Logo
>

Pengamat: Iuran Tapera Diyakini Munculkan Masalah Baru

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Pengamat: Iuran Tapera Diyakini Munculkan Masalah Baru

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) diklaim bisa memunculkan masalah baru di masyarakat. Pemerintah pun diminta untuk mengkaji kebijakan ini.

    Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansah, mengatakan bahwa iuran Tapera tidak cocok untuk pekerja swasta. Sebab dia menilai kebijakan ini cukup memberatkan. "Kalau untuk pekerja swasta itu enggak cocok karena mereka sangat tergantung terhadap pemberi kerja," ujar Trubus kepada Kabar Bursa, Kamis, 30 Mei 2024.

    Trubus mengaku khawatir andai kebijakan iuran Tapera tersebut berjalan, para karyawan swasta bakal terkena pengakhiran hubungan kerja (PHK). Sebab, pelaku usaha diklaim juga keberatan karena dibebankan dengan iuran Tapera ini.

    "Pelaku usaha bisa keberatan dibebani 0,5 persen sementara sekarang sudah ada kewajiban perusahaan untuk membayar BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan, ketenagakerjaan, jadi akan menimbulkan banyak masalah," katanya.

    Tak hanya swasta, Trubus melihat iuran ini juga berpotensi memberatkan pekerja mandiri. Pasalnya, ia berpandangan pekerja mandiri ini tidak memiliki penghasilan tetap.

    "Sementara yang (pekerja) mandiri itu kan  freelance (pekerja lepas), masa freelance suruh bayar tiga persen," jelas dia.

    Kondisi tersebut membuat Trubus khawatir, karena nantinya masyarakat diperkirakan bakal menunggak dengan tidak membayar iuran Tapera. "Ini malah menimbulkan masalah, ujung-ujungnya nanti pada menunggak enggak mau bayar. Menurut saya itu negara harus hadir," tegasnya.

    Pengusaha Keluhkan Tapera

    Sebelumnya, kebijakan iuran Tapera ini telah ditolak sejumlah elemen, termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Ketua Umum APINDO, Shinta Kamdani, menyatakan kebijakan tersebut akan sangat memberatkan pekerja dan pelaku usaha.

    “Sejak munculnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, APINDO dengan tegas menolak diberlakukannya UU tersebut. APINDO telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera. Sejalan dengan APINDO, Serikat Buruh/Pekerja juga menolak pemberlakukan program Tapera,” ujarnya.

    Shinta menjelaskan bahwa APINDO memiliki beberapa pandangan terhadap regulasi tersebut. Pertama, meskipun mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan, PP No.21/2024 dinilai sebagai duplikasi dari program sebelumnya, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek.

    “Tambahan beban bagi pekerja (2,5 persen) dan pemberi kerja (0,5 persen) dari gaji tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan,” ungkap Shinta.

    Kedua, APINDO menilai pemerintah sebaiknya mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Sesuai PP, maksimal 30 persen (Rp138 triliun) dari aset JHT yang mencapai total Rp460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan pekerja. Dana MLT yang tersedia sangat besar namun pemanfaatannya sangat sedikit.

    Ketiga, APINDO menilai aturan Tapera akan menambah beban pengusaha dan pekerja, karena saat ini beban pungutan yang ditanggung pelaku usaha sudah mencapai angka 18,224 persen hingga 19,74 persen dari penghasilan kerja.

    APINDO juga telah melakukan diskusi dan koordinasi dengan sejumlah pihak terkait, di antaranya BPJS Ketenagakerjaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), untuk mempercepat perluasan program MLT bagi kebutuhan perumahan pekerja.

    Peneliti Soroti Konsumsi Masyarakat

    Pertumbuhan ekonomi dinilai bisa kena dampak akibat adanya kebijakan iuaran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, pola konsumsi berpotensi menghilang dengan adanya kebijakan iuran Tapera.

    “Ada konsumsi yang hilang juga karena kebijakan Tapera ini, dikarenakan ada bagian pendapatan yang disetorkan ke negara lewat Tapera,” ujarnya kepada Kabar Bursa, Kamis, 30 Mei 2024.

    Pada akhirnya, kata Huda, konsumsi akan tertekan dan berpengaruh ke produk domestik bruto (PDB). Hal ini pun bisa membuat pertumbuhan ekonomi akan terbatas. “Jadi ada efek kontradiktif dari kebijakan Tapera ini terhadap ekonomi kita,” imbuhnya.

    Hal senada diungkapkan Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian. Ia menyatakan iuran Tapera  memberatkan pekerja dan pengusaha.

    Apalagi, Eliza melihat pertumbuhan upah rill para pekerja di bawah tingkat inflasi. Dengan ini dia mengatakan daya beli masyarakat sedang tergerus.

    “Jika ada iuran lagi, ini akan sangat terasa,” kata Eliza kepada Kabar Bursa, Kamis, 30 Mei 2024.

    Di sisi lain, Eliza mengatakan masyarakat saat ini akan menghadapi sejumlah kondisi. Seperti kenaikan Pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen hingga isu kenaikan BBM.

    Menurut dia, kondisi tersebut bisa mempengaruhi pola konsumsi, terutama untuk kalangan kelas menengah.

    “Ini akan mempengaruhi pola konsumsi terutama kelas menengah. Konsumsi ini berkontribusi kurang lebih sekitar 54 persen terhadap ekonomi, kelas menengah menyumbang terhadap konsumsi itu sekitar 35,7 persen,” jelas dia.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.