KABARBURSA.COM - Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen belum cukup mendorong rebound saham sektor properti yang dinilai undervalued seperti CTRA, SMRA, dan DMAS.
Saham properti, kata analis pasar modal sekaligus founder Stocknow.id Hendra Wardana, belum memberikan respons positif terhadap penurunan BI Rate. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
"Faktor pertama, daya beli masyarakat kelas menengah masih belum sepenuhnya pulih pascapandemi, ditambah tekanan inflasi dan biaya hidup yang tinggi membuat masyarakat lebih konservatif dalam melakukan pembelian besar seperti properti," ujar dia dalam risetnya kepada Kabarbursa.com, Senin, 26 Mei 2025.
Yang kedua, lanjut Hendra, transmisi penurunan BI Rate ke sektor riil, terutama ke bunga kredit pemilikan rumah (KPR), masih lambat karena perbankan tetap berhati-hati menyalurkan kredit properti.
Kemudian yang ketiga, lanjut ia, tidak adanya stimulus fiskal baru dari pemerintah sejak berakhirnya insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) membuat katalis positif sektor ini sangat terbatas.
"Tak hanya itu, kekhawatiran akan oversupply hunian vertikal dan ruang komersial di kawasan Jabodetabek juga membebani prospek pertumbuhan pendapatan berulang (recurring income) pengembang," ungkapnya.
Namun demikian, Hendra melihat peluang rebound sektor properti masih terbuka, terutama jika beberapa syarat terpenuhi. Pertama, transmisi penurunan BI Rate ke bunga KPR dan kredit konstruksi harus berjalan lebih efektif agar bisa mendorong daya beli masyarakat.
"Kedua, adanya sinyal kebijakan pro-perumahan dari pemerintahan Prabowo, seperti insentif rumah pertama, subsidi bunga, atau tax holiday untuk pengembang kawasan industri, bisa menjadi game changer bagi sektor ini," terangnya.
Ketiga, tambah Hendra, pemulihan sentimen pasar terhadap sektor-sektor pro-siklus seperti properti seiring stabilnya ekonomi dan membaiknya outlook konsumsi domestik juga akan mendorong aliran dana kembali masuk ke saham properti.
Meski begitu, ia menyebut penurunan harga saham sejumlah emiten properti tidak sepenuhnya selaras dengan kinerja fundamentalnya.
Menurutnya, emiten besar seperti PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), dan PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) masih membukukan kinerja operasional yang relatif stabil.
"CTRA misalnya, masih mencatatkan marketing sales yang tumbuh dengan portofolio proyek yang tersebar secara nasional, termasuk kawasan skala kota seperti CitraLand dan CitraRaya yang terus berkembang," katanya.
Selain itu, ia menilai SMRA juga menunjukkan daya tahan kuat, terutama lewat township Serpong dan Bekasi yang menyumbang kontribusi besar terhadap pendapatan dan laba bersih perseroan.
"Sementara itu, DMAS unggul karena fokus pada penjualan lahan industri yang margin-nya tinggi, serta eksposur pada sektor data center dan otomotif yang tengah tumbuh di kawasan GIIC (Greenland International Industrial Center)," jelasnya.
Valuasi Saham Sektor Properti Kuartal I 2025
Berdasarkan data valuasi per kuartal I 2025, saham properti seperti CTRA, SMRA, dan DMAS diperdagangkan jauh di bawah rata-rata industri. PER mereka berada di bawah 8x dan PBV di bawah 1x, level yang mengindikasikan potensi rebound untuk saham properti undervalued 2025.
Dari sisi valuasi, saham-saham tersebut terlihat berada dalam posisi yang cukup atraktif. Mengacu pada data annualized 2025, Hendra menjelaskan PER CTRA hanya sebesar 6,9x, SMRA di 7,2x, dan DMAS hanya 4,8x—seluruhnya jauh di bawah rata-rata industri yang berada di 15,8x.
"Sementara dari sisi Price to Book Value (PBV) per kuartal I 2025, CTRA tercatat di 0,81x, SMRA di 0,61x, dan DMAS di 0,91x; seluruhnya juga masih di bawah rata-rata industri di 0,94x," tuturnya.
Dengan catatan tersebut, Hendra bilang saham-saham ini diperdagangkan pada diskon signifikan terhadap nilai bukunya, padahal secara fundamental tetap mencetak laba, arus kas yang sehat, dan memiliki cadangan lahan strategis.
Bahkan, kata dia, bila dibandingkan dengan saham properti lain seperti Pakuwon Jati (PWON) yang sudah diperdagangkan pada PER 16x dan PBV 0,92x, valuasi CTRA dan SMRA terlihat jauh lebih menarik.
"PWON sendiri, meskipun punya pendapatan berulang dari mal dan hotel, valuasinya sudah mencerminkan harga wajar sehingga ruang kenaikannya lebih terbatas," pungkasnya.
Dengan mempertimbangkan valuasi murah, posisi kas yang kuat, serta potensi stimulus dari pemerintahan baru, saham properti bisa menjadi pilihan menarik bagi investor yang mencari rekomendasi saham properti terbaik 2025 untuk investasi jangka menengah hingga panjang. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.