KABARBURSA.COM - Perubahan iklim bukan lagi isu yang bisa diabaikan oleh negara. Jika tidak segera ditangani, kerugian ekonomi akibat perubahan iklim bisa mencapai 2,87 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Boby Wahyu Hernawan, menyampaikan bahwa mitigasi perubahan iklim membutuhkan biaya sekitar USD281 miliar atau sekitar Rp4,57 triliun. Sementara, adaptasi terhadap perubahan iklim memerlukan biaya antara USD2,3 miliar hingga USD12,14 miliar.
“Aksi adaptasi dibutuhkan dana USD2,3 miliar hingga USD12 miliar untuk membangun ketahanan dan kapasitas kita beradaptasi mengurangi risiko kerugian. Kalau tidak bisa, maka akan mengalami kerugian 2,7 persen dari PDB,” tutur Boby dalam media briefing Kemenkeu, Kamis, 30 Mei 2024.
Boby menegaskan bahwa kebijakan fiskal moderat diperlukan untuk mendanai kebutuhan perubahan iklim, baik melalui penerimaan negara, pendanaan, maupun pembiayaan. Penerimaan negara harus diarahkan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam, investasi energi baru terbarukan, dan memastikan transisi energi yang adil dan terjangkau.
“Dengan fiscal tools, fasilitas pajak itu kita gunakan untuk merangsang, misal electric vehicle industry, fasilitas perpajakan yang dibebaskan atau tax allowance, tax holiday, pembebasan bea masuk, dan lainnya. Penerimaan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sektor hutan itu bisa dikelola dari penerimaan negara,” jelasnya.
Pemerintah terus mencari sumber pembiayaan lain yang terkait dengan lingkungan, sosial, dan budaya. Pendanaan ini dilakukan melalui climate budget tagging, yaitu pemberian tanda khusus pada belanja yang berhubungan dengan penanganan dampak perubahan iklim.
Sebagai informasi, dalam enhanced nationally determined contribution (NDC), pemerintah menargetkan penurunan emisi sebesar 32 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 43,2 persen pada 2030.
Climate Budget Tagging
Adapun Boby menerangkan, climate budget tagging (CBT) dapat menjadi solusi untuk menemukan sumber pendanaan baru dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Iamenjelaskan bahwa anggaran yang telah ditandai melalui CBT bisa digunakan untuk pembiayaan ulang, sehingga dapat memutar kembali dana sebagai sumber pendanaan baru.
“Apa yang sudah di-tagging (ditandai) itu bisa untuk refinancing dari sisi pembiayaan, atau istilahnya bisa diputar lagi untuk sumber pembiayaan baru,” kata Boby.
Bahwa sektor belanja APBN kementerian dan lembaga yang ditandai melalui CBT tersebut termasuk belanja untuk upaya mitigasi, adaptasi, maupun output kegiatan mitigasi dan adaptasi secara bersamaan (co-benefit).
Menurutnya, berbagai sektor belanja yang ditandai tersebut dapat berfungsi sebagai aset bernilai uang, yang bisa digunakan sebagai dasar penerbitan instrumen investasi seperti green sukuk dan blue bond, sesuai dengan karakteristik masing-masing instrumen.
“Tentunya karakteristiknya (untuk masing-masing instrumen) harus sesuai ya. Dan, inilah yang menjadi semacam skema refinancing dan ini memang praktik yang berlaku global,” ujar Boby.
Diketahui, sejak 2016 hingga 2022, dari hasil penerapan budget tagging pemerintah pusat berhasil mendapatkan Rp569 triliun untuk penanggulangan perubahan iklim dengan rata-rata Rp81,3 triliun per tahun, atau sekitar 3,5 persen dari APBN.
Boby menyampaikan bahwa alokasi anggaran tersebut sudah cukup baik dibandingkan negara lain, meskipun ia berharap porsi belanja ini bisa meningkat di masa mendatang, terutama untuk upaya co-benefit.
“Jika dibandingkan negara-negara lain yang masih 2 persen atau di bawah 3,5 persen dari anggaran belanja negaranya, ini sudah cukup bagus,” ucap Boby.
Ia pun berharap porsi belanja pemerintah untuk menangani perubahan iklim dapat terus ditingkatkan di masa mendatang, terutama untuk upaya co-benefit, mengingat saat ini pendanaan lebih didominasi untuk upaya mitigasi dan adaptasi, yakni masing-masing sebesar 58,4 persen dan 37,6 persen.
“Jadi, climate budget tagging merupakan salah satu keberpihakan pemerintah untuk mendukung perubahan iklim di Indonesia,” imbuhnya.
Kendati demikian, dia menyebutkan walaupun CBT pada APBD belum diwajibkan dan masih berupa proyek percontohan dan bersifat sukarela. Kementerian Keuangan terus mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan Regional Climate Budget Tagging (RCBT).
“Untuk di pemerintah daerah, ini sifatnya belum semuanya, karena masih voluntary (sukarela) dan kami selalu pacu untuk lebih banyak lagi pemerintah daerah melakukan Regional Climate Budget Tagging (RCBT),” jelas dia.
Sebagai informasi, pilot project RCBT telah dimulai sejak 2020 dengan 11 daerah uji coba, kini telah diperluas ke 22 pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang telah melakukan uji coba program tersebut.
Menurut Boby, porsi anggaran perubahan iklim dalam APBD berdasarkan pilot project RCBT mencapai rata-rata 5,38 persen dari 2020 hingga 2023. Beberapa daerah seperti Surabaya dan DKI Jakarta telah menunjukkan komitmen signifikan dengan mengalokasikan masing-masing 19,53 persen dan 12,74 persen dari APBD mereka untuk penanganan perubahan iklim.
“Kalau bicara daerah yang cukup climate friendly, ya, atau sangat mendukung agenda perubahan iklim, di sini dapat dilihat adalah Surabaya dan juga Provinsi DKI Jakarta,” ujarnya.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.