KABARBURSA.COM – Senior Consultant Supply Chain Indonesia (SCI) Sugi Purnoto meminta pemerintah tidak hanya menindak transporter dalam kasus over dimension over loading (ODOL). Ia meminta perusahaan atau pemilik barang pengguna jasa transporter juga ditindak tegas agar masalah ODOL bisa selesai.
Sugi menilai, KUHP dengan UU Lalu Lintas punya bobot yang sama sehingga pelanggarnya wajib ditindak tegas. Karena, UU tersebut sama-sama diajukan presiden dan disetujui DPR serta dibarengi keputusan menteri dan peraturan dirjen.
Ia mempertanyakan mengapa dalam praktiknya, pelanggaran ODOL tidak ditindak tegas, terutama pemilik barang.
“Pelanggaran ODOL di angkutan barang, pemilik barang tidak kena, yang kena hanya pemilik transportasi atau angkutannya ditilang. Kalau tidak ditilang, barangnya ditransfer di jembatan timbang atau kendaraannya disuruh balik,” jelas Sugi kepada Kabar Bursa, Rabu, 5 Juni 2024.
Mantan Wakil Ketua II DPP Aptrindo ini menilai, pelaku industri diuntungkan dengan cara tidak dikenai sanksi. Menurutnya, permasalahan ODOL tidak bisa digampangkan dengan menganggap masyarakat yang menikmati barang dengan harga murah karena ongkos transportasinya murah.
Karena, menurut dia, jika tarif angkutan yang tanpa ODOL telah disetujui sejak awal, kenaikan harga barang hanya terjadi sekali pada awal ditetapkan. “Perlu dicatat, biaya logistik untuk ongkos angkut itu besarannya sampai dengan 3-7 persen dari biaya produk. Nah, itu pengaruhnya tidak besar kalau dinaikkan di awal,” jelasnya.
Transporter Dirugikan
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), negara dirugikan Rp43 miliar per tahun karena kerusakan infrastruktur jalan raya akibat praktik ODOL.
Praktik ODOL, kata Sugi, tidak hanya merugikan negara, tapi juga transporter. Kerugian terbesar dari pelaku usaha angkutan barang adalah kerusakan truk karena terlalu sering mengaangkut muatan melebihi jumlah beban yang diizinkan (JBI).
“Kerugian pertama lifetime truk jadi pendek. Harusnya bisa 15 tahun, tapi kalau odol 5 tahun sudah rontok. Kalau pemakaian normal bisa 15-20 tahun. Kalau odol 5 tahun sudah retak sasis, kaki-kaki hancur, turun mesin dan kerugian lainnya,” jelasnya.
Selain kerusakan armada, praktik ODOL juga menimbulkan dampak langsung seperti kenaikan rasio BBM. Sugi menjelaskan, jika truk membawa muatan 10 ton, rasio BBM untuk truk tronton itu 1:35. Jika membawa muatan 30 ton, rasio BBM yang dibutuhkan jadi 1:2. Artinya, konsumsi bahan bakar jadi cepat habis.
“Kalau ban tidak dipakai ODOL, bisa 50 ribu km. Kalau ngangkut odol hanya 20 ribu, maksimum 30 ribu. Itu kalau slamat, kalau tidak slamat, ya (ban) meledak di jalan. Belum masalah kaki-kaki, per, sasis retak,” katanya.
Sugi juga menyebut, praktik ODOL punya sumbangan besar pada kasus truk rem blong. Ia menjelaskan, rem truk yang terus diinjak ketika mengangkut beban berat atau overload dapat mengakibatkan rem blong sehingga mencelakai pengguna jalan lain.
Hal yang mendasari Sugi mendorong pemerintah menindak tegas pemilik barang disebabkan karena praktik memaksa secara tidak langsung kepada transporter. Menurutnya, pemilik barang punya daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan para transporter.
Sugi menjelaskan, sebelum terjadi transaksi antara pemilik barang dan transporter, pihak pemilik barang memanggil para transporter dan menawarkan untuk mengangkut barang.
“Misalnya pemilik barang menawarkan kepada transporter mengangkut 30 ton dari Jakarta ke Surabaya dengan tarif Rp7.000.000. Misalnya transporter A menolak, akan ditawarkan ke B, C, D, dan ujungnya diangkut oleh transpoter E yang sepi muatan,” katanya.
“Pemilik barang bermain 30 ton dengan harga Rp7.000.000 artinya jumlah tersebut dibagi Rp30.000. Berarti pengusaha hanya mendapat harga per kilogram Rp233 ribu. Sementara biaya sekali jalan Rp3.000.000. Belum untuk menanggung biaya maintenance, ban, cicilan leasing. Caranya bagaimana agar tidak rugi? Akhirnya perusahaan angkutan mengangkut 30 ton dengan satu truk agar mendapat income Rp7.000.000,” terangnya.
Pemberian Tarif Murah
Sugi menegaskan bahwa masalah utama ODOL berasal dari pemilik barang yang memberikan tarif murah agar pengusaha angkutan. Sementara di sisi lain, pengusaha angkutan berusaha mengcover biaya operasional dengan cara menaikkan kargo yang diangkut. Karena, seeharusnya satu truk hanya mengakut 11-12 ton.
Agar pengusaha angkutan tidak semakin rugi, Sugi menyarankan agar pelaku usaha transporter kompak untuk tidak melakukan praktik banting harga karena tuntutan pasar. “Investasi truk selalu naik per bulannya. Juga biaya UMR, ban, spare parts. Semua naik. Tarifnya berbanding turun sehingga tidak memungkinkan untuk banting harga,” pungkasnya. (cit/pram)