KABARBURSA.COM - Mata uang rupiah ditutup menguat tipis sebesar 13 poin pada perdagangan Selasa, 14 Januari 2025, berada di level Rp16.270 per dolar AS. Meskipun sempat mencatatkan penguatan hingga 35 poin di awal sesi, tekanan faktor eksternal menghambat penguatan rupiah lebih lanjut.
Menurut Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, penguatan rupiah didorong oleh optimisme terhadap perekonomian domestik yang menunjukkan daya tahan yang solid. Namun, spekulasi global terkait kebijakan perdagangan Amerika Serikat serta rilis data inflasi yang dijadwalkan pada minggu ini membuat pasar tetap berhati-hati.
Dolar AS melemah setelah muncul laporan bahwa tim Presiden terpilih Donald Trump sedang merancang rencana kenaikan tarif perdagangan secara bertahap. Rencana ini melibatkan kenaikan tarif impor sebesar dua hingga lima persen per bulan, bertujuan meningkatkan leverage dalam negosiasi perdagangan tanpa memicu lonjakan inflasi mendadak.
Meskipun demikian, kekhawatiran bahwa kenaikan tarif tinggi bisa memicu inflasi menjadi perhatian pasar.
Fokus pasar kini tertuju pada data inflasi AS untuk bulan Desember 2024 yang akan dirilis pada Rabu, 15 Januari 2025. Jika data menunjukkan inflasi tetap tinggi, diperkirakan Federal Reserve akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, yang bisa memberikan tekanan bagi aset-aset pasar negara berkembang, termasuk rupiah.
Sementara itu, Ibrahim mengungkapkan bahwa optimisme terhadap perekonomian Indonesia turut mendukung penguatan rupiah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 4,95 persen (yoy) pada kuartal III-2024, dengan proyeksi pertumbuhan 5,1 persen untuk 2024.
Indikator ekonomi sektor riil pun menunjukkan angka positif, antara lain PMI Manufaktur yang tetap ekspansif di level 51,2, mencerminkan permintaan domestik yang kuat.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang tercatat di level 127,7 pada Desember 2024 menunjukkan tingginya optimisme masyarakat, sementara Indeks Penjualan Riil (IPR) juga mengalami pertumbuhan positif, didorong oleh konsumsi akhir tahun menjelang Natal dan Tahun Baru.
Kebijakan pemerintah, seperti subsidi, insentif pajak, dan program bantuan pangan, turut menjaga daya beli masyarakat dan mendorong aktivitas ekonomi.
Meski ditutup menguat hari ini, Ibrahim memperkirakan pergerakan rupiah pada perdagangan Rabu, 15 Januari 2025, akan tetap fluktuatif. Ia memperkirakan rupiah bergerak dalam kisaran Rp16.260 hingga Rp16.320 per dolar AS.
Tekanan eksternal, terutama terkait data inflasi AS dan spekulasi kebijakan perdagangan Trump, diperkirakan akan tetap menjadi tantangan bagi rupiah. Namun, stabilitas ekonomi domestik yang solid diharapkan dapat menahan pelemahan lebih lanjut.
Dolar Hampir Capai Rekor Tertinggi
Di tempat lain, dolar AS semakin mendekati level tertinggi dalam lebih dari dua tahun terakhir. Kenaikan ini dipicu sikap trader yang mulai mengurangi spekulasi terkait kemungkinan pemotongan suku bunga di Amerika Serikat setelah data ekonomi yang menunjukkan kekuatan pasar.
Meskipun sempat muncul harapan bahwa The Federal Reserve (Fed) akan memperlonggar kebijakan moneter tahun ini, investor kini mulai memperkirakan pendekatan yang lebih berhati-hati dan terukur, terutama setelah laporan ketenagakerjaan AS yang solid pekan lalu memberikan sinyal bahwa suku bunga AS kemungkinan tetap tinggi lebih lama.
Imbal hasil US Treasury, yang melonjak dalam beberapa hari terakhir, mendorong penguatan dolar. Hal ini memberi tekanan pada mata uang lain, termasuk euro, yen, poundsterling, dan yuan.
