Logo
>

Peringkat Daya Saing RI Naik di 2024, Ungguli Negara Maju

Ditulis oleh KabarBursa.com
Peringkat Daya Saing RI Naik di 2024, Ungguli Negara Maju

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Peringkat daya saing Indonesia mengalami kenaikan signifikan pada tahun 2024, sebagaimana ditunjukkan dalam riset Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Ranking (WCR) 2024.

    Berdasarkan riset tersebut, Indonesia kini menempati peringkat ke-27 dari 67 negara yang dicatat, naik sebanyak tujuh peringkat dari posisi ke-34 tahun sebelumnya.

    Kenaikan ini menempatkan Indonesia di atas beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Filipina yang berada di posisi ke-52 dan Malaysia di posisi ke-34.

    Lebih mengesankan lagi, Indonesia juga mengungguli beberapa negara maju, termasuk Inggris yang berada di peringkat ke-28 dan Jepang di peringkat ke-38.

    "Dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara seperti China, India, Brasil, Indonesia, dan Turki telah mengalami pertumbuhan dan pembangunan yang pesat," ujar Direktur World Competitiveness Center (WCC) IMD, Arturo Bris, dalam keterangannya, Selasa, 18 Juni 2024.

    "Imbasnya, kini mereka memegang peranan penting dalam perdagangan, investasi, inovasi, dan geopolitik," tambahnya.

    Bris menjelaskan bahwa peringkat WCR 2024 ditentukan berdasarkan empat indikator utama: performa ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.

    Dari keempat indikator ini, daya saing Indonesia didorong oleh peringkat tinggi pada efisiensi bisnis (14), efisiensi pemerintah (23), dan performa ekonomi (24).

    Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal ketersediaan infrastruktur, terutama terkait infrastruktur kesehatan dan lingkungan (61), pendidikan (57), sains (45), dan teknologi (32).

    Dalam indikator efisiensi bisnis, yang berhasil mendongkrak skor Indonesia adalah ketersediaan tenaga kerja yang masif (peringkat 2), efektivitas manajemen perusahaan (peringkat 10), serta perilaku dan tata nilai masyarakat yang mendukung efisiensi perusahaan (peringkat 12).

    Meskipun demikian, aspek finansial (peringkat 25) dan produktivitas (peringkat 30) perusahaan masih perlu ditingkatkan.

    Untuk indikator efisiensi pemerintah, nilai Indonesia paling rendah terkait perundangan bisnis (peringkat 42) yang mendukung daya saing sektor swasta, termasuk aturan perdagangan, persaingan, dan ketenagakerjaan.

    Peringkat kedua terburuk adalah pada kerangka sosial, yang mengukur keadilan penegakan hukum, pendapatan, dan kesetaraan gender. Namun, dalam hal kebijakan pajak (peringkat 12) dan kebijakan finansial publik (peringkat 18), yang mencakup efisiensi bank sentral dan bank umum, Indonesia berhasil mendapatkan peringkat yang baik.

    "Daya saing Indonesia didorong oleh peningkatan performa ekonomi, kemampuan menarik kapital, dan pertumbuhan PDB," ucap Bris.

    Peningkatan ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin menarik bagi investor dan memiliki potensi besar untuk terus berkembang di masa depan.

    Dengan adanya kemajuan ini, pemerintah Indonesia diharapkan terus berupaya memperbaiki sektor-sektor yang masih lemah, seperti infrastruktur dan kerangka sosial, untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan peningkatan daya saing yang lebih baik di tahun-tahun mendatang.

    Sektor Industri Kunci Tingkatkan Ekonomi RI

    Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Peneliti Indef, Didik J Rachbini menyatakan bahwa janji kampanye Prabowo untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen merupakan target yang hampir mustahil tercapai. Menurutnya, kebijakan yang ada saat ini serta peran Kementerian Perindustrian yang tidak signifikan menjadi penghambat utama.

    Didik menegaskan, jika Prabowo benar-benar ingin mewujudkan target ambisius tersebut, kunci suksesnya terletak pada kebijakan industri yang kuat dan peran aktif Kementerian Perindustrian.

    “Tanpa langkah konkret di sektor ini, Indonesia akan terus menjadi underdog di ASEAN,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Selasa, 18 Juni 2024.

    Didik menyoroti bahwa Kementerian Perindustrian akan memegang peranan sentral dalam pemerintahan mendatang. Jika kementerian ini mampu bergerak dengan kebijakan yang tepat, pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen bisa diraih. Namun, kegagalan pemerintah saat ini dalam mendorong pertumbuhan di sektor industri menjadi hambatan besar.

    “Ini terjadi karena absen dan kekosongan kebijakan industri dan kementrian perindustrian yang dorman,” katanya.

