KABARBURSA.COM - Ekonom senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan bahwa fenomena investor mencari safe haven assets akibat konflik Iran-Israel ikut memicu rupiah semakin terdepresiasi.
Safe haven menurut Bank Dunia, tuturnya, merupakan aset yang dianggap stabil atau aman di masa ketidakpastian ekonomi atau gejolak pasar.
Biasanya, aset-aset ini meliputi logam mulia seperti emas, mata uang yang dianggap kuat seperti dolar Amerika Serikat (AS) atau obligasi pemerintah.
"Konflik membuat mayoritas investor mencari safe haven assets. Dua aset yang sedang dituju investor adalah emas, selain itu tentunya dolar AS," ujarnya kepada Kabar Bursa, Rabu, 17 April 2024.
Fithra menerangkan, dolar AS banyak diburu investor karena penguatan dari dollar index akibat The Federal Reserve (The Fed) tidak berencana menurunkan Fed Fund Rate sehingga tetap pada level 3,4 persen
Oleh karena itu, dengan menguatnya dollar index mengakibatkan emerging market dan sejumlah mata uang terdepresiasi. Rupiah menjadi salah satu mata uang yang ikut terpuruk atas kondisi tersebut.
"Jadi ini memang fenomena strong dollar ya yang diikuti oleh fenomena geopolitik," ungkapnya.
Sebelumnya, pascaserangan Iran ke Israel, menurut data Trading Economics, pada Senin, 15 April 2024 pukul 20.30 WIB, harga emas spot berada di USD2.353 per ons troy, mengalami kenaikan sebesar 0,42 persen dalam 24 jam terakhir. Dalam sepekan, harga emas ini menguat sebesar 0,64 persen, dan selama sebulan terakhir telah melonjak hingga 9,01 persen.
Sementara itu, pada Rabu, 17 April 2024, terjadi pelemahan signifikan di mana USD1 setara dengan Rp16.235 di pasar spot, menempatkan rupiah pada posisi terlemahnya sejak April 2020 atau dalam empat tahun terakhir. Pelemahan ini juga terlihat dalam perbandingan dengan nilai tukar sehari sebelumnya, di mana rupiah melemah sebesar 0,37 persen.
Selama sepekan terakhir, mata uang Indonesia mengalami pelemahan sebesar 1,98 persen secara point-to-point, sementara dalam rentang sebulan terakhir, depresiasi mencapai 3,97 persen.
Ini menunjukkan tren pelemahan yang cukup signifikan dalam periode singkat, yang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk sentimen pasar global, kondisi ekonomi domestik, dan kebijakan moneter yang diambil oleh bank sentral.