KABARBURSA.COM - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi pengembalian pajak atau restitusi pajak mengalami lonjakan signifikan hingga April 2024.
Berdasarkan data yang ada, realisasi restitusi pajak hingga 30 April 2024 mencapai Rp110,64 triliun, meningkat 81,67 persen secara tahunan (year on year/YoY). Pada periode yang sama tahun sebelumnya, nilai restitusi pajak hanya mencapai Rp60,9 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menetapkan beberapa kriteria untuk mempercepat proses pengembalian bagi Wajib Pajak (WP) tertentu.
"DJP akan memproses setiap permohonan Wajib Pajak ketika mengajukan restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Pasalnya, restitusi merupakan hak Wajib Pajak," jelas Dwi Astuti kepada Kabar Bursa pada Kamis, 13 Juni 2024.
Sesuai ketentuan yang berlaku, setiap pemberian restitusi dilakukan melalui prosedur pemeriksaan. Namun, untuk Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Pengusaha Kena Pajak Beresiko Rendah, dan Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, proses pengembalian pendahuluan untuk jumlah lebih bayar dengan batas tertentu dapat dilakukan lebih cepat.
Dwi menjelaskan bahwa pengembalian pendahuluan memiliki batas waktu yang telah ditentukan. Jangka waktu restitusi biasa melalui proses pemeriksaan adalah 12 bulan, sedangkan pengembalian pendahuluan maksimal 3 bulan untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan 1 bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Bahkan, 15 hari kerja untuk WP Orang Pribadi dengan jumlah lebih bayar di bawah Rp100 juta sejak SPT Tahunan PPh dan SPT Masa PPN diterima lengkap," tambah Dwi.
Dwi juga menegaskan bahwa informasi lebih rinci dapat ditemukan dalam PMK Nomor 209/PMK.03/2021 dan PER-5/PJ/2023 tentang Percepatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Peningkatan restitusi ini terjadi akibat moderasi harga komoditas yang memaksa Wajib Pajak untuk mengamankan arus kas, sehingga restitusi pajak pun mengalami kenaikan. Mayoritas dari restitusi pajak pada periode tersebut berasal dari PPN Dalam Negeri, yang mencapai Rp26,63 triliun, meningkat 220,96 persen secara YoY.
“Peningkatan restitusi dari PPN Dalam Negeri sejalan dengan pertumbuhan positif penerimaan PPN Dalam Negeri, yang didorong oleh konsumsi domestik yang kuat dan ketahanan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang,” ujar Dwi.
Selain restitusi dari PPN Dalam Negeri, terdapat juga restitusi dari PPh Pasal 25/29 sebesar Rp3,74 triliun, yang meningkat sebesar 163,49 persen secara YoY. Sementara itu, restitusi pajak lainnya mencapai Rp513,53 miliar, mengalami penurunan sebesar 57,52 persen secara YoY.
Meskipun terjadi peningkatan signifikan pada restitusi pajak, realisasi penerimaan pajak pada Januari 2024 mencapai Rp149,25 triliun. Namun, angka ini menunjukkan kontraksi sebesar 8 persen YoY, berbanding terbalik dengan pertumbuhan 6,4 persen YoY pada Januari 2023.
Dengan demikian, meskipun ada peningkatan signifikan dalam restitusi pajak, realisasi penerimaan pajak masih menghadapi tantangan. Kebijakan dan upaya optimalisasi terus dilakukan oleh DJP untuk mencapai keseimbangan antara pengembalian hak Wajib Pajak dan peningkatan penerimaan pajak negara.
Sri Mulyani Tolak Buatkan Rasio Pajak 23 Persen
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menolak menyusun peta jalan untuk mencapai target rasio penerimaan negara 23 persen terhadap PDB pada 2025, sesuai visi Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Sri Mulyani menyatakan, meski pemetaan tersebut bisa dipresentasikan, namun tidak saat penyampaian nota keuangan 2025. Menurutnya, rasio pajak 23 persen sangat sensitif bagi masyarakat dan pengusaha, karena bisa diartikan pemerintah akan mengintensifkan penarikan pajak.
“Saya tidak minta dikaitkan dengan nota keuangan 2025 karena nanti menimbulkan ekspektasi market atau berbagai pihak. Namun, saya memahami keinginan dan saya setuju tax ratio kita perlu terus ditingkatkan,” tegas Sri Mulyani.
Hal ini menanggapi usulan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit yang meminta agar Ditjen Pajak Kemenkeu membuat analisis kebijakan dan peta jalan untuk target rasio perpajakan yang lebih tinggi dari target saat ini.
Dolfie menyatakan ingin melihat peta jalan pemerintah untuk mencapai target tax ratio 12-23 persen, sejalan dengan aspirasi fraksi di Komisi XI yang mendukung Prabowo Subianto.
“Selama ini kan perbandingannya antara penduduk dan petugas pajak, kemudian investasi di bidang teknologi informasi, terus regulasi. Kami ingin analisis itu akomodasi masukan dari teman-teman, khususnya Fraksi Gerindra yang ingin lihat ruang fiskal besar melalui penerimaan pajak,” ujar Dolfie, Selasa, 11 Juni 2024.
Menanggapi itu, Sri Mulyani menyatakan bahwa Kemenkeu siap menganalisis capaian tax ratio dan langkah-langkah untuk meningkatkannya, baik dari sisi regulasi, infrastruktur teknologi, hingga sumber daya manusia.
“Nanti kami lihat untuk bisa disusun memang dari analisa di Kemenkeu dengan DJP, BKF, DJA untuk PNBP dan DJBC bisa saja kami sampaikan analisa atau berbagai pemikiran kritis kenapa tax base kami begini dan efektivitas dari collection-nya,” jawab Sri Mulyani dalam rapat tersebut.
Namun, ia menegaskan bahwa peta jalan tersebut tidak akan dikaitkan dengan nota keuangan 2025 karena khawatir menimbulkan ekspektasi pasar yang tidak diinginkan.
Pada akhirnya, Komisi XI DPR RI sepakat untuk menghilangkan target atau angka yang terkait dengan tax ratio dari dokumen keputusan rapat. Diputuskan bahwa DJP menyampaikan analisis kebijakan dan peta jalan target tax ratio yang lebih tinggi.
Sebagai informasi, Presiden Terpilih Prabowo Subianto dalam visi-misinya menargetkan peningkatan penerimaan negara dari pajak dan PNBP hingga 23 persen. Dalam dokumen visi-misinya, Prabowo menginginkan anggaran pemerintah meningkat untuk membiayai pembangunan yang sebagian dananya berasal dari penerimaan dalam negeri. Pendirian Badan Penerimaan Negara ditargetkan untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB hingga 23 persen. (yub/*)