KABARBURSA.COM - Setelah mengalami tekanan selama tiga hari berturut-turut sejak Jumat, 30 Agustus 2024, rupiah akhirnya berhasil menguat pada penutupan perdagangan Rabu, 4 September 2024. Mengutip data dari Refinitiv, mata uang Indonesia ditutup pada posisi Rp15.470 per dolar AS, naik sebesar 0,32 persen dibandingkan dengan penutupan hari sebelumnya.
Penguatan rupiah kali ini didorong oleh perkembangan ekonomi global, terutama dari Amerika Serikat dan China. Di Amerika Serikat, data PMI Manufaktur untuk Agustus 2024 menunjukkan kontraksi untuk kelima kalinya secara berturut-turut, meskipun ada sedikit perbaikan dari bulan sebelumnya. Angka ini mengindikasikan bahwa aktivitas pabrik di AS mungkin akan tetap melemah dalam waktu dekat, terutama akibat penurunan pesanan baru dan peningkatan inventaris.
Menurut survei dari Institute for Supply Management (ISM), PMI Manufaktur AS berada di level 47,2 persen, naik 0,4 poin dari Juli, namun tetap mencerminkan kondisi kontraksi.
Selain itu, Amerika Serikat juga akan segera merilis data neraca perdagangan untuk Juli 2024. Pada Juni, defisit perdagangan menyempit menjadi USD73,1 miliar, didukung oleh peningkatan ekspor, terutama di sektor pesawat sipil, kendaraan bermotor, dan komoditas energi. Namun, kenaikan ini diimbangi oleh peningkatan impor di sektor farmasi dan teknologi. Data neraca perdagangan ini sangat penting karena bisa mempengaruhi keputusan The Federal Reserve terkait kebijakan suku bunga, terutama jika disertai dengan data tenaga kerja yang akan dirilis dalam waktu dekat.
Dari sisi China, pasar sedang menantikan rilis data PMI Jasa Umum Caixin untuk Agustus 2024, setelah pada Juli mencapai angka 52,1, menunjukkan pertumbuhan di sektor jasa. Kenaikan ini didorong oleh peningkatan pesanan baru, ekspor, dan penambahan lapangan kerja. Kondisi ekonomi China ini sangat penting karena bisa memberikan dampak signifikan pada pasar global, termasuk Indonesia.
Sementara rupiah menguat, indeks dolar AS (DXY) tercatat mengalami penurunan sebesar 0,23 persen ke level 101,59, menunjukkan pelemahan nilai dolar terhadap mata uang lainnya.
Mata Uang Asia Menguat
Di pasar Asia, mayoritas mata uang menunjukkan penguatan terhadap dolar AS pada Rabu, 4 September 2024. Ringgit Malaysia memimpin dengan penguatan terbesar, mencatat kenaikan sebesar 0,53 persen. Yen Jepang mengikuti dengan kenaikan 0,35 persen, sementara rupiah Indonesia berada di posisi ketiga dengan penguatan sebesar 0,30 persen.
Yuan China juga mengalami kenaikan sebesar 0,14 persen terhadap dolar AS, diikuti oleh baht Thailand yang naik 0,09 persen. Dolar Singapura menguat 0,08 persen, peso Filipina naik 0,06 persen, dan dolar Hong Kong mencatat kenaikan tipis sebesar 0,02 persen.
Di sisi lain, rupee India tercatat stagnan, tidak mengalami perubahan terhadap dolar AS. Namun, beberapa mata uang Asia lainnya melemah, seperti won Korea yang turun 0,14 persen dan dolar Taiwan yang mengalami penurunan terbesar sebesar 0,36 persen.
Di saat yang sama, indeks dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan dolar terhadap sekeranjang mata uang utama dunia, turun ke level 101,61, dari posisi sebelumnya di 101,82, mencerminkan pelemahan nilai dolar AS di pasar global.
Penguatan rupiah sudah terlihat di awal pembukaan sesi I. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka dengan penguatan tipis, seiring dengan penurunan indeks dolar AS. Berdasarkan data Refinitiv, rupiah diperdagangkan pada posisi Rp15.505 per dolar AS pada Rabu pagi, 4 September 2024, menguat sebesar 0,1 persen dari penutupan hari sebelumnya.
Sementara itu, indeks harga dolar AS (DXY) pagi ini berada di level 101,68, turun 0,15 persen dari penutupan sebelumnya. Penguatan tipis rupiah ini terjadi seiring dengan kontraksi yang tercatat pada data PMI manufaktur AS, yang mengindikasikan dampak dari suku bunga tinggi mulai dirasakan. Hal ini meningkatkan probabilitas pelonggaran kebijakan moneter oleh The Fed dalam waktu dekat.
Manufaktur AS mengalami kontraksi untuk kelima kalinya berturut-turut pada Agustus 2024, dengan PMI Manufaktur berada di level 47,2 persen. Meskipun ada sedikit kenaikan dari bulan sebelumnya, angka ini masih mencerminkan pelemahan aktivitas ekonomi di sektor manufaktur, yang dapat mempengaruhi kebijakan suku bunga The Fed serta permintaan global, termasuk dampaknya terhadap ekonomi Indonesia.
Selain itu, pasar juga mengamati rilis data ekonomi penting lainnya, seperti neraca perdagangan AS dan PMI Jasa Umum Caixin China, yang juga dirilis hari ini. Neraca perdagangan AS menunjukkan defisit yang menyempit pada Juli 2024, sementara PMI China mencatat pertumbuhan di sektor jasa.
Kedua data ini memberikan pandangan tentang kondisi perdagangan global yang bisa berdampak pada perekonomian Indonesia, termasuk nilai tukar rupiah, mengingat Amerika Serikat dan China adalah mitra dagang terbesar Indonesia.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.