritas Indonesia: Suku Bunga Dipangkas

Melihat indikator-indikator tersebut, Kiwoom Research memperkirakan bahwa Bank Indonesia akan menurunkan BI7DRRR sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen.

“Probabilitas pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps ini bisa terus terbuka apabila penguatan Rupiah stabil dan ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed menguat secara konsisten dalam beberapa hari ke depan,” tulis Liza.

Lebih lanjut, laporan tersebut menyebut bahwa BI bisa memanfaatkan ruang kebijakan untuk memberikan sinyal dovish lebih awal, dengan tetap mempertimbangkan stabilitas eksternal secara cermat.

Tekanan Global Menguat, Wall Street Melemah Imbas Rating AS Turun

Tekanan eksternal terhadap arah kebijakan moneter Bank Indonesia juga semakin nyata menyusul penurunan peringkat kredit pemerintah Amerika Serikat oleh lembaga pemeringkat Moody’s. Hal ini memperkuat volatilitas pasar global, yang menjadi salah satu pertimbangan utama dalam keputusan suku bunga pekan ini.

Bursa saham Amerika Serikat ditutup nyaris stagnan pada perdagangan Senin, 19 Mei 2025 waktu setempat. Meskipun indeks utama Wall Street masih bergerak di zona positif, pergerakan yang terbatas mencerminkan sentimen pasar yang tertekan oleh keputusan Moody’s, yang pada Jumat sebelumnya menurunkan peringkat utang jangka panjang pemerintah AS dari “Aaa” menjadi “Aa1”.

Penurunan ini didasari oleh kekhawatiran terhadap profil fiskal AS yang dinilai memburuk. Moody’s mengutip beban utang yang membengkak hingga USD36 triliun dan meningkatnya pembayaran bunga sebagai faktor utama. Keputusan ini menjadi sinyal negatif bagi stabilitas ekonomi global, termasuk pasar negara berkembang.

“Pasar memang diperkirakan akan bereaksi karena pengumuman dari Moody’s dilakukan setelah jam perdagangan berakhir,” ujar Talley Leger, Kepala Strategi Pasar di The Wealth Consulting Group, dikutip dari Reuters. Ia menambahkan bahwa sentimen pelaku pasar terhadap aset-aset berbasis dolar AS bisa mengalami koreksi berlebihan dalam jangka pendek.

Meski sempat tertekan di awal perdagangan, indeks-indeks utama berhasil pulih menjelang penutupan. Dow Jones Industrial Average naik 137,33 poin atau 0,32 persen ke level 42.792,07. Sementara itu, S&P 500 menguat tipis 5,22 poin (0,09 persen) ke 5.963,60, dan Nasdaq Composite bertambah 4,36 poin atau 0,02 persen ke 19.215,46.

Kinerja sektoral di S&P 500 memperlihatkan penguatan pada tujuh dari 11 sektor, dipimpin oleh sektor kesehatan, barang konsumsi primer, industri, material, dan utilitas. Sebaliknya, sektor energi dan barang konsumsi non-primer mencatatkan penurunan, mencerminkan rotasi investor ke saham-saham defensif di tengah ketidakpastian.

Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun naik 1 basis poin menjadi 4,449 persen. Kenaikan ini mencerminkan kekhawatiran bahwa usulan RUU pemangkasan pajak oleh Presiden Donald Trump, yang baru saja mendapat persetujuan awal dari komite penting Kongres, dapat memperburuk defisit fiskal AS. 

Aktivitas perdagangan juga menunjukkan lonjakan partisipasi. Volume transaksi di seluruh bursa AS mencapai 19,41 miliar saham, jauh di atas rata-rata 20 hari perdagangan terakhir yang berada di kisaran 17,34 miliar saham.

Di Bursa Efek New York (NYSE), rasio saham naik dan turun seimbang di angka 1:1. Tercatat 216 saham menyentuh level tertinggi baru, sementara 50 saham mencetak level terendah. Di S&P 500, ada 26 saham yang menyentuh level tertinggi 52 minggu tanpa ada penurunan baru, sedangkan di Nasdaq terdapat 57 saham yang mencetak rekor tertinggi dan 57 lainnya menyentuh titik terendah baru. (*) 

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Syahrianto

Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.