KABARBURSA.COM - Goldman Sachs lagi-lagi menaikkan proyeksi harga emas untuk akhir tahun ini menjadi USD3.700 per ons (sekitar Rp57.350.000, dengan asumsi nilai tukar USD1 = Rp15.500). Proyeksi ini mencerminkan optimisme Sachs terhadap permintaan yang lebih kuat dari bank sentral serta peningkatan risiko resesi yang semakin mempengaruhi pasar emas.
Sebelumnya, bank investasi ini memprediksi harga emas akan berakhir di USD3.300 per ons. Proyeksi terbaru ini didorong oleh dua faktor utama yang menarik perhatian mereka, yaitu permintaan yang lebih tinggi dari yang diperkirakan bank sentral dan lonjakan arus masuk ke dalam dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) yang terhubung dengan emas.
Goldman Sachs memperkirakan permintaan bank sentral untuk emas rata-rata akan mencapai 80 ton per bulan, sebuah lonjakan signifikan dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya yang hanya 70 ton per bulan. Ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata 17 ton per bulan yang tercatat sebelum tahun 2022.
Keputusan banyak bank sentral untuk menambah cadangan emas mereka, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global, turut berperan dalam merangsang permintaan yang lebih tinggi.
Meskipun banyak yang menganggap emas sebagai aset pelindung nilai dalam situasi ketidakpastian, lonjakan pembelian ini menunjukkan bahwa bank-bank sentral semakin bergantung pada logam mulia tersebut sebagai bagian dari diversifikasi portofolio mereka.
Selain itu, arus masuk ETF emas juga menunjukkan tanda-tanda kekuatan yang luar biasa. Seiring dengan kekhawatiran resesi yang semakin mendalam, investor cenderung mencari aset yang dianggap lebih aman seperti emas. Goldman Sachs sendiri memperkirakan ada kemungkinan 45 persen terjadinya resesi di Amerika Serikat dalam 12 bulan ke depan, dan ini memberi dorongan tambahan bagi emas.
Harga emas spot, yang terus mencatatkan rekor tertinggi sepanjang tahun ini, telah meningkat lebih dari 23 persen pada 2025, dengan emas batangan pertama kalinya menembus USD3.200 per ons pada sesi perdagangan Jumat terakhir.
Namun, analisis Goldman Sachs tidak hanya berfokus pada kondisi pasar saat ini, tetapi juga melihat kemungkinan proyeksi jangka menengah. Jika tren kenaikan permintaan terus berlanjut, dengan bank-bank sentral membeli rata-rata 100 ton emas per bulan, Goldman memperkirakan harga emas dapat melambung hingga USD3.810 pada akhir 2025.
Sementara itu, jika resesi yang semakin nyata mempengaruhi pasar, arus masuk ke ETF bisa melonjak kembali ke level yang tercatat selama pandemi, yang dapat mendorong harga emas lebih tinggi lagi, bahkan bisa mencapai USD3.880 per ons pada akhir tahun 2025.
Di sisi lain, jika pertumbuhan ekonomi global melampaui ekspektasi, terutama dengan berkurangnya ketidakpastian kebijakan, maka arus masuk ke ETF bisa berkurang, dan harga emas mungkin akan sedikit mereda. Dalam skenario ini, harga emas diperkirakan akan berada di kisaran USD3.550 per ons menjelang akhir tahun.
HRTA: Saham Murah, Laba Merekah
Saham PT Hartadinata Abadi Tbk atau HRTA memiliki rasio PE yang sangat rendah, baik untuk PE TTM (Trailing Twelve Months) dan PE tahunan, yaitu sekitar 5.99. Hal ini menunjukkan bahwa saham ini relatif murah dibandingkan dengan laba yang dihasilkannya.
Dibandingkan dengan PE median IHSG yang berada di angka 7.87, saham ini tampak lebih terjangkau. Rasio harga terhadap pendapatan (earnings yield) sebesar 16.70 persen menunjukkan bahwa saham ini memberikan hasil yang cukup tinggi dibandingkan dengan harga pasar. Hal ini mungkin menjadi sinyal menarik bagi investor yang mencari saham dengan valuasi murah.
Namun, yang menarik dari saham ini adalah rasio Price to Sales yang sangat rendah, hanya 0.15, yang mengindikasikan bahwa investor membayar sangat sedikit untuk setiap rupiah pendapatan yang dihasilkan perusahaan ini. Walaupun begitu, indikator solvensi saham ini terlihat cukup sehat dengan Current Ratio yang ada di angka 2.05, yang berarti perusahaan ini mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan baik.
