KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah (IDR) kembali memperlihatkan daya tahannya dengan mencatat penguatan tipis terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Pada perdagangan Selasa sore, 30 September 2025, rupiah ditutup naik 15 poin di posisi Rp16.665 per USD. Sebelumnya, mata uang Garuda sempat tergelincir 20 poin dari level penutupan sehari sebelumnya di Rp16.680.
Meski ada sinyal positif, pergerakan esok hari diperkirakan tetap berfluktuasi. Menurut pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, rupiah kemungkinan bergerak di rentang Rp16.660 hingga Rp16.710.
Tekanan dari Revisi ADB
Ibrahim menilai penguatan hari ini turut ditopang sentimen laporan Asian Development Bank (ADB) yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 menjadi 4,9 persen. Penyesuaian ini didorong ketidakpastian perdagangan global, khususnya akibat kenaikan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat.
ADB juga merevisi ekspektasi pertumbuhan Indonesia 2026 menjadi hanya 5 persen dari sebelumnya 5,1 persen. Tak hanya itu, proyeksi inflasi 2025 ikut dipangkas menjadi 1,7 persen.
Bayangan Shutdown Pemerintah AS
Meski demikian, Ibrahim mengingatkan bahwa penguatan rupiah berpotensi singkat. Ancaman penutupan pemerintah (government shutdown) di Amerika Serikat menjadi risiko besar. Kongres memiliki tenggat hingga 30 September tengah malam untuk meloloskan RUU anggaran, jika tidak, ratusan lembaga federal harus menghentikan aktivitasnya.
Shutdown dikhawatirkan menghambat roda ekonomi AS, termasuk menunda rilis data ketenagakerjaan nonfarm payrolls (NFP) September yang seharusnya dipublikasikan Jumat mendatang. Ibrahim menilai kondisi ini menekan dolar, namun volatilitas yang muncul dapat membuat rupiah rentan koreksi.
Gedung Putih bahkan memperingatkan bahwa ribuan pegawai federal terancam dirumahkan jika penutupan benar-benar terjadi. Situasi tersebut memperburuk prospek pasar tenaga kerja AS dan menambah gejolak global.
Tekanan dari Kebijakan Tarif Baru
Selain ancaman shutdown, Presiden AS Donald Trump juga memperkenalkan kebijakan tarif baru. Mulai 14 Oktober, impor kayu dan papan kayu dikenakan bea masuk 10 persen, sementara furnitur impor akan dibebani tarif 25 persen. Kebijakan ini dipandang berpotensi memperkeras tensi perdagangan global.
Dengan serangkaian tekanan eksternal tersebut, penguatan rupiah masih dibayangi risiko koreksi. Pasar diperkirakan tetap berhati-hati, menanti arah jelas dari perkembangan politik dan kebijakan ekonomi Amerika Serikat.(*)