KABARBURSA.COM – Setelah sempat menggeliat dengan reli singkat di awal pekan, saham PT Dafam Property Indonesia Tbk (DFAM) kini kembali terjebak di kisaran harga 80-an. Pergerakan awal yang dianggap merupakan hasil akumulasi pelaku besar, ternyata mulai kehilangan tenaga. Sementara, data broker dan volume harian justru mengindikasikan kegagalan mempertahankan momentum beli.
Penurunan harga DFAM ke level Rp86 pada Kamis, 13 November 2025, menjadi sinyal bahwa fase akumulasi yang diyakini sebagian pelaku pasar, tidak berlanjut seperti yang diharapkan. Harga turun 2,27 persen dari penutupan sebelumnya di Rp88, dengan nilai transaksi hanya Rp566,5 juta dan volume tipis 65 ribu lot.
Likuiditas yang anjlok tajam dari hampir 1 juta lot pada hari sebelumnya ini menandakan bahwa pasar mulai kehilangan dorongan beli.
Pola ini berbeda jauh dengan pergerakan agresif yang terjadi pada 6–10 November, saat harga sempat melonjak 24,7 persen hingga menyentuh Rp105 per saham. Namun, reli tajam itu segera berbalik arah menjadi pelemahan berturut-turut.
Jika sebelumnya euforia terlihat lewat kenaikan besar diiringi volume tinggi, kini pasar bergerak datar dengan tekanan jual di area psikologis 90–95.
Data broker summary juga menegaskan bahwa tidak ada tanda-tanda akumulasi kuat di area 82–83 seperti yang banyak dispekulasikan. Pembelian justru didominasi oleh broker berprofil ritel dan lokal menengah seperti AZ, KK, dan CC, yang berkutat di harga rata-rata 86–91.
Sementara, broker yang sering diasosiasikan dengan investor ritel massal seperti Ajaib (YB), hanya mencatat transaksi kecil di harga 89. Dengan kata lain, arus beli ritel kecil tak cukup untuk menahan tekanan jual dari pelaku besar yang tampak mulai melepas posisi di 90-an.
Dari sisi order book, distribusi terlihat begitu jelas. Penawaran jual menumpuk di area 89–95 dengan total volume mencapai lebih dari 40 ribu lot. Sementara sisi bid hanya tebal di rentang 84–86.
Struktur ini menggambarkan pasar yang berat di atas, di mana setiap percobaan menembus 89 segera berhadapan dengan dinding jual besar. Sedangkan secara teknikal, DFAM berada di fase konsolidasi menurun dengan kecenderungan melemah menuju area 82–84, sebelum ada tanda pembalikan yang meyakinkan.
Jika benar ada akumulasi di kisaran bawah, seharusnya bid tetap aktif dan volume bertambah saat harga turun. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, volume menipis, transaksi tersebar, dan bid pressure melemah. Ini menandakan bahwa momentum pembelian telah habis dan pelaku besar memilih menunggu di bawah.
Target harga 92 ke atas kini tampak lebih sebagai area take profit ketimbang sinyal breakout baru. Tanpa dorongan volume minimal 300–400 ribu lot per hari dan tanpa aksi serap nyata di atas 90, peluang DFAM menembus resistensi tersebut masih tipis.
Dengan struktur perdagangan seperti ini, DFAM tampak kembali pada siklus klasik saham lapis tiga, yaitu naik cepat, turun cepat, lalu stagnan di tengah. Akumulasi yang diyakini sempat terjadi kini terlihat gagal menopang harga.
Dan seperti biasa, investor ritel yang masuk belakangan justru harus menghadapi risiko terjebak di fase distribusi.(*)