Logo
>

Pengamat Khawatirkan Digitalisasi Pengawasan BPKP

Ditulis oleh KabarBursa.com
Pengamat Khawatirkan Digitalisasi Pengawasan BPKP

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak lagi memiliki wewenang untuk menggelar audit internal secara langsung kepada kementerian dan lembaga negara dalam melakukan pengawasan realisasi anggaran sesuai program pemerintah pusat di daerah.

    Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan menyebut, hal itu terjadi setelah pemerintah mengadopsi sistem informasi pemerintah daerah (SIPD) untuk realisasi anggaran sesuai program pemerintah pusat.

    "Sekarang pakai SIPD, jadi dari pusat bisa dikontrol pengeluarannya hanya boleh buat apa saja, dimulai dari penganggaran sampai realisasi bayarnya," kata Pahala, saat dihubungi Kabar Bursa, Senin, 17 Juni 2024.

    Pahala menuturkan, SIPD sendiri menjadi kontrol dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menyetujui pengeluaran hingga realisasi anggaran sesuai program pemerintah, termasuk temuan yang diungkap Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Soeharso Monoarfa, beberapa waktu lalu.

    SIPD, kata Pahala, secara tidak langsung mengganti peran pengawasan BPKP terhadap realisasi keuangan di daerah. Seandainya pun melakukan audit, BPKP juga melakukannya secara digital. "Betul (tidak ada wewenang mengaudit keuangan secara langsung) dan karena sudah digital perencanaan pengelolaan keuangan daerah, jadi sistem pengawasannya juga digital," katanya.

    Pengamat politik dan kebijakan publik, Adib Miftahul menilai, BPKP tetap harus melakukan pengawasan dan audit secara manual kendati pemerintah memegang kontrol terhadap realisasi anggaran di daerah. Bila perlu menggabungkan pengawasan digital dan audit manual untuk mempersempit ruang penyelewengan anggaran.

    "Saya kira audit, pengawasan melalui online ini hanya basa-basi saja, karena semuanya, mau online mau offline, itu tetap ada celah untuk 'bermain'. Tapi saya kira audit dengan konvensional tetapi juga ada pengawasan secara online menyeluruh, saya kira ini bisa mempersempit ruang terhadap dugaan-dugaan penyalahgunaan," kata Adib saat dihubungi Kabar Bursa, Senin, 17 Juni 2024.

    Adib menuturkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah memberikan empat arahan pokok pascapandemi Covid-19. Adapun arahan itu meliputi penanganan kemiskinan ekstrem, penanganan inflasi, penanggulangan pengangguran, hingga percepatan prevalensi stunting.

    Jika kementerian dan lembaga telah memfokuskan alokasi anggaran sesuai dengan porsi arahan kepala negara, kata Adib, patut dipertanyakan ke mana realisasi anggaran di daerah digunakan. "Ini patut dipertanyakan kenapa bisa seperti itu (ada penyelewengan dana di daerah). Bahkan Presiden kan pernah ngomong dari 100 persen itu ternyata fokusnya hanya 30 persennya gitu kan. Jadi gimana mau memperbaiki gizi, stunting itu bisa selesai kalau, prioritas anggarannya enggak ada," jelasnya.

    "Saya kira penikmat-penikmat anggaran yang enggak ada urgensinya itu penting diaudit menyeluruh, inilah yang akan mengatakan bahwa stunting ini terkendala salah satunya adalah anggaran yang enggak sesuai dengan peruntukannya," pungkasnya.

    Sementara itu, pemerhati kebijakan publik, Agus Pambagio menilai, pengawasan internal keuangan kementerian/lembaga untuk proyek-proyek pembangunan menjadi wewenang inspektorat jenderal (Irjen) dari masing-masing instansi pemerintah.

    Sebagaimana yang dikeluhkan Monoarfa tentang realisasi anggaran stunting di daerah yang dipakai untuk memperbaiki pagar puskesmas, Agus menyebut banyak pihak yang mestinya bisa mengawal anggaran tersebut sesuai dengan peruntukannya. "Kalau stunting ada di Kemenkes, kemudian ada lagi di BKKBN, ada lagi di Wapres, ada lagi Menko PMK. Nah itu kan masing-masing punya Irjen. Kenapa enggak ngawasin?" kata Agus.