    Didik mengkritisi bahwa selama ini, Kementerian Perindustrian hanya memiliki peran terbatas dengan kebijakan yang lemah. Hal ini menyebabkan sektor industri terus tumbuh di bawah 5 persen, tidak memiliki daya dorong yang cukup untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi. Bahkan, menurutnya, sektor industri sering kali mandek dengan pertumbuhan hanya 3-4 persen, menandakan ketiadaan kebijakan industri yang efektif.

    “Industri dimatikan karena kebijakan yang surut dan tidak memberikan kesempatan, ruang dan dorongn bagi industri nasional,” terang dia.

    Didik juga menyampaikan peringatan, jika pola kebijakan industri seperti satu hingga dua dekade terakhir terus berlanjut, janji Prabowo untuk memajukan ekonomi dengan pertumbuhan tinggi akan sulit tercapai.

    “Yang terjadi justru sebaliknya, pertumbuhan ekonomi akan selalu di bawah 5 persen karena terseret oleh pertumbuhan industri yang sangat rendah,” tambahnya.

    Dalam perbandingannya, Didik menyebut keberhasilan Vietnam dan India dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi. Sektor industri di India tumbuh dua digit, sehingga mampu menarik pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen. Sedangkan di Indonesia, sektor industri hanya tumbuh di bawah 5 persen selama dua dekade terakhir, sehingga mustahil menarik pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen.

    “Mengapa India dan Vietnam berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi? Jawabnya hanya satu, yakni karena berhasil mendorong industri sebagai lokomotif pertumbuhannya,” jelas dia.

    Menurutnya, Indonesia belum mampu menjadikan sektor industri sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, sementara Kementerian Perindustrian mandeg dalam menjalankan kebijakan industrinya. Oleh karena itu, peran kementerian ini menjadi faktor kritis dalam pemerintahan Prabowo mendatang.

    Didik juga mengungkapkan bahwa ekonomi Indonesia mengalami stagnasi pertumbuhan 5 persen atau di bawahnya karena terlalu bertumpu pada konsumsi dan sektor jasa yang tidak modern serta sektor informal. Dengan kondisi ini, ekonomi kehilangan lokomotifnya, sehingga hanya mampu tumbuh rendah atau moderat.

    “Maka ekonomi kehilangan lokomotifnya, yang pada gilirannya ekonomi bertumbuh rendah atau moderat saja,” ungkapnya.

    Kemenperin Mandek

    Ekonom Didik J Rachbini, mengkritik keras kinerja Kementerian Perindustrian yang dinilainya mandek dalam mendorong sektor industri. Menurut Didik, sektor ini memegang peranan sentral dalam pertumbuhan ekonomi, namun gagal menunjukkan kinerja signifikan selama dua dekade terakhir.

    Selama ini, kebijakan yang lemah dan tidak terarah menyebabkan sektor industri hanya tumbuh di kisaran tiga hingga empat persen. Pertumbuhan ini jauh di bawah harapan dan mengakibatkan ekonomi nasional sulit mencapai target pertumbuhan tinggi.

    Sebagai perbandingan, Didik menyoroti kesuksesan India dan Vietnam yang berhasil menjadikan industri sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Sektor industri di kedua negara tersebut mampu tumbuh dua digit, mendorong pertumbuhan ekonomi hingga tujuh persen atau lebih. Di sisi lain, selama dua dekade terakhir, Indonesia gagal menempatkan sektor industri sebagai pendorong utama ekonomi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi stagnan di sekitar lima persen, ditopang oleh konsumsi dan sektor jasa yang tidak modern.

    “Industri kita mati suri karena kebijakan yang tidak memberikan ruang dan dorongan bagi perkembangan industri nasional,” kata Didik dalam keterangan tertulisnya kepada Kabar Bursa.

    Menurut data dari India KLEMS database, pertumbuhan tahunan rata-rata sektor manufaktur, jasa pasar, dan jasa non-pasar negara Bollywood tersebut menunjukkan tren yang signifikan selama beberapa sub-periode. Pada periode 2003-2007, sektor manufaktur mencatatkan pertumbuhan tahunan rata-rata tertinggi, yaitu 14 persen per tahun. Sementara itu, sektor jasa pasar dan jasa non-pasar masing-masing tumbuh 10 persen dan 4 persen per tahun.

    Kemudian selama periode 2008-2021, pertumbuhan sektor manufaktur menurun menjadi 10 persen per tahun. Sektor jasa pasar juga mengalami penurunan pertumbuhan menjadi delapan persen per tahun, sedangkan sektor jasa non-pasar sedikit meningkat menjadi delapan persen per tahun. Secara keseluruhan, selama periode 2003-2021, sektor manufaktur menunjukkan pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 12 persen per tahun. Sektor jasa pasar mencatatkan pertumbuhan sembilan persen per tahun, dan sektor jasa non-pasar tetap stabil dengan pertumbuhan lima persen per tahun. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi