Logo
>

Resesi AS Diproyeksi Melonjak 35 Persen Akhir di 2024

Ditulis oleh KabarBursa.com
Resesi AS Diproyeksi Melonjak 35 Persen Akhir di 2024

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - JPMorgan Chase & Co kini menilai bahwa kemungkinan ekonomi Amerika Serikat memasuki resesi pada akhir tahun 2024 meningkat menjadi 35 persen, naik dari sebelumnya 25 persen pada bulan lalu.

    Laporan terbaru dari JPMorgan yang dipimpin oleh Bruce Kasman mengungkapkan adanya indikasi penurunan tajam dalam permintaan tenaga kerja serta tanda-tanda awal pengurangan tenaga kerja di AS. Peningkatan proyeksi risiko resesi ini, seperti yang dicatat dalam catatan klien pada Rabu (7/8/2024), kontras dengan penilaian yang lebih substansial terhadap prospek suku bunga.

    Tim ekonom JPMorgan mempertahankan peluang terjadinya resesi pada paruh kedua tahun 2025 sebesar 45 persen. Meskipun risiko resesi meningkat, penilaian terhadap kemungkinan suku bunga tetap tinggi selama periode yang lama mengalami penurunan. JPMorgan kini memperkirakan hanya 30 persen kemungkinan Federal Reserve mempertahankan suku bunga tinggi dalam waktu lama, menurun dari penilaian 50-50 yang berlaku dua bulan lalu.

    Dengan tekanan inflasi yang mereda, JPMorgan memperkirakan bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar setengah poin persentase pada bulan September dan November mendatang.

    Prediksi risiko resesi ini sejalan dengan penilaian serupa dari Goldman Sachs Group Inc, yang saat ini memperkirakan probabilitas resesi sebesar 25 persen dalam tahun depan.

    Para ekonom JPMorgan menambahkan bahwa jika resesi AS/global terwujud, hal ini hampir pasti akan memicu respons pelonggaran moneter yang signifikan dan segera oleh bank-bank sentral.

    Kecemasan Global

    Pada Senin, 5 Agustus 2024 disebut 'Black Monday', hampir seluruh saham di Wall Street mengalami penurunan tajam akibat kekhawatiran atas perlambatan ekonomi Amerika Serikat yang semakin mengkhawatirkan, memicu aksi jual besar-besaran di pasar keuangan global.

    Indeks Nasdaq Composite yang dipenuhi oleh perusahaan teknologi mengalami penurunan lebih dari 6 persen pada awal perdagangan, meskipun akhirnya mengalami pengurangan kerugian menjadi 3,43 persen pada penutupan pasar. Indeks S&P 500 merosot 3 persen, sedangkan Dow Jones mencatat penurunan sebesar 2,6 persen.

    Penurunan tajam ini melanjutkan tren aksi jual global yang dimulai minggu lalu. Pada hari Senin yang sama, indeks Nikkei 225 Jepang terjun bebas sebesar 12,4 persen, menjadikannya hari terburuk sejak krisis "Black Monday" pada 1987.

    Reaksi tajam dari para trader di Tokyo ini terkait dengan laporan yang dirilis pada Jumat, 2 Agustus, yang menunjukkan perlambatan perekrutan tenaga kerja di Amerika Serikat melebihi ekspektasi para ekonom.

    Data ekonomi terbaru dari Amerika Serikat menunjukkan hasil yang lebih lemah dari perkiraan, meningkatkan kekhawatiran bahwa Federal Reserve (The Fed) mungkin telah terlalu lama mempertahankan suku bunga tinggi untuk menahan inflasi, yang berpotensi membebani pertumbuhan ekonomi.

    Para investor profesional memperingatkan bahwa beberapa faktor teknis dapat memperburuk dampak penurunan ini, namun penurunan yang terjadi masih sangat signifikan. Indeks Kospi Korea Selatan merosot 8,8 persen, pasar saham di Eropa melemah lebih dari dua persen, dan harga bitcoin turun dari lebih dari USD61.000 menjadi di bawah USD55.000 pada Jumat, 2 Agustus.