    Agus menyebut, BPKP dalam hal ini juga memiliki fungsi pengawasan yang sama secara tahunan dan menyeluruh. Sementara penindakan, kata dia, hanya bisa dilakukan sesuai rekomendasi dari hasil audit yang dilakukan BPKP maupun BPK.

    Akan tetapi, Agus mengaku tidak lagi percaya dengan badan pemeriksa keuangan internal seperti BPKP dan BPK. Meski begitu, dia menyebut rekomendasi kedua lembaga tersebut perlu diperhatikan sebagai tahap administrasi negara.

    "Di K/L itu ada Irjen namanya, inspektor jendral dan dia lah yang harus mengawasi sehari-hari ketika nanti di audit. Itu kita lihat BPKP dan BPK-nya seperti apa. BPKP untuk proyek-proyek. BPK secara keseluruhan. Ya WTP atau WTS. Yang saya katakan di media-media, bahwa saya sudah tidak percaya pada BPK. Tapi itu administrasi negara," ungkapnya.

    Untuk program stunting sendiri, Agus mengaku sempat melakukan pengawasan. Dia menilai, anggaran stunting kerap kali dialokasikan untuk hal yang tidak jelas sebagaimana yang terjadi pada program pemberian tambahan (PMT) tahun lalu yang memakan biaya besar tetapi angka prevalensi stunting tetap tinggi.

    Apalagi, kata Agus, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sempat menyebut sebagian anggaran stunting digunakan untuk perjalanan dinas, studi banding, hingga memperbaiki pagar-pagar puskesmas. Maka tak heran, kata dia, program stunting tidak berjalan sesuai rencana.

    “Nah uang itu kan Presiden yang ngomong loh, Presiden ngomong uang stunting dipakai untuk rapat dan perjalanan, 80 persen. Apa benar itu? Kan maksudnya itu tindakan enggak betul kan, harusnya untuk program, makanya program stunting tidak berjalan,” ungkap Agus.

    “Harusnya (anggaran) untuk program, makanya program stunting tidak berjalan,” tegasnya.

    Lebih jauh, Agus menilai ketidak jelasan pengalokasian anggaran terjadi karena budaya korupsi yang mengakar di tiap jenjang pemerintahan. Dia menilai, menghukum mati para koruptor dapat memberi efek jera bukan hanya pada pelaku, melainkan juga seluruh pemangku kepentingan.

    “Kalau enggak (dihukum mati), ya enggak akan pernah sembuh. Bagaimana kalau APH (aparat penegak hukum) juga? Saya tidak menuduh, tapi itu sudah ada di media-media kan. Kalau APH-nya juga kotor, gimana kita mau menyapu kalau sapunya kotor kan?” pungkasnya.

    Sebagaimana diketahui, dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis, 14 Juni 2024 lalu, Monoarfa mengaku heran lantaran anggaran program stunting digunakan untuk memperbaiki pagar-pagar puskesmas.

    “Ternyata memperbaiki pagar puskesmas. Itu terjadi, Pak. Saya bilang ini kenapa bisa terjadi? Nah itu yang tidak bisa kami lakukan (melakukan penindakakan),” kata Monoarfa.

    Temuan yang tak kalah mengherankan, kata Monoarfa, realisasi anggaran yang tidak tepat guna dalam program revolusi mental. Setelah ditelusuri, tutur dia, anggaran tersebut digunakan untuk membeli motor trail. “Saya telusuri terus, turun, turun, ujungnya adalah membeli motor trail,” jelasnya.

    Meski menemukan berbagai kejanggalan, Monoarfa tak kuasa melakukan penindakakan. Dia bahkan menilai, PPn/Bappenas seolah tertindih teknokratik. “Kami ngerti, tapi enggak bisa bergerak,” ungkapnya. (and/*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi