KABARBURSA.COM - Kementerian Kesehatan menyebut harga obat di Indonesia relatif lebih tinggi 300 persen hingga 500 persen dari Malaysia. Tingginya harga obat menjadi sorotan bagi sejumlah pihak, salah satunya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi IX yang meminta pemerintah untuk melalukan intervensi dalam menekan harga obat dalam negeri.
Persoalan ini juga mengambil alih perhatian emiten di sektor farmasi. Apalagi, tingginya harga obat tak bisa dipisahkan dari persoalan bahan baku produksi yang mayoritas masih bergantung pada impor.
“Sejauh ini memang kita tidak bisa menutup mata, bahwa industri farmasi memang masih mengandalkan bahan baku impor, bahkan hingga 90 persen,” kata Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, kepada KabarBursa, Senin, 8 Juli 2024.
Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah, kata Nico, harga bahan baku produksi obat dalam negeri yang didominasi impor akan terkerek naik. Hal ini yang menyebabkan tingginya harga obat dalam negeri.
Mengutip data Google Finance pukul 12.20 WIB pada Senin, 8 Juli 2024, nilai tukar rupiah menguat di angka Rp16.253 per dolar AS. Angka itu menjanjikan baik jika dibandingkan beberapa minggu lalu yang sempat menyentuh angka Rp16.400 per dolar AS.
“Ketika pelemahan Rupiah terjadi, hal ini akan mengakibatkan kenaikkan harga bahan baku sehingga harga jual pun pasti akan mengalami kenaikkan,” jelasnya.
Nico menuturkan, lemahnya rupiah yang berkepanjangan akan memberatkan kinerja emiten farmasi. Sementara emiten tersebut, katanya, harus menerapkan mitigasi risiko yang baik untuk mengatasi lemahnya rupiah.
“Hal ini tentu akan memberatkan kinerja keuangan dari emiten farmasi, dan diharapkan masing-masing emiten dapat melakukan mitigasi risiko terkait dengan nilai tukar, mungkin dari hedging kurs misalnya,” ungkapnya.
Emiten Mana yang Prospektif?
Analis Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta mengungkap, emiten farmasi tidak terlalu prospektif di pekan ini. Dia menilai, kinerja emiten farmasi tidak begitu baik secara teknis
Kalau pekan ini sektor kesehatan agak kurang kinerja kalau secara teknis benchmark, kata Nafan kepada KabarBursa, Senin, 8 Juli 2024.
Meski begitu, Nafan merekomendasikan saham dari emiten PT Kimia Farma Tbk (KLBF). Diketahui, kuartal I tahun 2024, KLBF mencatat kinerja baik dengan membukukan penjualan neto Rp8,36 triliun atau tumbuh 6,23 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp7,87 triliun.
Kendati demikian, Nafan menyarankan investor untuk berinvestasi dalam orientasi jangka panjang. "Lebih baik orientasi jangka panjangnya," jelasnya.
Berdasarkan analisanya, KLBF berpotensi melakukan rebound. Selain itu, Nafan menyebut, Relative Strength Index (RSI) sudah oversold dan lonjakan volume terdeteksi dengan rekomendasi Buy On Weakness dengan rincian target price (TP) berikut;
TP1: 1495 (+3.82 persen)
TP2: 1580 (+9.72 persen)
TP3: 1860 (+29.17 persen)
Nearest support: 1405
Penyebab Mahalnya Obat RI?
Sebelumnya, Budi juga sempat mengungkap hal yang menyebabkan tingginya harga obat di Indonesia. Hal itu terjadi karena inefisiensi dalam sistem perdagangan dan distribusi obat serta alat kesehatan, bukan semata-mata karena pajak.
Menurut Budi, yang akrab disapa BGS, pajak hanya berkontribusi sekitar 20 hingga 30 persen terhadap harga obat. Oleh karena itu, pajak tidak bisa sepenuhnya menjelaskan perbedaan harga yang mencapai 300 persen hingga 500 persen.
Budi memberikan contoh, impor alat kesehatan seperti mesin USG dikenakan bea masuk 0 persen, sementara impor komponennya seperti layar USG dikenakan bea masuk hingga 15 persen. Perbedaan bea masuk ini menjadi hambatan bagi pertumbuhan industri farmasi domestik.
“Mahalnya harga obat di Indonesia bukan hanya karena pajak, tetapi juga karena inefisiensi dalam perdagangan dan jual beli obat serta alat kesehatan,” kata Budi di Jakarta, 2 Juli 2024.
Masalah mahalnya harga obat dan alat kesehatan telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Presiden, melalui Menkes, memerintahkan perbaikan tata kelola dan pembelian obat serta alat kesehatan untuk mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu.
"Ada biaya-biaya yang mungkin harusnya tidak dikeluarkan karena ujungnya kan yang beli pemerintah juga,” terang Budi.
Untuk mengatasi masalah ini, Budi menekankan perlunya kombinasi kebijakan yang lebih murah dan efisien. Isu ini tidak hanya terfokus pada pajak, tetapi juga mencakup banyak aspek dalam ekosistem industri farmasi dan kesehatan. Budi menyebutkan bahwa diperlukan koordinasi lintas kementerian, termasuk Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan, untuk mendesain ulang ekosistem industri ini.
“Kita harus mencari kombinasi semurah mungkin, tapi isunya bukan hanya di pajak saja,” tutup Budi. (And/*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.