KABARBURSA.COM - Kinerja PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), emiten produsen ban ternama Indonesia, dinilai sedikit terganggu imbas kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat (AS).
Presiden AS Donald Trump, resmi mengumumkan tarif baru pada Rabu, 2 April 2025, untuk sejumlah negara. Indonesia tak luput dari sasaran Negeri Paman Sam yang terkena tarif sebesar 32 persen.
Seperti diketahui, Gajah Tunggal merupakan perusahaan yang mengekspor ban ke sejumlah negara di kawasan Eropa, Asia, hingga Amerika.
Merujuk data paparan publik Gajah Tunggal pada 26 Juni 2024, segmentasi penjualan ekspor ban perusahaan pada kuartal I tahun lalu ke Amerika mencapai 53 persen, Eropa 26 persen, Asia 12 persen, Timur Tengah 6 persen, dan lainnya 1 persen.
Pengamat Pasar Modal Wahyu Tri Laksono, mengakui fundamental perusahaan yang mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 1990 silam ini masih terbilang baik di tengah perang dagang global imbas tarif baru Amerika Serikat.
"Namun tekanan tidak bisa dihindarkan seiring tren negatif bursa domestik dan global belakangan ini," ujar dia saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 7 April 2025.
Wahyu mengatakan, kinerja keuangan Gajah Tunggal menunjukkan tren positif dengan mencatat laba bersih sebesar Rp1,19 triliun di tahun 2024.
"Hingga kuartal III-2024, penjualan bersih tercatat sebesar Rp13,44 triliun, meningkat 6,9 persen secara tahunan (yoy)," ujar dia.
Di sisi lain, kinerja saham GJTL menunjukkan penurunan. Mengutip data Stockbit, saham GJTL mengalami koreksi 1,86 persen atau turun 20 poin ke level 1.055 pada perdagangan Kamis, 27 Maret 2025 atau sebelum libur Lebaran.
Wahyu menerangkan secara year-to-date (YTD), saham GJTL mengalami koreksi sebesar 7,86 persen. Kendati begitu, lanjut dia, saham Gajah Tunggal masih layak dikoleksi untuk jangka panjang.
"Strategi medium term hingga 2026/27, di bawah 1000 Buy on weakness. Target 1: 1200, target 2: 1300, target 3: 1400. Di bawah 500 buy hold," pungkasnya.
Masih merujuk data Stockbit, dari sisi solvabilitas, GJTL mencatat current ratio sebesar 1,16, menandakan bahwa aset lancar perusahaan masih mampu menutup kewajiban jangka pendeknya.
Meski quick ratio sedikit lebih rendah di angka 0,82, hal ini masih dalam batas yang wajar, mencerminkan likuiditas yang cukup meskipun tanpa memperhitungkan inventaris.
Yang menarik adalah, debt to equity ratio tercatat hanya 0,54, menandakan bahwa struktur modal perusahaan masih sehat dengan proporsi utang yang tidak membebani ekuitas secara berlebihan. Hal ini menjadi sinyal positif bagi investor yang menghindari emiten dengan tingkat leverage tinggi.
Dari sisi profitabilitas, GJTL mencatat Return on Assets (ROA) sebesar 5,77 persen dan Return on Equity (ROE) sebesar 12,55 persen. Ini menunjukkan bahwa perusahaan cukup efisien dalam menghasilkan laba dari total aset maupun modal pemegang saham.
Margin keuntungan juga tergolong kompetitif, dengan gross profit margin mencapai 20,65 persen, dan operating profit margin sebesar 11,19 persen.
Meskipun net profit margin relatif lebih rendah di angka 4,32 persen, perusahaan tetap mencatatkan laba bersih yang positif, faktor penting bagi kelangsungan jangka panjang.
Tarif Trump Hantam Infiniti dan Otomotif Dunia
Tidak dapat dipungkiri, tarif impor yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tidak hanya berdampak terhadap sektor otomotif di seluruh dunia, tapi juga di AS.
Dikutip dari Carscoops, kebijakan tarif yang baru saja diteken Trump membuat Infiniti, merek mobil mewah milik Nissan Motor Company terpaksa menghentikan pesanan di AS untuk QX50 dan QX55.
Penghentian pesanan ini merupakan respons atas tarif impor sebesar 25 persen. Mobil mewah yang diproduksi bersama Mercedes GLB di Meksiko ini dipastikan tak akan masuk ke Negeri Paman Sam meski permintaannya cukup tinggi.
Sekadar informasi, Infiniti QX50 disebut telah melewati masa kejayaannya usai diperkenalkan di Los Angleles Auto Show pada tahun 2017. Beberapa tahun berselang, Infiniti kembali meluncurkan QX55. Namun, penjualan model terbaru ini tidak begitu menggigit seperti pendahulunya.
SUV QX50 ini juga merupakan mobil terlaris kedua Infiniti setelah QX60. Mobil bermesin konvensional ini kabarnya berhenti diproduksi pada Desember 2024. Namun, ternyata mobil ini tetap diproduksi meski untuk kebutuhan negara lain.
Sebagai gantinya, Infiniti bakal mendapat versi terbaru Nissan Rougue yang akan diproduksi pada 2026. Mobil terbaru ini dikabarkan masih tetap menggunakan pembakaran internal, powertrain hybrid plug-in dan sistem e-Power.
Lebih lanjut, Infiniti telah mengonfirmasi rencana peluncuran crossover coupe QX65 serta sebuah SUV bertenaga listrik. Model SUV listrik ini dijadwalkan hadir pada tahun fiskal 2028 dan akan mengusung desain yang terinspirasi dari konsep Vision QXe.
Sementara itu, terkait produksi Rogue, Nissan mempertimbangkan ulang strategi perakitannya di fasilitas Smyrna, Tennessee.
Awalnya, perusahaan berencana mengurangi satu shift produksi bulan ini, namun akhirnya dibatalkan guna mempertahankan volume produksi lokal di Amerika Serikat yang terbebas dari beban tarif otomotif.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.