KABARBURSA.COM – Mata uang Rupiah ditutup melemah 35 poin pada perdagangan akhir pekan, setelah sebelumnya sempat melemah 70 poin ke level Rp16.256 per dolar AS, dibandingkan penutupan sebelumnya di Rp16.172. Pelemahan ini terjadi di tengah kombinasi tekanan eksternal dan faktor domestik yang memengaruhi pergerakan nilai tukar.
Penguatan Indeks Dolar AS pada Kamis 30 Januari 2025 menjadi pemicu utama pelemahan Rupiah. Investor global merespons hasil pertemuan Federal Reserve AS yang mempertahankan suku bunga dalam kisaran 4,25 persen - 4,50 persen.
“Federal Reserve tidak mengubah suku bunga seperti yang diharapkan secara luas tetapi memberikan sedikit petunjuk tentang pengurangan lebih lanjut dalam biaya pinjaman tahun ini,” ungkap Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi di Jakarta, Kamis 30 Januari 2025.
Selain itu, kebijakan tarif yang direncanakan Presiden Donald Trump juga menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan global. Trump berencana menerapkan tarif 25 persen terhadap impor dari Kanada dan Meksiko, dengan kemungkinan kebijakan serupa terhadap barang-barang dari China.
Menurut Ibrahim, CEO Wall Street dan calon Menteri Perdagangan di bawah pemerintahan Trump Howard Lutnick,, menegaskan bahwa kebijakan tarif ini bertujuan untuk memulihkan timbal balik dalam hubungan perdagangan Amerika.
Ketidakpastian kebijakan moneter The Fed yang cenderung hawkish dan potensi perang dagang baru ini semakin memperkuat dolar AS, yang pada akhirnya memberikan tekanan pada mata uang negara berkembang, termasuk Rupiah.
Di sisi domestik, menurut Ibrahim, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah menunjukkan komitmen dalam menjaga stabilitas harga dan mengendalikan inflasi. Selama 100 hari pertama, pemerintah berfokus pada berbagai kebijakan strategis, diantaranya Reformasi subsidi energi untuk mengurangi beban fiskal, Penguatan cadangan pangan guna menstabilkan harga bahan pokok, Diversifikasi konsumsi pangan lokaluntuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan Peningkatan efisiensi distribusi pangan guna menekan inflasi.
Dari sisi kebijakan subsidi, pemerintah sedang mengevaluasi skema subsidi bahan bakar. Subsidi untuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) tetap dipertahankan, sementara subsidi bahan bakar dan listrik masih dalam proses perhitungan lebih lanjut.
“Tujuan dari reformasi ini adalah untuk mengurangi beban subsidi yang mencapai 16 persen dari total pengeluaran anggaran tahun sebelumnya, dengan rencana pengalihan subsidi menjadi bantuan tunai langsung kepada keluarga yang membutuhkan,” jelas Ibrahim.
Dengan langkah-langkah ini, pemerintah berusaha mempertahankan daya beli masyarakat, terutama di segmen berpenghasilan menengah ke bawah, agar konsumsi domestik tetap kuat sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Menurut Ibrahim, perdagangan Kamis depan diprediksi masih akan fluktuatif, dengan Rupiah bergerak di rentang Rp16.240 - Rp16.300 per dolar AS.
“Tekanan terhadap Rupiah masih besar, terutama dari kebijakan moneter AS dan ketidakpastian ekonomi global. Namun, kebijakan pemerintah yang proaktif dalam menjaga inflasi dan daya beli bisa menjadi faktor penahan pelemahan lebih lanjut,” tambahnya.
Ibrahim menyatakan bahwa pasar masih akan mencermati kebijakan The Fed serta perkembangan perdagangan global, terutama terkait kebijakan tarif AS yang dapat memperburuk sentimen pasar negara berkembang. Jika ada sinyal pelemahan dolar AS atau perubahan kebijakan The Fed menuju pelonggaran moneter, Rupiah berpotensi mengalami rebound dalam beberapa pekan mendatang.
Kurs Rupiah Melemah Terhadap Dolar
Kurs rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat pada perdagangan Kamis, 30 Januari 2025, seiring dengan optimisme terhadap perekonomian Amerika Serikat yang disampaikan oleh Federal Reserve (The Fed).
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah berada di level Rp16.242 per dolar AS pada pukul 09.26 WIB, turun 22 poin atau 0,14 persen dibandingkan posisi penutupan sebelumnya di Rp16.220 per dolar AS.
Pelemahan rupiah ini dipicu oleh pernyataan The Fed usai rapat Federal Open Market Committee (FOMC) periode Januari 2025. Bank sentral AS mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran 4,25 persen – 4,50 persen setelah sebelumnya memangkas suku bunga sebesar satu poin persentase pada akhir 2024.
Ketua The Fed Jerome Powell, menegaskan bahwa inflasi AS masih cukup tinggi, meskipun telah menunjukkan tren penurunan menuju target 2 persen. Powell juga menyoroti kondisi ketenagakerjaan yang tetap stabil dengan tingkat pengangguran yang rendah.
Dengan perekonomian AS yang masih kuat dan kebijakan moneter yang lebih longgar dibandingkan sebelumnya, The Fed menyiratkan bahwa mereka tidak akan terburu-buru untuk melakukan penyesuaian kebijakan lebih lanjut. Hal ini mengubah ekspektasi pasar terkait pemangkasan suku bunga The Fed tahun ini, yang sebelumnya diprediksi akan lebih agresif.
Di sisi lain, kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh mantan Presiden Donald Trump juga menjadi faktor yang dapat mendorong inflasi di AS. Kenaikan tarif dapat menyebabkan harga barang konsumsi impor naik, sehingga mendorong inflasi dan memperkuat posisi dolar AS di pasar global.
Dalam kondisi ini, analis pasar keuangan Ariston Tjendra memperkirakan dolar AS berpotensi menguat lebih lanjut terhadap rupiah. Ia memperkirakan nilai tukar rupiah berpeluang bergerak di kisaran Rp16.250–Rp16.280 per dolar AS, dengan level support di Rp16.200 per dolar AS.
Pelemahan rupiah ini mencerminkan ketidakpastian di pasar keuangan global, di mana para pelaku pasar terus mencermati kebijakan moneter AS dan dampaknya terhadap arus modal di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ke depan, pergerakan rupiah akan sangat bergantung pada kebijakan The Fed serta perkembangan data ekonomi global, terutama terkait inflasi dan suku bunga di Amerika Serikat.(*)