KABARBURSA.COM – PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, berkode saham WIKA, masih berada dalam tekanan serius. Seluruh instrument yang dinilai kembali ditempatkan pada level peringkat rendah oleh PEFINDO.
Berdasarkan laporan hasil pemeringkatan efek yang diterbitkan pada 19 Desember 2025, PEFINDO menetapkan peringkat D untuk tiga seri obligasi WIKA Tahap I Tahun 2020, yakni Seri A, Seri B, dan Seri C. Obligasi-obligasi tersebut masing-masing memiliki jatuh tempo pada 18 Desember 2027 dan seluruhnya masuk dalam kategori outlook lain-lain.
Tidak hanya obligasi, instrumen syariah WIKA juga mendapat penilaian serupa. Untuk Sukuk Mudharabah I WIKA Tahap I Tahun 2020 Seri B dan Seri C, PEFINDO memberikan peringkat D(sy). Peringkat D(sy) ini menandakan tingkat risiko gagal bayar yang sangat tinggi dalam perspektif syariah, sejalan dengan kondisi keuangan emiten secara keseluruhan.
Seri B memiliki jatuh tempo pada 18 Desember 2025, sementara Seri C jatuh tempo pada 18 Desember 2027.
Seluruh peringkat tersebut berlaku sejak 19 Desember 2025 hingga 1 Juli 2026. Artinya, dalam penilaian ke depan, belum terdapat perbaikan fundamental yang cukup kuat untuk mendorong kenaikan peringkat.
Laporan ini juga diterbitkan sebagai tindak lanjut atas ditemukannya fakta material, yang menjadi dasar PEFINDO untuk melakukan pemeringkatan ulang terhadap instrumen utang WIKA.
Meskipun demikian, hingga saat ini WIKA masih memperoleh proyek-proyek dari pemerintah. Terbaru, ada tiga proyek infrastruktur transportasi dan sumber daya air yang dipegang. Nilainya cukup besar, hingga ratusan miliar.
Proyek tersebut adalah fly over Jalan Sudirman Muara Enim dan Rehabilitasi Bendung Karet Jatimlerek berasal dari Kementerian Pekerjaan Umum. Juga jalan tol akses Patimban Paket II berasal dari PT Jasa Marga.
Ini bukan proyek spekulatif, melainkan proyek negara dan BUMN dengan fungsi strategis. Fly over Muara Enim, misalnya, menangani simpul krusial perlintasan jalan nasional yang bersinggungan langsung dengan jalur kereta api Babaranjang, salah satu urat nadi logistik batu bara di Sumatera Selatan. Artinya, proyek ini memiliki urgensi tinggi dan kepastian kebutuhan, bukan proyek kosmetik.
Nilai proyek fly over sebesar Rp177,22 miliar, memang tidak besar jika dibandingkan dengan skala historis WIKA, namun justru di situlah konteksnya. Proyek-proyek ini lebih tepat dibaca sebagai penjaga arus kerja (work continuity) ketimbang pengungkit lonjakan kinerja jangka pendek.
Masuknya proyek rehabilitasi bendung karet juga memberi sinyal penting. Proyek sumber daya air umumnya memiliki margin yang lebih stabil dan tingkat persaingan yang tidak seketat proyek jalan tol atau gedung bertingkat.
Ini selaras dengan narasi kehati-hatian yang sedang dibangun WIKA, yaitu menjaga kualitas proyek dan eksekusi, bukan sekadar mengejar volume kontrak.
Sementara proyek Tol Akses Patimban Paket II mengaitkan WIKA langsung dengan agenda strategis nasional di sektor logistik dan pelabuhan, yang secara jangka menengah berpotensi membuka peluang lanjutan, baik sebagai kontraktor utama maupun mitra pada paket-paket berikutnya.
Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito, menegaskan bahwa proyek-proyek ini diposisikan sebagai penegasan kompetensi, bukan sekadar pencapaian angka kontrak.
Komitmen pada ketepatan waktu, mutu, keselamatan kerja, dan keberlanjutan lingkungan menjadi penting, karena reputasi eksekusi saat ini sangat menentukan peluang WIKA mendapatkan proyek lanjutan di tengah pengawasan ketat pemilik proyek dan publik.
Namun demikian, penting dicatat bahwa proyek baru ini belum serta-merta mengubah gambaran risiko WIKA secara keseluruhan. Dengan nilai kontrak yang relatif moderat dan tanpa informasi tambahan mengenai total nilai tiga proyek secara agregat maupun kontribusinya terhadap backlog, dampaknya terhadap pendapatan dan arus kas jangka pendek kemungkinan bersifat gradual.
Proyek-proyek ini lebih berfungsi sebagai penopang aktivitas operasional dan sinyal bahwa WIKA masih “hidup” dan dipercaya, bukan sebagai katalis pembalik keadaan secara instan.(*)