KABARBURSA.COM – Setelah sempat melesat karena kesepakatan gencatan dagang AS–China, pasar saham global kembali melambat. Investor mulai menyadari bahwa jeda 90 hari dalam perang tarif ini belum menjamin akhir dari ketegangan yang sudah memukul rantai pasok global selama bertahun-tahun.
Bursa saham di Asia dan Eropa mencatat penguatan ringan pada Selasa, 13 Mei 2025, namun tidak sekuat reli sebelumnya. Dilansir dari AP di Jakarta, Selasa, 13 Mei 2025, indeks Nikkei di Jepang naik 1,4 persen ke 38.183,26—menguat karena pelemahan yen yang menguntungkan eksportir seperti Toyota Motor Corp (+3,5 persen) dan Suzuki (+2,4 persen). Nissan juga naik 3 persen meski baru saja mengumumkan pemangkasan 20.000 pekerja setelah mencatat rugi 670,9 miliar yen (sekitar USD4,5 miliar atau Rp74,25 triliun, kurs Rp16.500).
Sementara itu, indeks Hang Seng di Hong Kong terkoreksi 1,9 persen ke level 23.108,27 akibat aksi jual saham teknologi. Di China, indeks Shanghai Composite menguat tipis 0,2 persen ke 3.374,87. Taiwan Taiex melesat 1 persen, sedangkan KOSPI Korea Selatan cenderung stagnan di 2.608,42.
Kabar dari Geneva pekan lalu memang sempat memicu euforia. Pemerintah AS dan China menyepakati penurunan tarif untuk 90 hari—dari 145 persen menjadi 30 persen untuk produk China, dan dari 125 persen menjadi 10 persen untuk produk AS. Tapi seperti biasa, pasar modal global cepat berubah arah ketika ekspektasi tidak lagi segemilang headline.
“Jangan salah, ini diplomasi yang sangat dipoles. Tapi pesan visualnya kuat, dan dampaknya nyata. Ini menandakan bahwa bahkan pemerintahan ini mulai menyadari beban ekonomi dari perang tarif yang tak kunjung usai,” ujar Stephen Innes, analis senior dari SPI Asset Management, dalam catatannya.
Pasar saham Eropa ikut mencerminkan kehati-hatian. Indeks DAX Jerman naik tipis 0,1 persen ke 23.588,06, CAC 40 Paris menguat 0,2 persen ke 7.863,60, dan FTSE 100 Inggris hanya naik kurang dari 0,1 persen ke 8.609,27.
Di Australia, S&P/ASX 200 menguat 0,4 persen ke 8.276,90. Tapi sebaliknya, indeks Sensex India turun 1,5 persen di tengah tekanan eksternal dan volatilitas regional.
Saham-saham AS juga mulai menyesuaikan diri. Kontrak berjangka indeks S&P 500 turun 0,4 persen dan Dow Jones melemah 0,2 persen, membalikkan kenaikan tajam hari sebelumnya. Analis mencermati bahwa meskipun ada sinyal positif, kebijakan Presiden Donald Trump tetap berisiko berubah sewaktu-waktu.
Kritik terhadap pendekatan unilateral AS pun terus bergulir. Dalam pidatonya kepada pejabat China dan Amerika Latin, Presiden Xi Jinping kembali menyuarakan bahwa “tidak ada pemenang dalam perang dagang” dan bahwa “intimidasi atau hegemoni hanya akan mengarah pada isolasi diri.”
Dengan kata lain, gencatan tarif 90 hari ini hanyalah jeda. Masih banyak negara yang belum mendapatkan kesepakatan serupa, dan ketidakpastian tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari iklim investasi global.
Wall Street Rebound
Pasar saham Amerika sempat menguat tajam pada Senin, 12 Mei 2025, setelah kesepakatan pengurangan tarif antara dua raksasa ekonomi dunia. Amerika Serikat dan China. Indeks S&P 500 naik 3,3 persen—hanya berjarak 5 persen dari rekor tertingginya pada Februari lalu. Padahal sebelumnya, indeks yang jadi acuan utama banyak portofolio 401(k) itu sempat merosot hampir 20 persen sebelum akhirnya rebound pada April karena spekulasi Presiden Donald Trump bakal melunak dalam perang tarif.
Kebangkitan S&P 500 ini bahkan menembus posisi yang lebih tinggi dibandingkan 2 April—tanggal yang disebut Trump sebagai “Hari Pembebasan” ketika ia mengumumkan tarif global yang menggemparkan pasar dan menimbulkan kekhawatiran resesi buatan sendiri.
Tak hanya S&P 500, indeks Dow Jones Industrial Average juga melompat 2,8 persen, sedangkan Nasdaq composite melonjak 4,3 persen—keduanya mencerminkan respons positif investor terhadap sinyal relaksasi dalam kebijakan perdagangan AS.
Namun, optimisme itu tak sepenuhnya bertahan. Pada perdagangan Selasa pagi waktu setempat, harga minyak mulai tergelincir. Harga minyak mentah acuan AS (WTI) turun 15 sen ke USD61,80 per barel (sekitar Rp1,02 juta), sementara Brent crude—acuan global—terkoreksi 18 sen ke USD64,78 per barel (sekitar Rp1,07 juta).
Sementara itu, dolar AS yang sempat menguat terhadap euro, yen, dan franc Swiss pada awal pekan, mulai terkoreksi terhadap yen. Kurs USD/JPY turun ke 147,93 dari sebelumnya 148,47. Namun terhadap euro, dolar justru naik ke USD1,1104 dari USD1,1088—mengindikasikan pergeseran sentimen pasar mata uang.
Pasar kini menanti rilis data ekonomi lanjutan dari AS, termasuk laporan inflasi dan survei keyakinan konsumen. Dua indikator ini bisa memberi petunjuk seberapa besar kerusakan ekonomi yang disebabkan oleh ketidakpastian tarif dagang dan apakah rebound pasar saham bisa berlanjut atau justru kembali diuji.(*)