KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah merumuskan aturan baru terkait perpajakan dalam transaksi aset kripto. Langkah ini menjadi perhatian serius bagi para pelaku pasar kripto di Indonesia, mengingat dinamika industri yang terus berkembang dengan cepat.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, menyatakan bahwa pihaknya sedang mempersiapkan penyesuaian pajak baru untuk transaksi kripto sebagai bagian dari peralihan pengawasan yang akan beralih dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK, ditargetkan berlaku pada awal 2025. Seperti dikutip di Jakarta, Rabu 21 Agustus 2024.
Dengan pengawasan ini, klasifikasi aset kripto akan bergeser menjadi aset keuangan digital, bukan lagi sekadar komoditas. Dampaknya, skema perpajakan diprediksi akan berubah secara signifikan. Meski detail aturan baru ini belum sepenuhnya diungkapkan, spekulasi mengenai kemungkinan kenaikan tarif pajak mulai mencuat, meski belum ada angka pasti yang terkonfirmasi.
OJK juga kemungkinan akan memperluas cakupan objek pajak, mencakup berbagai jenis aset kripto, tidak terbatas pada yang paling populer seperti Bitcoin dan Ethereum. Hal ini sejalan dengan tujuan meningkatkan transparansi serta menekan risiko pencucian uang.
Laju pertumbuhan industri kripto yang pesat di tanah air turut mendorong urgensi regulasi yang lebih komprehensif. Aturan perpajakan yang lebih jelas diharapkan mampu mengurangi potensi penyalahgunaan aset digital dalam kegiatan ilegal. Selain itu, pemerintah berharap kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan negara.
Inisiatif OJK ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengatur industri aset digital yang kian berkembang. Walau berpotensi menimbulkan gejolak pasar, regulasi ini diharapkan menciptakan lingkungan investasi yang lebih sehat dan transparan.
Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti, Tirta Karma Senjaya, mengungkapkan pihaknya berencana mengusulkan penurunan tarif pajak hingga setengah dari yang berlaku saat ini. Pernyataan ini menanggapi kekhawatiran pasar terkait kripto yang diperdagangkan di luar platform terdaftar Bappebti.
Pengumuman regulasi baru ini jelas akan berdampak pada volatilitas harga aset kripto di Indonesia. CEO INDODAX, Oscar Darmawan, menyambut baik langkah OJK ini, meski ia menekankan pentingnya keseimbangan dalam penerapannya. Regulasi yang terlalu ketat, menurutnya, bisa menghambat inovasi dan pertumbuhan industri.
Perubahan aturan pajak bisa memicu pergeseran perilaku investor, yang mungkin beralih ke platform di negara lain dengan regulasi lebih ringan. Meski begitu, Indonesia sebenarnya masih dalam tahap awal pengaturan industri kripto. Regulasi yang ada masih terus berkembang dan belum sedetail negara-negara lain.
Sebagai perbandingan, Singapura memberlakukan pajak capital gains, sementara Amerika Serikat menganggap kripto sebagai properti sehingga dikenakan pajak capital gains dengan aturan yang bervariasi antarnegara bagian. Di Uni Eropa, fokus regulasi lebih pada pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme, dengan implementasi yang berbeda di tiap negara.
Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain untuk membangun ekosistem kripto yang sehat dan berkelanjutan. Koordinasi lebih baik antara OJK, Kementerian Keuangan, dan lembaga terkait, serta keterlibatan pelaku industri, akademisi, dan masyarakat dalam pembuatan regulasi, menjadi kunci agar regulasi mampu mendukung inovasi dan perkembangan teknologi blockchain.
Besaran Pungutan Pajak
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewacanakan penyesuaian terhadap tarif pungutan pajak kripto. Opsi ini dipertimbangkan setelah pelaku usaha mengeluhkan besaran pungutan pajak terhadap aset digital itu.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, mengungkapkan sudah terjadi pembahasan terkait penyesuaian tarif pajak kripto. Namun, sampai saat ini besaran tarif kripto masih mengikuti ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 3 Tahun 2022,sebab kripto masih tergolong ke dalam aset kelas komoditas.
“Penyesuaian pungutan pajak kripto, saya kira sedang dalam pembahasan,” kata Hasan Fawzi di Jakarta, Jumat, 9 Agustus 2024.
Meski begitu, lanjut Hasan menjelaskan, penyesuaian tarif kripto akan bisa dilakukan setelah pengawasan dan regulasi terkait industri kripto beralih dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK yang rencananya paling cepat terjadi pada 2025.
“Ke depan tentu kami akan membuka ruang untuk membahas lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam hal ini,” tuturnya.
Meski sudah melakukan pembahasan, kata Hasan, sampai saat ini belum terdapat besaran tarif rekomendasi yang disiapkan untuk menyesuaikan tarif pajak kripto saat ini.
Sebagai informasi, dalam ketentuan pajak saat ini, transaksi aset kripto akan dipotong pajak sebanyak dua kali. Pertama, pada saat pembelian aset kripto, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan dipungut sebesar 0,11 persen dari nilai pembelian.
Kemudian, ketika menjual aset kripto dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Final akan dipotong sebesar 0,1 persen dari nilai penjual.
Dalam berbagai kesempatan, pelaku usaha industri kripto dan Bappebti menilai, besaran pajak kripto perlu dievaluasi. Hal ini dengan mempertimbangkan keberlangsungan industri kripto nasional.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.