KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia dinilai perlu lebih agresif mendorong pengembangan energi baru terbarukan (EBT) untuk mensubstitusi bahan bakar minyak (BBM) di tengah eskalasi konflik antara Iran dan Israel yang telah menciptakan ketegangan.
Faktor utama kekhawatiran itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, adalah potensi gangguan pasokan dan kenaikan harga minyak, terutama karena Selat Hormuz di Iran merupakan jalur perdagangan vital untuk ekspor minyak dunia.
“Untuk itu, kita perlu mewaspadai dinamika harga energi fosil tersebut dengan mengurangi risiko impor minyak mentah dan mencari cara diversifikasi impor energi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis, 25 April 2024.
Sebab itu, sebagai contoh, pembangkit listrik diesel di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) dapat diganti oleh pemerintah dengan pembangkit energi terbarukan. Kemudian, Indonesia juga dapat meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dalam produksinya.
“Tidak hanya sawit, Indonesia juga kaya sumber bahan bakar nabati lainnya seperti jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, dan mikroalga. Saat ini Indonesia juga tengah mengembangkan bioetanol sebagai campuran pada BBM jenis bensin," ungkap Fabby.
"Apabila Indonesia berhasil mengembangkan bioetanol sebagai campuran pada BBM jenis bensin, maka hal tersebut akan berdampak pada menurunnya impor produk BBM,” imbuhnya.
Namun demikian, Fabby mengatakan, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan energi terbarukan. Pertama, faktor kepentingan dari kalangan tertentu.
Sementara yang kedua, adanya berbagai inkonsistensi dalam kebijakan dan regulasi sehingga membuat pelaku usaha ragu berinvestasi dalam energi terbarukan. Misalnya saja dalam sektor ketenagalistrikan, energi terbarukan terkendala karena hanya PLN saja yang bisa membeli listrik dari pengusaha listrik swasta (Independent Power Producer, IPP) dan pengusaha listrik swasta tersebut tidak bisa menjualnya ke konsumen.
"Ketiga, aspek bisnis energi terbarukan dengan mempertimbangkan resiko," tuturnya.
Dengan kondisi tersebut, Fabby menekankan, yang menjadi kunci ialah kemauan politik (political will) pemerintah dan berbagai pihak lainnya sehingga dapat mengembangkan energi terbarukan secara lebih agresif.
"Perlunya transisi energi merupakan bagian dari Persetujuan Paris untuk mencapai net-zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat,” pungkas dia.