KABARBURSA.COM - Kamis, 3 Oktober 2024, nilai tukar rupiah kembali mengalami pelemahan signifikan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mendekati level Rp15.400 per dolar AS. Data dari Refinitiv menunjukkan bahwa hingga pukul 11.00 WIB, rupiah tercatat melemah 0,82 persen ke posisi Rp15.385. Jika tren ini berlanjut hingga akhir sesi, maka ini akan menjadi pelemahan yang berlangsung selama empat hari berturut-turut, dengan intensitas yang paling parah dalam pekan ini.
Penyebab Pelemahan
Pelemahan rupiah ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
1. Kekuatan Dolar AS
Indeks dolar AS (DXY) naik 0,09 persen ke posisi 101,77 pada waktu yang sama. Dalam sepekan, dolar AS telah menguat hampir 1,5 persen. Kenaikan ini menunjukkan adanya peningkatan permintaan untuk aset dalam mata uang dolar, yang menjadi salah satu faktor utama melemahnya rupiah.
2. Ketegangan Geopolitik di Timur Tengah
Ketidakpastian yang meningkat akibat konflik bersenjata antara Iran dan Israel turut berkontribusi pada melemahnya rupiah. Serangan rudal besar-besaran Iran ke Israel pada Selasa, 1 Oktober 2024, menambah sentimen negatif di pasar global, sehingga investor lebih memilih untuk beralih ke aset safe haven, seperti emas dan dolar, daripada berinvestasi dalam pasar berisiko seperti saham atau mata uang negara berkembang.
3. Data Tenaga Kerja AS yang Menjulang
Pelaku pasar saat ini juga menanti data penting mengenai pasar tenaga kerja di AS. Klaim pengangguran diperkirakan akan meningkat menjadi 220.000, dan data on-Farm Payrolls yang akan dirilis pada Jumat, 4 Oktober 2024, diperkirakan menunjukkan perlambatan di sektor pekerjaan. Hal ini dapat mempengaruhi keputusan Federal Reserve terkait kebijakan moneternya di masa depan.
Dampak Terhadap Perekonomian Indonesia
Pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini membawa dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia, di antaranya inflasi yang meningkat. Dengan menguatnya dolar AS, biaya impor barang dan jasa yang dibayar dalam dolar menjadi lebih mahal. Hal ini dapat berkontribusi pada peningkatan inflasi di Indonesia, yang berpotensi menggerogoti daya beli masyarakat.
Sementara itu, banyak perusahaan di Indonesia yang bergantung pada bahan baku impor. Dengan melemahnya rupiah, biaya produksi akan meningkat, yang dapat berdampak pada profitabilitas dan kelangsungan usaha.
Ketidakpastian geopolitik dan pelemahan mata uang dapat memengaruhi kepercayaan investor domestik dan asing terhadap pasar Indonesia. Hal ini bisa mengurangi investasi langsung asing (FDI) dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Pelemahan rupiah juga dapat mendorong Bank Indonesia untuk mempertimbangkan langkah-langkah kebijakan moneter yang lebih ketat guna menstabilkan nilai tukar, yang bisa berujung pada peningkatan suku bunga.
Melemah Sejak Pembukaan
Rupiah kemarin bergerak fluktuatif namun berakhir melemah di kisaran Rp15.130 hingga Rp15.240. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi.
“Mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp15.130 – Rp15.240,” kata Ibrahim dalam keterangan tertulis yang diterima Kabarbursa.com, Senin, 1 Oktober 2024.
Menurut Ibrahim, pelemahan ini dipicu oleh faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi pergerakan mata uang domestik.
Dari faktor eksternal, penguatan indeks dolar AS turut membebani pergerakan rupiah. Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, dalam pidatonya di Tennessee, menegaskan bahwa pemotongan suku bunga lebih besar tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.
Powell menyatakan bank sentral AS kemungkinan hanya akan memangkas suku bunga seperempat poin persentase dalam kebijakan ke depannya.
Pasar keuangan pun bereaksi dengan mengurangi ekspektasi pemangkasan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 35,4 persen, dari sebelumnya 53,3 persen sehari sebelum pidato tersebut, menurut data FedWatch Tool dari CME Group.
Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12 persen pada September 2024 secara bulanan, yang menambah catatan deflasi selama lima bulan berturut-turut. Tingkat inflasi tahunan Indonesia berada di level 1,84 persen, lebih rendah dari perkiraan ekonom yang sebelumnya memproyeksikan inflasi di angka 2 persen.
Kelompok pengeluaran yang menyumbang deflasi terbesar adalah makanan, minuman, dan tembakau, dengan penurunan sebesar 0,59 persen. Sementara itu, komoditas yang menyumbang inflasi meliputi ikan segar dan kopi bubuk, serta biaya kuliah akademi perguruan tinggi dan sigaret kretek mesin.
Meski inflasi mereda, tekanan terhadap rupiah masih besar akibat faktor global. Pada perdagangan sore kemarin, rupiah ditutup melemah 66 poin ke level Rp15.206 dari penutupan sebelumnya di Rp15.140.
“Faktor global, terutama dari Amerika Serikat dan ketegangan geopolitik, terus membayangi pergerakan rupiah,” ujar Ibrahim.(*)