Logo
>

Resmi Ditandatangani Jokowi, UU KIA Akan Bawa Polemik Baru?

Ditulis oleh Yunila Wati
Resmi Ditandatangani Jokowi, UU KIA Akan Bawa Polemik Baru?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) sudah resmi menjadi Undang-Undang (UU). Presiden Joko Widodo pada Selasa, 2 Juli 2024, menandatangani UU No 4 Tahun 2024. Undang-undang tersebut mengatur tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.

    Poin penting dari penandatanganan UU KIA ini adalah para pekerja perempuan memiliki hak cuti melahirkan selama enam bulan. Paling singkat tiga bulan pertama, kemudian paling lama tiga bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang bisa dibuktikan dengan surat keterangan medis dari dokter.

    Dalam Pasal 4 ayat 3 UU KIA disebutkan:

    "Kondisi khusus yang dimaksud dalam pasa UU tersebut yakni, seorang ibu yang mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, serta komplikasi pasca persalinan atau keguguran. Serta kondisi ketika bayi yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan tertentu atau komplikasi."

    Kemudian, dalam Pasal 5 UU KIA dijelaskan:

    "Apabila dalam kondisi tertentu, ibu tidak diperbolehkan mengambil cuti atau diberhentikan saat cuti, maka pemerintah pusat atau daerah bisa memberikan bantuan hukum untuk menanganinya."

    Dalam pasal ini jelas sekali bahwa seorang ibu yang tengah mendapatkan cuti melahirkan atau mengambil waktu istirahat karena keguguran, tidak bisa diberhentikan oleh perusahaan dan tetap mendapatkan upah sesuai aturan yang berlaku.

    UU KIA ini juga mengatur tentang hak cuti ayah, yaitu dalam pasal 6 UU KIA. Di sana disebutkan, bahwa suami yang mendampingi istri melahirkan akan diberi waktu maksimal lima hari. Hal ini untuk menjamin pemenuhan hak ibu yang menjalani cuti melahirkan dan membutuhkan pendampingan dari suami.

    Hak cuti pendampingan yang dimaksud adalah akan diberikan selama masa persalinan, dengan waktu paling singkat dua hari dan paling lama tiga hari, sesuai kesepakatan. Kemudian, perusahaan diminta memberikan waktu yang cukup pada pekerja laki-laki untuk mendampingi istri dalam kondisi tertentu, seperti yang disebutkan dalam pasal 4 aayat 3 UU KIA, yaitu masalah kesehatan, gangguan kesehatan, atau komplikasi pasca persalinan dan keguguran.

    Dalam pasal 6 UU KIA juga diatur mengenai pemberian waktu yang cukup untuk pekerja laki-laki, apabila bayi yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, atau komplikasi. Kemudian, istri yang melahirkan meninggal dunia atau justru anak yang dilahirkan meninggal dunia.

    Undang-undang ini memang sudah sangat lama dinantikan oleh para ibu. Namun di sisi lain, ada pertanyaan menggelitik tentang produktivitas perusahaan. Akankah ada perbandingan produktivitas kerja selama ibu melahirkan ini mengambil cuti? Apalagi hal ini erat kaitannya dengan pendapatan dan pengeluaran perusahaan.

    Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyuarakan kekhawatirannya terhadap potensi dampak ekonomi nasional yang ditimbulkan oleh aturan cuti 6 bulan bagi ibu hamil dan melahirkan dalam Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA).

    Ketua Bidang Regulasi Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Myra M Hanartani, menekankan perlunya kejelasan dan pertimbangan matang terkait ketentuan tersebut.

    “Kami ingin memperjelas kembali pasal mengenai cuti ini, khususnya terkait cuti hamil dan melahirkan. Apakah benar-benar otomatis 6 bulan? Atau ada persyaratan dan kondisi tertentu?” kata Myra saat dihubungi KabarBursa, Selasa, 11 Juni lalu.

    Kekhawatiran Apindo berpusat pada beban finansial tambahan yang akan ditanggung perusahaan. Myra mencontohkan, perusahaan harus membayar gaji karyawan yang cuti selama 6 bulan, sekaligus merekrut dan melatih karyawan baru untuk mengisi posisi tersebut. Hal ini, menurut dia, tentu dapat mengganggu operasional dan produktivitas perusahaan.

    “Secara logika, ketika cuti menjadi 6 bulan, perusahaan tidak hanya membayar gaji selama 6 bulan, tetapi juga menanggung biaya perekrutan dan pelatihan karyawan baru. Potensi kerugiannya bisa mencapai triliunan rupiah,” kata Myra.

    Menurut dia, Apindo tidak menentang prinsip kesejahteraan pekerja dan hak ibu hamil dan melahirkan. Namun, Myra menekankan pentingnya keseimbangan antara hak pekerja dan kelangsungan usaha.

    “Kami tidak menentang hak ibu hamil dan melahirkan. Justru, kami ingin memastikan agar hak ini dapat dipenuhi dengan cara yang bertanggung jawab dan tidak merugikan perusahaan,” papar Myra.

    Myra tak menampik peluang pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan selama masa cuti karyawan. Namun hal ini tidaklah sederhana, perlu ada penyesuaian pada masing-masing sektor perusahaan.

    “Teknologi dapat menjadi solusi untuk membantu perusahaan tetap produktif selama masa cuti karyawan. Namun, perlu diingat bahwa penerapan teknologi juga membutuhkan biaya dan waktu,” kata Myra.

    Apindo mengakui akan ada potensi kerugian secara nasional jika UU KIA diterapkan tanpa kejelasan yang memadai. Jika memakai data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah tenaga kerja perempuan di Indonesia yang mencapai 54.615.804 orang, maka kerugian yang bisa ditimbulkan dari cuti tersebut mencapai ratusan triliun dengan jenjang waktu berkala. Namun, Myra tak ingin berspekulasi mengenai data tersebut karena Apindo tak punya kapasitas menghitung ekonomi makro.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79