    Salah satu penyebab utama kemerosotan ini adalah ketidakpastian apakah The Fed akan memangkas suku bunga dalam rapat darurat, dengan keputusan resmi dijadwalkan pada 18 September mendatang.

    "The Fed bisa memperbaiki situasi dengan memangkas suku bunga yang tinggi, tetapi keputusan untuk melakukannya sebelum rapat resmi terkesan tidak biasa," ujar Brian Jacobsen, kepala ekonom di Annex Wealth Management. "Langkah tersebut biasanya diambil dalam keadaan darurat, seperti pandemi COVID, sementara tingkat pengangguran sebesar 4,3 persen tidak tampak seperti keadaan darurat."

    Ekonomi AS masih menunjukkan pertumbuhan, dan resesi masih belum pasti. The Fed telah menjelaskan tantangan yang mereka hadapi ketika mulai menaikkan suku bunga secara agresif pada Maret 2022, kebijakan yang terlalu agresif dapat mengekang pertumbuhan ekonomi, sementara kebijakan yang terlalu longgar dapat memicu inflasi dan merugikan banyak pihak.

    Sementara itu, ekonom Goldman Sachs, David Mericle, mengidentifikasi potensi resesi yang lebih besar dalam 12 bulan ke depan setelah laporan ketenagakerjaan AS pada Jumat lalu. Namun, ia memperkirakan kemungkinan tersebut hanya sebesar 25 persen, naik dari sebelumnya sebesar 15 persen, sebagian karena data ekonomi secara keseluruhan masih terlihat baik dan tidak ada ketidakseimbangan finansial yang signifikan.

    Cuma Melambat

    Radhika Rao, Ekonom Senior di Bank DBS, percaya bahwa ekonomi Amerika Serikat (AS) tidak akan memasuki resesi, melainkan hanya mengalami perlambatan pada semester kedua tahun 2024.

    Menurutnya, dampak perlambatan ekonomi AS terhadap perekonomian Indonesia akan relatif minimal.

    “Ekonomi AS diperkirakan tidak akan mengalami kemerosotan yang parah karena AS masih meningkatkan jumlah pekerjanya,” kata Radhika dalam Diskusi Media DBS di Jakarta, Selasa 6 Agustus 2024 lalu.

    Dari perspektif bisnis, Radhika menambahkan bahwa perlambatan ekonomi AS juga tidak akan berpengaruh besar. Ini karena, dalam beberapa tahun terakhir, China telah mengambil alih posisi sebagai mitra perdagangan utama Indonesia.

    “China juga mampu menggantikan AS. Kami berharap dampak dari perlambatan ini bisa diminimalisir selama pertumbuhan dan pemulihan ekonomi China tetap pada jalur yang diharapkan,” tambahnya.

    Radhika mengungkapkan bahwa pihaknya akan terus memantau perkembangan perekonomian AS, terutama terkait dengan bantuan fiskal pemerintah dan sentimen di sektor swasta.

    Pada kuartal kedua 2024, pertumbuhan ekonomi AS tercatat masih cukup kuat, yakni sebesar 2,8 persen year on year (yoy).

    Namun, data pengangguran pada bulan Mei, Juni, dan Juli 2024 menunjukkan angka yang meningkat: masing-masing 4 persen, 4,1 persen, dan 4,3 persen, dengan rata-rata sekitar 4,13 persen.

    Pada Jumat, 2 Agustus, data nonfarm payrolls (NFP) AS hanya meningkat sebesar 114.000, jauh di bawah ekspektasi yang sebesar 175.000. Selain itu, tingkat pengangguran naik menjadi 4,3 persen, melebihi ekspektasi yang hanya 4,1 persen.

    Data ini memicu kekhawatiran pasar tentang kemungkinan pelemahan lebih lanjut dalam pertumbuhan ekonomi AS, bahkan resesi. Akibatnya, para pelaku pasar menjadi lebih berhati-hati dalam menilai prospek ekonomi negara tersebut. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi