KABARBURSA.COM - Sejak pertama kali diperkenalkan pada 2018, produk buy now pay later atau beli sekarang bayar nanti, semakin marak di Indonesia. Berbeda dengan beberapa negara yang menyebutnya sebagai BNPL, di Indonesia produk ini lebih dikenal sebagai paylater.
Masyarakat Indonesia telah sangat akrab dengan produk-produk paylater seperti GoPayLater, SPayLater, Akulaku PayLater, Traveloka PayLater, dan banyak lagi. Perkembangan pesat para pemain paylater ini tidak lepas dari fleksibilitas penggunaannya untuk kebutuhan sehari-hari, seperti membayar transportasi online, membeli makanan, hingga berbelanja di marketplace. Pendaftaran paylater pun sangat mudah, hanya memerlukan KTP, dan beberapa syarat lain, akun paylater bisa dibuat dalam hitungan menit.
Tidak heran jika produk ini tidak hanya didominasi oleh pemain financial technology dan perusahaan pembiayaan, tetapi juga mulai dikembangkan oleh perbankan, institusi yang dikenal memiliki aturan dan prosedur yang lebih ketat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding piutang paylater mencapai Rp6,13 triliun hingga akhir Maret 2024, meningkat 23,90 persen secara year on year. OJK memprediksi kinerja paylater akan tetap tumbuh seiring berkembangnya teknologi yang memudahkan masyarakat untuk bertransaksi belanja secara online.
Namun, industri paylater juga memiliki tantangan tersendiri, salah satunya adalah rendahnya literasi keuangan di kalangan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa masih banyak nasabah paylater yang menunggak pembayaran pinjaman.
Sama seperti pinjaman atau kredit lainnya, tunggakan paylater akan ditagih oleh pihak pemberi pinjaman. Aktivitas penagihan ini seringkali dikeluhkan oleh masyarakat karena dianggap melanggar hak-hak konsumen. Benarkah penagihan yang dilakukan tidak sesuai prosedur?
Berdasarkan data dari Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), lebih dari 90 persen penagihan paylater telah dilakukan sesuai prosedur. Menurut Ketua APPI, Suwandi Wiratno, dari 2.871 data penagihan atau pengaduan sepanjang 2023, hanya terdapat tiga kasus yang terindikasi pelanggaran dalam proses penagihan.
Untuk melindungi konsumen dalam proses penagihan, OJK telah mengeluarkan Peraturan OJK nomor 22 tahun 2023. Peraturan ini bertujuan melindungi itikad baik Perusahaan Pembiayaan maupun konsumen, melarang kerja sama dengan pihak yang melakukan kegiatan pinjaman online ilegal, dan memastikan pelaku usaha jasa keuangan tidak melakukan kegiatan yang merugikan konsumen.
Para pelaku usaha jasa keuangan juga diwajibkan meningkatkan literasi dan inklusi keuangan kepada konsumen, menerapkan kebijakan prosedur dan kode etik perlindungan konsumen, menjaga perlindungan data pribadi, keamanan sistem informasi, serta ketahanan siber untuk perlindungan konsumen.
Namun, peraturan ini juga menegaskan bahwa debitur nakal tidak akan dilindungi. Pasal 6 POJK Nomor 22 Tahun 2023 menyebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan berhak mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
Dalam implementasinya, para Perusahaan Pembiayaan juga diwajibkan mematuhi POJK saat menjalani proses penagihan ke debitur. "Semua pelaku usaha jasa keuangan perusahaan pembiayaan harus menaati asas-asas yang berlaku di Peraturan OJK. Selama mereka mengikuti koridor aturan yang mengacu pada POJK, mereka sudah benar," tambah Suwandi.
Dalam proses penanganan keterlambatan pembayaran tagihan, setiap pemain paylater di Indonesia memiliki prosedurnya masing-masing. Contohnya adalah SPayLater. Mengutip dari halaman Pusat Bantuan SPayLater, terdapat beberapa tahapan untuk menangani keterlambatan pembayaran tagihan dari debitur, dimulai dari pengenaan denda keterlambatan.
Setelah itu, debitur akan mengalami pembatasan akses fungsi di aplikasi. Di langkah terakhir, SPayLater akan melakukan penagihan. Keterlambatan pembayaran juga dapat mempengaruhi peringkat kredit debitur di Sistem Layanan Informasi Keuangan.
Suwandi menjelaskan agar masyarakat tidak sembarangan menggunakan fasilitas paylater, terutama harus memperhatikan kemampuan untuk membayar. Jangan sampai ada nasabah yang menunggak, namun yang disalahkan adalah perusahaan paylater.
"Ini adalah semacam fasilitas yang disediakan. Bisa jalan-jalan pakai pinjaman, pulangnya pusing bayar cicilan. Yang disalahin perusahaan itu, kan nggak lucu," lanjutnya.
Menurutnya, masyarakat perlu mendapatkan edukasi mengenai paylater agar memahami sepenuhnya sebelum memutuskan untuk meminjam.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat harus dididik. Kalau ingin beli barang, kalau mau cicil, kalau punya duit buat beli tunai aja jangan dicicil, mengatur keuangan ya harus mandiri," ucapnya.
Ketua APPI periode 2022-2027 ini mengingatkan agar para perusahaan juga lebih ketat terhadap aturan-aturan dalam syarat dan ketentuan bagi seseorang yang ingin meminjam paylater. Prioritasnya adalah untuk mereka yang mampu membayar dan memiliki kemampuan finansial melalui pendapatan.
"Saya sebagai asosiasi menyarankan untuk tidak memberikan persetujuan kredit kepada orang yang belum mampu mencicil. Maka dari itu, harus diperiksa dengan benar. Ke depannya perusahaan hanya meminjamkan kepada orang-orang yang benar-benar mampu membayar atau memiliki pendapatan," ujarnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.