KABARBURSA.COM - Nilai tukar Rupiah ditutup menguat terhadap dolar AS pada perdagangan hari ini. Menguatnya Rupiah perlu mendapat apresiasi di mana mata uang Asia terpantau melemah terhadap dolar AS.
Berdasarkan data, mata uang Rupiah ditutup menguat 0,33 persen atau 54 poin ke level Rp16.321 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS terpantau melemah 0,29 persen di posisi 105,56. Mayoritas mata uang Asia mengalami pelemahan terhadap dolar AS.
Misalnya, Yen Jepang turun 0,08 persen, Dolar Hongkong turun 0,05 persen, Dolar Taiwan melemah 0,31 persen, Won Korea turun 0,40 persen, Yuan China turun 0,02 persen, dan Peso Filipina turun 0,08 persen. Sebaliknya, mata uang Asia yang masih kebal terhadap dolar AS adalah Dolar Singapura yang naik 0,10 persen, Ringgit Malaysia naik 0,06 persen, dan Baht Thailand naik 0,12 persen.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, mengatakan bahwa dari sentimen global, data menunjukkan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) AS, yang merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed, tidak berubah dari bulan lalu, setelah mengalami kenaikan 0,3 persen pada April.
"Dalam 12 bulan hingga Mei 2024, indeks harga PCE meningkat 2,6 persen setelah naik 2,7 persen pada April," ujar Ibrahim dalam risetnya, Senin, 1 Juli 2024.
Menyusul data inflasi tersebut, dana berjangka Fed sedikit meningkatkan kemungkinan pelonggaran pada September menjadi sekitar 67 persen, dari sekitar 65 persen pada akhir Kamis, 27 Juni 2024, menurut perhitungan LSEG. Pasar juga memperkirakan satu atau dua kali penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin setiap tahunnya pada tahun ini.
Adapun Ketua Fed Jerome Powell, akan menyampaikan pidatonya pada Selasa, 2 Juli 2024, sedangkan risalah pertemuan The Fed Juni akan dirilis pada Rabu, 3 Juli 2024. Selain itu, data nonfarm payrolls untuk Juni akan dirilis pada Jumat, 5 Juli 2024.
Selain data ekonomi, pelaku pasar juga fokus pada politik AS, mengingat adanya persaingan antara kandidat presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, dan Presiden AS Joe Biden.
Dari sentimen domestik, Ibrahim menyatakan tingkat inflasi Indonesia pada Juni 2024 mencapai 2,51 persen secara year-on-year (YoY). Pada Juni 2024 terjadi deflasi sebesar 0,08 persen atau penurunan IHK menjadi 106,28. Deflasi ini terjadi dua bulan berturut-turut.
Sebagai pengingat, tingkat inflasi Indonesia pada Mei 2024 mencapai 2,84 persen YoY, lebih rendah dibandingkan posisi April sebesar 3 persen. Saat itu terjadi deflasi 0,03 persen pada Mei 2024 secara bulanan.
"Untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah diprediksi fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.270 hingga Rp16.350," pungkas Ibrahim.
Penguatan Rupiah di akhir perdagangan hari ini melanjutkan tren positif di awal kwartal kedua 2024. Tadi pagi, nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka menguat ke level Rp16.350 pada perdagangan Senin, 1 Juli 2024.
Rupiah dibuka menguat 0,15 persen ke Rp16.350 per dolar AS. Adapun indeks dolar AS melemah 0,23 persen ke 105,62. Bersamaan dengan Rupiah, beberapa mata uang kawasan Asia Pasifik juga dibuka menguat. Mata uang yang dibuka menguat di antaranya adalah Yen Jepang yang menguat 0,01 persen, Dolar Singapura yang naik 0,09 persen, Peso Filipina yang naik 0,13 persen, Rupee India yang naik 0,09 persen, ringgit Malaysia yang naik 0,05 persen, dan Baht Thailand yang naik 0,14 persen.
Sementara itu, mata uang Asia lainnya dibuka melemah, seperti Dolar Taiwan yang turun 0,14 persen, Won Korea Selatan yang turun 0,10 persen, dan yuan China yang turun 0,0003 poin terhadap dolar AS.
Sebelumnya, Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, memperkirakan mata uang Rupiah akan ditutup menguat pada rentang Rp16.320-Rp16.410 per dolar AS. Ibrahim mengatakan bahwa sentimen global datang dari arus masuk ke dolar, terutama didorong oleh antisipasi data indeks harga PCE, yang akan dirilis pada Jumat, 5 Juli mendatang.
Angka tersebut merupakan ukuran inflasi pilihan The Fed dan diperkirakan akan menjadi faktor dalam sikap bank sentral terhadap suku bunga. Data PCE diperkirakan menunjukkan inflasi sedikit menurun pada bulan Mei, tetapi tetap berada di atas target tahunan The Fed sebesar 2 persen.
Inflasi yang stagnan memberi The Fed lebih banyak ruang untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, sebuah skenario yang berdampak buruk bagi emas dan logam mulia. Komentar hawkish dari pejabat Fed juga memperkuat ekspektasi akan tingginya suku bunga dalam beberapa sesi terakhir.
Suku bunga yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya peluang (opportunity cost) dalam berinvestasi pada aset-aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding), dan membuat para pedagang menjadi lebih bias terhadap dolar dan utang AS.
Sebelumnya, Gubernur Fed Michelle Bowman mengatakan bahwa bank sentral AS kemungkinan akan mempertahankan suku bunga stabil untuk beberapa waktu dalam upaya membantu mengendalikan peningkatan inflasi, dan menambahkan bahwa ia tidak memperkirakan bank sentral akan melakukan hal yang sama.(*)