KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kinerja berbeda setelah pemerintah resmi menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada Senin, 16 Desember 2024.
Pada penutupan hari ini, Rupiah terpantau mengalami penguatan tipis dengan meningkat sebesar 7 poin atau naik 0,04 persen per dolar Amerika Serikat (AS), dari sebelumnya Rp16.008 menjadi Rp16.001. Kenaikan tipis ini tercatat meskipun di tengah tekanan dari penguatan dolar global.
Para pelaku pasar masih mencermati perkembangan penting, terutama menjelang pertemuan Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), yang dijadwalkan berlangsung pekan ini. Dalam pertemuan tersebut, pasar memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin.
Penurunan ini akan menambah catatan penurunan suku bunga sebesar 100 bps sepanjang tahun 2024, meskipun para pelaku pasar tetap hati-hati melihat inflasi yang terkini mengalami sedikit lonjakan pada bulan November, ditambah pasar tenaga kerja yang tetap menunjukkan kekuatan.
Seiring dengan pemangkasan suku bunga The Fed, perhatian juga tertuju pada prospek suku bunga di masa mendatang yang kemungkinan akan tetap berada pada level tinggi lebih lama, sebagai respons terhadap data inflasi yang masih menantang dan dinamika tenaga kerja yang kuat.
Di sisi lain, meskipun dolar AS menguat, pemerintah Indonesia memanfaatkan momen tersebut dengan meluncurkan langkah-langkah ekonomi yang bertujuan menjaga stabilitas domestik. Pada 1 Januari 2025, pemerintah akan memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Berkat langkah-langkah ini, Indonesia dipandang mampu menahan tekanan dari fluktuasi eksternal, seiring dengan tekad untuk menjaga perekonomian tumbuh meskipun tantangan global yang tak terhindarkan.
Di sisi lain, IHSG di tutup melemah sebesar 66 poin atau turun 0,90 persen ke level 7,258. Sepanjang hari ini, pergerakan IHSG terpantau bervariasi dengan level tertinggi di 7,329 dan terendah 7,204. Adapun sebanyak 159 saham terpantau menguat, 442 saham di zona merah, dan 193 saham mengalami stagnan.
Sementara mengutip perdagangan Stockbit, saham-saham yang berada di lima besar top gainer ialah POLU (+24,92 persen), KONI (+24,74 persen), TIRA (+24,74 persen), SKBM (+24,47 persen), dan GPSO (+17,79 persen).
Sedangkan lima saham yang mengalami koreksi paling dalam di antaranya SAPX (-25,00 persen), SNLK (-23,47 persen), SSTM (-19,21 persen), JIHD (-17,83 persen), dan PANI (-14,40 persen).
Berbarengan dengan melemahnya IHSG, seluruh sektor juga terpantau berada di zona merah pada penutupan hari ini. Sektor-sektor yang mengalami pelemahan signifikan yakni properti (-2,95 persen), teknologi (-2,30 persen), hingga transportasi (-1,90 persen).
PPN 12 Persen Berlaku 1 Januari 2025
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan diterapkan sesuai jadwal yang diatur dalam UU HPP, mulai 1 Januari 2025,” kata Airlangga dalam konferensi pers bertema ‘Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan’ di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Namun, pemerintah telah menetapkan sejumlah kebijakan untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah. Airlangga menegaskan, barang kebutuhan pokok tetap dibebaskan dari PPN dengan fasilitas PPN 0 persen.
“Barang-barang seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, dan gula konsumsi diberikan fasilitas PPN 0 persen. Demikian juga jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, asuransi, vaksin polio, dan air bersih,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan stimulus ekonomi khusus untuk barang tertentu seperti minyak goreng, tepung terigu, dan gula industri. Airlangga menyebut, pemerintah akan menanggung 1 persen dari kenaikan tarif PPN untuk barang-barang tersebut, sehingga masyarakat hanya dikenakan tarif 11 persen.
“Pemerintah memberikan dukungan berupa stimulus untuk bahan pokok seperti minyak, tepung terigu, dan gula industri, dengan menanggung sebagian kenaikan PPN. Tarif efektifnya tetap 11 persen bagi kebutuhan tersebut,” ujar Airlangga.
Prinsip Keadilan dan Bantuan
Di kesempatan yang sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 akan mengedepankan prinsip keadilan dan gotong royong, serta mempertimbangkan aspirasi masyarakat.
Menurut Sri Mulyani, kebijakan ini juga didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen untuk menjaga daya beli masyarakat agar roda perekonomian tetap bergerak di tengah tantangan global maupun domestik.
“Ekonomi kita tetap bisa berjalan meski dihadapkan pada dinamika global dan situasi dalam negeri yang terus kita waspadai,” jelasnya.
Sri Mulyani menjelaskan, prinsip keadilan diterapkan dengan membedakan kebijakan antara masyarakat mampu dan tidak mampu. Kelompok mampu diwajibkan membayar pajak sesuai aturan, sedangkan kelompok tidak mampu akan dilindungi melalui bantuan pemerintah.
Pemerintah juga memberikan pembebasan PPN (tarif 0 persen) pada barang dan jasa yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, rumah sederhana, dan air minum. Total pembebasan PPN untuk barang-barang ini diperkirakan mencapai Rp265,6 triliun pada 2025.
Barang penting lainnya seperti tepung terigu, gula industri, dan Minyakita yang seharusnya dikenakan tarif PPN 12 persen akan mendapatkan subsidi sebesar 1 persen dari pemerintah. Dengan demikian, masyarakat tetap membayar dengan tarif lama tanpa kenaikan harga.
“Barang-barang seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita akan tetap terjangkau karena pemerintah menanggung kenaikan 1 persen,” ujar Sri Mulyani.
Sementara, kenaikan tarif PPN akan diberlakukan penuh untuk barang dan jasa mewah yang biasanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu. Ini mencakup makanan dengan harga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan internasional dengan biaya tinggi.(*)