Analis percaya bahwa pendekatan Presiden AS terpilih Donald Trump terkait tarif perdagangan, yang direncanakan akan diberlakukan secara bertahap, turut memperburuk suasana pasar global.
Rencana tarif impor bertahap tersebut bertujuan untuk menghindari lonjakan inflasi mendadak, namun ketidakpastian yang muncul tentang kebijakan perdagangan ini justru menambah volatilitas di pasar keuangan.
Sementara itu, euro, yang telah mengalami kesulitan pada awal tahun, bertahan di USD1,02545, meskipun harga tersebut mendekati level terendah dalam dua tahun terakhir, yakni USD1,0177 yang tercatat pada sesi sebelumnya.
Ketidakpastian ekonomi di Eropa, ditambah dengan kekhawatiran terkait ancaman tarif, menyebabkan investor ragu terhadap prospek ekonomi kawasan tersebut. Euro, yang sudah kehilangan lebih dari 6 persen pada 2024, tampaknya masih akan menghadapi tantangan berat seiring melemahnya pertumbuhan ekonomi kawasan tersebut.
Di sisi lain, tren penguatan dolar AS membawa indeks dolar (DXY) naik sebesar 0,16 persen menjadi 109,59. Angka tersebut hanya sedikit lebih rendah dari level tertingginya dalam 26 bulan di angka 110,17.
Dolar AS juga didukung oleh laporan ketenagakerjaan yang kuat, yang meningkatkan harapan bahwa Fed akan menahan kebijakan moneter lebih ketat. Namun, investor tetap menunggu laporan inflasi konsumen AS yang dijadwalkan rilis pada 15 Januari 2025, yang akan menjadi indikator penting untuk pergerakan dolar lebih lanjut.
Melihat lonjakan imbal hasil US Treasury, yang menyentuh level tertinggi dalam 14 bulan terakhir, para analis juga menyarankan bahwa dollar yang semakin kuat bisa mulai menekan arus modal ke seluruh dunia, memengaruhi perekonomian di negara berkembang.
Dalam hal ini, China, melalui People's Bank of China (PBOC), telah mengambil langkah-langkah untuk menguatkan yuan dan menanggulangi depresiasi mata uangnya, salah satunya dengan meningkatkan arus modal serta kebijakan lebih fleksibel bagi perusahaan untuk pinjaman luar negeri.
Poundsterling pun menjadi sasaran utama pasar valuta asing, dengan mata uang Inggris terkoreksi setelah adanya kekhawatiran atas lonjakan imbal hasil obligasi negara tersebut. Meskipun secara teori imbal hasil yang lebih tinggi mendukung mata uang, para analis memperingatkan bahwa tingginya biaya pinjaman dapat membebani perekonomian Inggris di masa depan.
Hal ini memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan pengendalian pengeluaran atau peningkatan pajak guna mematuhi aturan fiskal, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan. Pundungan ini membawa pound ke level terendahnya dalam beberapa bulan terakhir, mencapai USD1,21.
Meski tekanan global semakin membebani beberapa mata uang, ada juga yang mengalami penguatan. Contohnya dolar Australia yang naik 0,26 persen ke angka USD0,6192, dan dolar Selandia Baru yang menguat 0,47 persen menjadi USD0,5609.
Kedua mata uang ini berusaha bangkit dari level terendah yang tercatat beberapa hari lalu. Dolar Australia dan Selandia Baru menghadapi tantangan dari dampak lebih luas dari kebijakan moneter global, namun keduanya menunjukkan ketahanan di tengah banyaknya ketidakpastian pasar.
Secara keseluruhan, meskipun penguatan dolar AS menunjukkan adanya optimisme atas kebijakan fiskal dan moneter Amerika Serikat, pasar valuta asing masih menghadapi ketidakpastian yang besar dengan faktor risiko eksternal yang memengaruhi kekuatan berbagai mata uang dunia.
Mengingat potensi ketegangan perdagangan dan pergerakan imbal hasil yang terus berubah, keadaan pasar dapat terus bergejolak, membuat arah mata uang global tetap penuh tantangan pada tahun ini.(*)