KABARBURSA.COM - Indonesia dinilai tidak boleh berpuas diri dengan neraca perdagangan yang surplus di sektor nonmigas. Hal ini dikarenakan masih adanya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China.
Kementerian Perdagangan mencatat, pada Januari - April 2024, Indonesia masih mencatatkan neraca perdagangan yang surplus di sektor nonmigas dengan nilai USD17,68 miliar.
Catatan tersebut melanjutkan raihan surplus sepanjang 2023 dengan nilai total USD 56,8 miliar. Namun demikian, catatan surplus periode Januari--April 2024 mengalami penurunan sebesar 19,85 persen dari periode yang sama pada 2023.
Begitu juga dengan raihan ekspor nonmigas Indonesia pada 2023 tercatat sebesar USD242,9 miliar. Nilai tersebut mengalami penurunan cukup signifikan 11,97 persen dibandingkan dengan 2022, yaitu USD275,9 miliar.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, Suhanto menekankan, Indonesia tidak boleh terlena dengan raihan surplus perdagangan ini, mengingat terus bermunculannya berbagai tantangan dan tekanan dari sisi eksternal.
Fragmentasi geopolitik-ekonomi mengalami peningkatan dengan berlangsungnya perang Rusia di Ukraina yang menyebabkan keterbatasan pasokan serta tetap tingginya harga energi dan pangan global.
"Indonesia jangan cepat berpuas diri dan jangan terlena dengan surplus. Masih berlanjutnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok berdampak tidak hanya pada penurunan ekspor-impor kedua negara, tetapi juga volume perdagangan dunia. Ketegangan Israel dan Palestina sejak awal Oktober 2023 menambah ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan juga dunia," ujar Suhanto dalam keterangannya yang diterima Kabar Bursa, Sabtu, 15 Juni 2024.
Hal tersebut, lanjut Suhanto, mengakibatkan proses pemulihan ekonomi global melambat, disertai dengan berlanjutnya tekanan inflasi karena harga energi dan pangan dunia.
Indonesia dinilai harus jeli melihat peluang dan potensi yang dapat segera dioptimalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Pemangku kepentingan di sektor perdagangan diharapkan mampu bersama-sama menyiapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi kondisi Indonesia menghadapi isu global pada masa mendatang.
Suhanto mengatakan, berdasarkan proyeksi IMF dan WTO, perekonomian dunia mengalami pertumbuhan yang lambat dan relatif stagnan, berkisar 3 persen pada 2024 dan 2025.
Dia menambahkan, perdagangan internasional merupakan salah satu sektor yang terdampak dari stagnansi pertumbuhan ekonomi.
"Kita patut bersyukur, Indonesia masih mengalami tren surplus perdagangan yang sangat panjang di tengah perlambatan ekonomi global. Penyebabnya perlambatan tersebut mulai dari pandemi hingga kondisi geopolitik yang sangat berpengaruh pada permintaan global. Surplus neraca perdagangan tersebut tercatat sejak Mei 2020 lalu hingga saat ini," jelasnya.
Lebih lanjut, kondisi alam turut menambah perlambatan ekonomi global seperti di Eropa yang merupakan pasar ekspor Indonesia. Ekonomi Eropa yang melambat akibat cuaca dingin ekstrem pada awal 2023 makin memperburuk dampak terbatasnya pasokan energi dan pangan akibat perang Rusia di Ukraina terhadap pemulihan ekonomi di kawasan itu.
Sementara, kawasan Asia dilanda kekeringan akibat El Nino sehingga mengharuskan otoritas memastikan pasokan dan ketahanan pangan untuk mengatasi dampaknya terhadap inflasi dan pemulihan ekonomi.
Selain itu, tuntutan dari negara maju untuk segera menurunkan emisi karbon dengan gerakan ekonomi-keuangan hijau makin mempersempit ruang gerak negara negara berkembang seperti Indonesia, khususnya dalam mendorong pembiayaan dan pertumbuhan ekonomi.
Faktor Ekonomi Global
Sebelumnya diberitakan, Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman, memaparkan terkait faktor-faktor yang bakal berdampak terhadap ekonomi global pada kuartal keempat atau akhir 2024 mendatang.
Helmi mengatakan, ada beberapa risiko yang perlu dipantau, salah satunya adalah faktor ketegangan geopolitik yang bisa berdampak pada harga minyak mentah dunia.
“Ketegangan geopolitik bisa memicu volatilitas harga minyak. Citi berpandangan, sebenarnya secara fundamental pasar minyak mentah dunia dalam kondisi over supply di mana pertumbuhan suplai lebih tinggi dibanding pertumbuhan demand,” katanya kepada media di Jakarta, Rabu 22 Mei 2024.
Helmi juga bilang, ketegangan geopolitik bisa meningkatkan posisi spekulatif. Hal ini, kata dia, berpotensi memicu volatilitas harga minyak dan meningkatkan ekspetasi inflasi secara global.
Selain ketegangan geopolitik, faktor eksternal lainnya yang bisa mempengaruhi ekonomi global adalah pemilihan umum (pemilu) di Amerika Serikat yang dilaksanakan pada November 2024.
Helmi membeberkan, pemilu di Negeri Paman Sam itu bisa memicu penguatan dolar atau kenaikan dolar indeks. Kondisi ini disebabkan oleh dua faktor.
Yang pertama, jelas Helmi, potensi ekskalasi perang tarif antara Amerika Serikat dan China bisa memicu respon dari China berupa perlemahan nilai tukar yuan.
“Di mana nilai tukar yuan ini adalah jangkar bagi menentukan negara-negara emerging market. Lalu penyebab kedua adalah, apabila menjelang pemilu di Amerika Serikat, menguat wacana pengurangan pajak di Amerika Serikat,” pungkasnya. (yog/prm)