KABARBURSA.COM - Nilai tukar Rupiah semakin terpuruk berada di level Rp16.371 per dolar AS pada Rabu, 3 Juli 2024. Mata uang Garuda melemah 75 poin atau 0,46 persen dari perdagangan sebelumnya. Kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), menempatkan rupiah di posisi Rp16.384 per dolar AS.
Tidak hanya Rupiah, mata uang di kawasan Asia juga kompak berada di zona merah. Yen Jepang melemah 0,09 persen, Baht Thailand melemah 0,30 persen, Yuan China melemah 0,04 persen, Peso Filipina melemah 0,27 persen, dan won Korea Selatan melemah 0,41 persen.
Anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supratikno, menyikapi gejolak ini dengan pandangan optimis. Ia menilai, pelemahan rupiah meskipun memberatkan, juga membuka peluang-peluang baru. Sektor-sektor yang mengandalkan substitusi impor dapat memanfaatkan situasi ini untuk memperbesar ekspansi usaha.
"Untuk para pelaku dunia usaha, saya kira harus mulai membiasakan diri dengan gejolak rupiah yang terjadi di Indonesia. Pelemahan rupiah ini selain tentu memberatkan, tetapi juga melahirkan peluang-peluang baru," ujar Hendrawan kepada KabarBursa, Rabu, 3 Juli 2024.
Namun, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini juga menekankan pentingnya peran BI dalam menjaga stabilitas rupiah. Ia berharap agar volatilitas nilai tukar masih bisa dikelola dengan baik. Menurutnya, jika fluktuasi nilai tukar tidak terkendali, hal itu akan mempersulit kalkulasi bisnis dan berdampak negatif pada perekonomian.
"Kita berharap agar Bank Indonesia tetap bisa menjaga rupiah, volatilitasnya, naik turunnya masih manageable. Sebab kalau nanti naik turunnya tidak manageable, ini mempersulit kalkulasi bisnis," jelasnya.
Hendrawan juga mengingatkan para pelaku usaha agar selalu siap dengan instrumen-instrumen mitigasi risiko. Dia yakin para pelaku usaha sudah mempersiapkan berbagai langkah untuk menghadapi ketidakpastian nilai tukar ini.
Pergerakan nilai tukar rupiah memang selalu menjadi perhatian utama bagi dunia usaha dan pemerintah. Ketidakpastian nilai tukar ini menuntut pelaku usaha untuk lebih waspada dan siap menghadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di masa mendatang.
Penyebab Rupiah Anjlok
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengungkapkan alasan di balik anjloknya nilai tukar rupiah yang sudah melebihi angka Rp16 ribu per dolar AS. Dalam konferensi pers APBN KiTA pada Kamis, 27 Juni 2024, Sri Mulyani menjelaskan sentimen dari pasar keuangan global menjadi faktor utama.
Sri Mulyani menyebut suku bunga The Federal Reserve (The Fed) yang dipastikan tidak akan turun sebanyak empat hingga lima kali seperti yang diharapkan pasar pada tahun ini, menjadi penyebab utama.
“FFR masih berada pada posisi stabil di 5,5 persen dan tidak ada tanda-tanda penurunan segera. Bahkan, penurunan yang paling optimis hanya satu kali tahun ini. Hal ini menyebabkan ekspektasi pasar yang kecewa dan mengakibatkan dolar AS menguat, sehingga rupiah mengalami depresiasi,” jelasnya.
Pada Mei 2024, Rupiah sudah mencapai level Rp16.431 per dolar AS, mencatatkan depresiasi sebesar 6,58 persen secara year to date (ytd). Meskipun demikian, Sri Mulyani menegaskan bahwa rupiah masih lebih baik dibandingkan dengan mata uang negara berkembang lainnya.
“Kita lihat seperti Brazil, depresiasinya jauh lebih dalam. Atau Jepang yang mengalami depresiasi signifikan dan sudah mencapai level yang comparable dengan 1986,” katanya.
Pengusaha Desak BI Pulihkan Rupiah
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman, juga pernah mengeluhkan beratnya tekanan pelemahan rupiah ini. Dia BI segera mengambil langkah intervensi guna memulihkan nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS.
Pelemahan nilai tukar Rupiah berdampak langsung pada sektor makanan dan minuman, terutama pada harga pokok produksi dan biaya logistik. Menurutnya, industri makanan dan minuman sangat bergantung pada bahan baku impor, sehingga peningkatan nilai tukar memberikan efek negatif yang signifikan.
"Meskipun kita juga melakukan ekspor, total ekspor industri makanan dan minuman mencapai sekitar 11 miliar dolar AS, namun impor bahan baku kita cukup besar. Ini yang sangat memberatkan," kata Adhi, dikutip dari Antara.
Selain masalah nilai tukar, Adhi juga menyoroti potensi eskalasi konflik Iran-Israel yang turut memberikan dampak negatif bagi industri makanan dan minuman di Indonesia. Ia mengutip laporan Food and Agriculture Organization yang menunjukkan peningkatan harga pangan dunia sebesar 1 persen sebelum serangan Iran ke Israel, terutama untuk biji-bijian, produk susu, dan daging.(*)