KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah ditutup melemah sebesar 1 poin ke level Rp16.872,5 terhadap dolar AS pada perdagangan Kamis, 24 April 2025. Pelemahan rupiah terjadi di tengah proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari target yang telah dicanangkan.
Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,7 persen pada 2025 dan 2026. Angka ini menurun dari proyeksi pada Januari 2025 yaitu sebesar 5,1 persen.
"Proyeksi ini tertuang dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2025 yang menganalisa dampak penyesuaian tarif Amerika Serikat," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 24 April 2025.
Ibrahim menyebut, angka proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak berbeda jauh dari negara Asia berkembang lainnya. Seperti Malaysia, yang diperkirakan mengalami pertumbuhan sebesar 4,1 persen pada 2025 dan 3,8 persen pada 2026. Kemudian, Vietnam diprediksi mengalami pertumbuhan sebesar 5,2 persen pada 2025 dan 4,0 persen pada 2026.
Sementara itu, ekonomi China diprediksi tumbuh sebesar 4 persen pada 2025 dan 2026. Tidak hanya Indonesia, kata Ibrahim, penerapan tarif resiprokal AS juga berdampak secara global.
"Pertumbuhan ekonomi global pada 2025 diprediksi turun menjadi 2,8 persen dari proyeksi Janurai 2025 yaitu 3,3 persen," jelasnya.
Selain peningkatan tarif, menurut Ibrahim, meningkatnya ketidakpastian kebijakan juga memiliki peran besar dalam proyeksi ekonomi. Jika terus berlanjut, dia menerangkan meningkatnya tensi perdagangan dan ketidakpastian akan memperlambat pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Adapun untuk perdagangan besok, Jumat, 25 April 2025, Ibrahim memproyeksikan mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.870 - Rp16.930.
BI Kasih Sinyal Turunkan Suku Bunga
Bank Indonesia mulai memberi sinyal kemungkinan menurunkan suku bunga acuannya dalam waktu mendatang, meski saat ini masih bertahan di angka 5,75 persen. Langkah ini diambil dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa keputusan tersebut masih dalam kajian mendalam, mengingat pentingnya menjaga nilai tukar rupiah serta mengendalikan laju inflasi.
"Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati ruang penurunan BI rate lebih lanjut dengan mempertimbangkan stabilitas nilai tukar rupiah, prospek inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan," ujar Perry dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Kamis, 24 April 2025.
Sebelumnya, dalam hasil Rapat Dewan Gubernur yang digelar pada 22–23 April 2025, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga Deposit Facility tetap di level 5 persen dan Lending Facility tetap di angka 6,5 persen.
Di tengah tekanan ekonomi global, BI pun memperkuat strategi stabilisasi nilai tukar rupiah. Salah satunya dilakukan melalui instrumen intervensi pasar, khususnya pada transaksi non-delivery forward (NDF) di pasar luar negeri atau offshore.
Perry mengungkapkan bahwa sejak 7 April 2025, intervensi secara berkala dilakukan di pasar NDF di wilayah Asia, Eropa, dan New York. Langkah ini dinilai efektif dalam menjaga kestabilan rupiah di tengah gejolak eksternal yang tinggi.
"Respon kebijakan ini memberikan hasil positif terjamin dari perkembangan rupiah yang terkendali stabil dan bahkan cenderung menguat yang tadi telah disampaikan oleh Bu Menteri Keuangan," jelas Perry.
Stabilitas Ekonomi Nasional
Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen pada bulan April 2025 mengukuhkan pendekatan hati-hati otoritas moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Langkah ini sudah sesuai dengan ekspektasi pasar dan menunjukkan bahwa BI masih fokus pada stabilitas nilai tukar rupiah, pengendalian inflasi, serta ketahanan sistem keuangan di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.
Stabilnya suku bunga ini juga diiringi dengan tidak berubahnya tingkat fasilitas deposito di 5 persen dan fasilitas pinjaman di 6,5 persen, memperlihatkan konsistensi kebijakan moneter untuk menjaga ruang stabilisasi ekonomi.
Di sisi makro, data ekonomi terbaru memberikan gambaran menarik mengenai arah kebijakan ini. Cadangan devisa Indonesia mengalami kenaikan dari USD 154,51 miliar pada Februari menjadi USD 157,09 miliar pada Maret 2025.
Peningkatan ini menjadi sinyal positif bagi pasar karena memperkuat daya tahan rupiah terhadap guncangan eksternal dan menjaga kredibilitas kebijakan moneter BI. Stabilitas suku bunga juga terlihat dari tingkat bunga antarbank yang tetap berada di 6,69 persen, mencerminkan kondisi likuiditas yang cukup terjaga di pasar uang domestik.
Namun, di tengah sikap stabil tersebut, terdapat sejumlah sinyal perlambatan aktivitas ekonomi yang perlu diwaspadai. Pertumbuhan kredit secara tahunan (year-on-year) turun dari 10,3 persen menjadi 9,16 persen pada Maret 2025, menandakan potensi perlambatan permintaan pinjaman dari sektor swasta.
Meski nominal pinjaman kepada sektor swasta naik menjadi Rp6.784 triliun, pertumbuhan yang moderat ini bisa menjadi sinyal bahwa dunia usaha masih menahan ekspansi, kemungkinan akibat suku bunga yang relatif tinggi dan ketidakpastian ekonomi global.
Data peredaran uang juga menunjukkan penurunan. Uang beredar dalam arti sempit (M1) turun dari Rp2.790 triliun menjadi Rp2.775 triliun, sementara uang primer (M0) juga mengalami sedikit penurunan.
Penurunan ini mencerminkan bahwa aktivitas konsumsi dan transaksi keuangan di masyarakat mungkin belum sepenuhnya pulih atau masih tertahan, yang pada akhirnya juga berpengaruh pada aktivitas sektor riil dan pertumbuhan ekonomi secara umum.(*)