KABARBURSA.COM - Rupiah hari ini, 3 September 2024, ditutup dengan kondisi stagnan atau diamdi tempat, yaitu sama seperti hari sebelumnya Rp15.520/USD. Tidak bergeraknya rupiah terpengaruh dua kabar buruk yang datang dari dalam negeri, yaitu deflasi selama empat bulan berturut-turut dan kontraksi di industri manufaktur.
Berbeda dengan rupiah, indeks dolas AS (DXY) justru mengalami kenaikan tipis sebesar 0,02 persen ke titil 101,67.
Pergerakan nilai tukar rupiah saat ini mengalami tekanan akibat beberapa faktor domestik dan eksternal yang kompleks. Di dalam negeri, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan kontraksi di sektor manufaktur menjadi pendorong utama pelemahan rupiah.
Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur yang turun menjadi 49,3 pada Juli dan 48,9 pada Agustus 2024, menunjukkan bahwa sektor manufaktur—sektor vital bagi ekonomi Indonesia—sedang mengalami tekanan yang signifikan, mencapai titik terendah sejak Agustus 2021. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kinerja ekonomi secara keseluruhan dapat menurun, terutama menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo.
Selain itu, deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut, dengan deflasi sebesar 0,03 persen pada Agustus 2024 dan inflasi tahunan hanya sebesar 2,12 persen, mencerminkan penurunan daya beli masyarakat. Penurunan konsumsi domestik ini, terutama di sektor komunikasi dan jasa keuangan, turut memperlemah sentimen pasar terhadap rupiah, karena konsumsi domestik adalah salah satu penopang utama perekonomian Indonesia.
Dari sisi eksternal, penguatan indeks dolar AS dan peningkatan imbal hasil US Treasury bertenor 10 tahun yang mencapai 3,91 persen menarik arus modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, menuju aset yang lebih aman di Amerika Serikat. Tekanan ini diperparah oleh kondisi ekonomi global, di mana PMI Manufaktur AS yang turun ke 48 pada Agustus 2024 menandakan kontraksi lebih lanjut, dan PMI Manufaktur Umum Caixin di China yang hanya sedikit meningkat ke 50,4, menunjukkan bahwa ekspansi ekonomi di China juga sangat moderat.
Secara keseluruhan, kombinasi dari faktor-faktor domestik seperti penurunan daya beli dan kontraksi di sektor manufaktur, serta tekanan eksternal dari penguatan dolar AS dan kondisi ekonomi global yang tidak menentu, terus membebani nilai tukar rupiah. Jika tren ini berlanjut, stabilitas ekonomi Indonesia bisa menghadapi tantangan yang lebih besar di masa mendatang.
Sebelumnya diberitakan, Dolar AS menguat untuk sesi kedua berturut-turut pada Kamis, 29 Agustus 2024, setelah data ekonomi menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat tumbuh lebih cepat dari ekspektasi pada kuartal kedua 2024. Data tersebut memperlihatkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh pada tingkat tahunan 3,0 persen, revisi ke atas dari estimasi sebelumnya sebesar 2,8 persen.
Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan kenaikan 1,4 persen yang tercatat pada kuartal pertama. Hasil ini mengurangi kemungkinan penurunan suku bunga sebesar 50 basis poin (bp) oleh Federal Reserve bulan depan dan menambah optimisme bahwa Amerika Serikat dapat menghindari resesi atau hanya mengalami resesi ringan.
Sebagai hasil dari data ekonomi yang kuat, dolar menguat terhadap beberapa mata uang utama. Dolar mencapai level tertinggi satu minggu terhadap yen Jepang, dengan pasangan dolar/yen naik 0,1 persen ke posisi 144,77 setelah sempat mencapai 145,55. Terhadap euro, dolar juga menguat, dengan euro turun 0,4 persen menjadi USD 1,1077, mencatat penurunan mingguan terbesar sejak awal April.
Data tambahan menunjukkan bahwa klaim pengangguran mingguan turun 2.000 menjadi 231.000, mengindikasikan kondisi pasar tenaga kerja yang tetap solid. Pasar suku bunga berjangka kini memperkirakan peluang 35 persen untuk pemangkasan suku bunga sebesar 50 bp bulan depan, sedikit turun dari 37 persen pada hari sebelumnya.
Indeks Dolar (DXY), yang mengukur kinerja dolar terhadap enam mata uang utama lainnya, naik 0,3 persen menjadi 101,35, menunjukkan peningkatan mingguan terbesar sejak awal April. Kenaikan ini memperkuat posisi dolar di tengah ekspektasi bahwa suku bunga akan tetap lebih tinggi lebih lama daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Menjelang akhir bulan, dolar AS mengalami penguatan yang didorong oleh arus akhir-bulan, di mana investor cenderung menutup posisi dan kemudian membeli kembali dolar untuk menyeimbangkan portofolio mereka. Analis dari Jefferies, Brad Bechtel, menyebutkan bahwa dolar mungkin akan kembali menguat ke area 103-104 pada indeks DXY setelah mengalami oversold di bawah 101.
Kenaikan ini juga dipengaruhi oleh aksi jual dolar yang dianggap berlebihan, meskipun ada ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve.
Sepanjang Agustus, dolar telah kehilangan 2,7 persen dari nilainya, mencatat penurunan bulanan terbesar sejak November 2023. Investor saat ini menunggu rilis data indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) inti pada hari Jumat, yang merupakan indikator inflasi utama bagi Federal Reserve.
Data ini dapat memberikan petunjuk tentang besarnya penurunan suku bunga yang mungkin terjadi pada pertemuan Federal Reserve berikutnya.(*)