KABARBURSA.COM - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menganggap bahwa kewajiban iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi para pekerja dapat berdampak negatif pada daya beli masyarakat.
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, menjelaskan bahwa Tapera yang berlaku saat ini berbeda dengan sebelumnya yang hanya berlaku bagi ASN, TNI, dan Polri. Kali ini, iuran Tapera berlaku untuk semua pekerja formal dan informal, dengan besaran iuran sebesar 3 persen.
Menurut Mandey, korelasi antara iuran Tapera dan daya beli sangat terlihat.
“Perhitungan iuran yang dipotong akan mengurangi belanja, yang pada akhirnya akan mengurangi konsumsi,” jelas Roy Nicholas di Jakarta, Senin, 3 Juni 2024.
Hal ini akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi nasional karena konsumsi rumah tangga merupakan salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Aprindo meminta pemerintah untuk lebih mempertimbangkan keputusan kewajiban iuran Tapera ini.
“Tapera perlu dikaji lebih lanjut dan tidak seharusnya diimplementasikan pada saat kondisi geopolitik sedang tidak stabil,” ujarnya.
Selain kewajiban iuran Tapera, kondisi geopolitik global yang meningkatkan harga minyak dunia juga menjadi faktor yang mempengaruhi daya beli masyarakat.
Saat ini, harga minyak dunia telah naik sebesar USD2 menjadi USD85 per barrel. Kenaikan ini berpotensi mempengaruhi harga minyak dalam negeri dan fluktuasi harga bahan pokok lainnya akibat defisit rantai pasok.
Roy juga menyoroti suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang masih cukup tinggi, yaitu sebesar 6,25 persen, tanpa adanya tanda-tanda penurunan. Hal ini berarti suku bunga kredit perbankan seperti kredit kendaraan bermotor (KKB) dan kredit pemilikan rumah (KPR) juga cenderung tinggi ke depannya.
“Kenaikan suku bunga BI akan mengakibatkan peningkatan suku bunga kredit perbankan, yang pada akhirnya akan menambah biaya dan mengurangi daya beli konsumen,” jelasnya.
Buruh Kritik Tapera
Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang digagas oleh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mendapat kritik tajam dari asosiasi pengusaha dan serikat buruh.
Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana, menyebut program ini menunjukkan arogansi pemerintah dalam menindas rakyatnya.
“Logika aneh, bagaimana pekerja dapat rumah setelah pensiun di umur 58, dengan besaran iuran tabungan bulanan sekitar Rp125.000,” ujar Dhanang, Senin, 3 Juni 2024.
Danang menghitung, dengan gaji UMP, perlu 250 tahun untuk bisa punya rumah sangat sederhana. “Untuk pekerja dengan gaji UMP, perlu 250 tahun untuk bisa punya rumah sangat sederhana,” katanya.
Kontroversi Tapera ini muncul karena pemerintah dianggap tidak peka terhadap kondisi ekonomi para pekerja. Dhanang menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera mendapat penolakan yang masif oleh banyak pihak.
“PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dilawan oleh pengusaha, pekerja, buruh, dan masyarakat,” ujar Danang.
Menurutnya, negara ini semakin aneh dengan kebijakan yang menambah beban rakyat. “Apa motif pemerintahan Jokowi menindas para buruh dan pekerja dengan tambahan pungutan 3 persen?” tanyanya.
Dhanang menduga pemerintah membutuhkan “subsidi” dari rakyat di tengah kondisi ekonomi yang memburuk. Ia menduga bahwa anggaran negara terkuras oleh Pilpres 2024 sehingga pemerintah mencari cara untuk menutup kekurangan.
“Negara nampaknya butuh subsidi dari rakyat buruh, mungkin untuk menutup kacaunya hutang luar negeri, tambal sulam APBN atau mungkin biaya politik Pilpres 2024,” jelas Danang.
Sementara itu, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara, Ristadi, juga menyuarakan kekhawatirannya. Ia mengatakan untuk mencapai angka Rp250 juta, pekerja harus bekerja selama 2.000 bulan atau 100 tahun.
“Untuk mengumpulkan Rp250 juta dari potongan Rp150.000, kira-kira pekerja harus bekerja selama 2.000 bulan alias 100 tahun, ini yang kami bingungkan,” kata Ristadi.
Ristadi membandingkan skema Tapera dengan sistem di Singapura. Di Singapura, potongan pekerja bisa mencapai 30 persen per bulan, yang jauh lebih besar dibandingkan Indonesia.
“Jika potongan 30 persen itu pekerja bisa mendapat 100 juta setelah bekerja selama 10 tahun,” ujarnya.
Sedangkan di Indonesia, Ristadi mempertanyakan, bagaimana pekerja bisa bertahan jika gaji mereka dipotong sebesar itu. “Rakyat mau makan apa jika gaji mereka dipotong sedemikian besar,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSFI), Redma Gita, menambahkan pengusaha juga terbebani oleh program ini. Ia menjelaskan bahwa iuran ini memberatkan pengusaha di tengah kenaikan ongkos produksi.
“Pengusaha harus membayar 0,5 persen iuran karyawan buat Tapera, ini makin memberatkan di tengah kenaikan ongkos produksi,” jelas Redma.
Ia juga mengkhawatirkan bahwa kenaikan tarif gas, listrik, dan bahan bakar akan semakin memberatkan iklim usaha.