Meskipun demikian, pengukuran lain seperti Free Cash Flow per Share (yang negatif) dan Cash Flow dari Operasi yang juga negatif menunjukkan adanya tantangan dalam arus kas operasional perusahaan ini.
Dari sisi profitabilitas, saham ini terlihat cukup solid dengan Return on Assets (ROA) 7.42 persen dan Return on Equity (ROE) 18.90 persen, yang menunjukkan bahwa perusahaan ini mampu menghasilkan laba yang baik dari aset dan ekuitas yang dimilikinya.
Selain itu, margin laba bersihnya sebesar 2.84 persen juga mencerminkan efisiensi operasional yang memadai. Perusahaan ini membayar dividen sebesar Rp15 per saham, yang memberikan dividen yield 2.61 persen, menarik bagi investor yang mencari pendapatan pasif.
ARCI: Saham dan Valuasi Tinggi
Di sisi lain, PT Archi Indonesia Tbk atau menunjukkan valuasi yang jauh lebih tinggi. Rasio PE-nya, baik untuk PE TTM maupun PE tahunan, berada di angka 44.10, jauh lebih tinggi dibandingkan saham pertama. Ini menunjukkan bahwa pasar menilai saham ini dengan sangat tinggi, mungkin mengharapkan pertumbuhan laba yang pesat di masa depan.
Namun, earnings yield-nya yang hanya 2.27 persen menunjukkan bahwa saham ini tidak memberikan imbal hasil yang besar dibandingkan dengan harga pasar. Rasio harga terhadap penjualan (Price to Sales) sebesar 1.60 juga cukup tinggi, yang menunjukkan bahwa saham ini dihargai lebih mahal berdasarkan pendapatan yang dihasilkannya.
Dari segi solvabilitas, saham kedua terlihat lebih berisiko. Current Ratio-nya hanya 0.50, yang menunjukkan bahwa perusahaan ini mungkin kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya tanpa mencari pendanaan eksternal.
Rasio utang terhadap ekuitasnya yang mencapai 1.48 juga memperlihatkan ketergantungan yang lebih tinggi pada pembiayaan utang, yang bisa menjadi potensi risiko jika ada tekanan dalam pembayaran utang atau perubahan suku bunga. Selain itu, Free Cash Flow per Share yang negatif dan Cash Flow dari Operasi yang sangat besar negatif menunjukkan masalah serius dengan likuiditas perusahaan ini.
Namun, saham kedua juga menunjukkan beberapa kekuatan, terutama dalam hal profitabilitas. Margin laba kotor sebesar 31.83 persen dan margin laba bersih yang tinggi sebesar 16.44 persen menunjukkan bahwa perusahaan ini dapat menghasilkan laba yang signifikan dari pendapatannya.
Return on Assets (ROA) 1.21 persen dan Return on Equity (ROE) 3.83 persen lebih rendah dibandingkan saham pertama, tetapi masih menunjukkan bahwa perusahaan ini dapat menghasilkan keuntungan dari aset dan ekuitasnya.
Saham ini juga mengalami pertumbuhan pendapatan dan laba yang signifikan, dengan Net Income YoY Growth yang mencapai 308.96 persen, yang menunjukkan adanya potensi pertumbuhan yang kuat, meskipun dengan valuasi yang tinggi.
Dalam hal dividen, saham kedua belum membagikan dividen, yang bisa menjadi faktor penting bagi investor yang mencari pendapatan pasif.
Jadi, HRTA dan ARCI memiliki profil yang sangat berbeda. Saham HRTA lebih terjangkau dengan valuasi rendah, hasil dividen yang menarik, dan profitabilitas yang stabil, meskipun menghadapi tantangan dalam hal arus kas.
Sementara itu, saham ARCI menunjukkan potensi pertumbuhan yang tinggi, namun dengan valuasi yang sangat mahal dan risiko solvabilitas yang lebih besar.
Pilihan antara keduanya sangat bergantung pada profil risiko dan tujuan investasi masing-masing investor. Jika mencari saham dengan valuasi yang lebih menarik dan hasil dividen, saham pertama mungkin lebih sesuai. Namun, jika bersedia menerima valuasi tinggi dengan harapan pertumbuhan yang cepat, saham kedua bisa menjadi pilihan.(*)