KABARBURSA.COM - Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun terus meluncur turun, bahkan sempat menyentuh titik 6,10 persen pada perdagangan kemarin.
Pergerakan itu terjadi di tengah meningkatnya premi risiko kredit (Credit Default Swap/CDS) Indonesia tenor 5 tahun—indikasi nyata bahwa kecemasan investor atas ketidakpastian global kian membubung.
Chief Economist & Head of Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, menegaskan bahwa meski tekanan eksternal terus bergulir, ketahanan pasar keuangan domestik tetap terjaga.
“IHSG masih solid, hanya terkoreksi tipis 0,4 persen dan ditutup di 8.227,2. Padahal, mayoritas indeks global terpukul mengikuti pelemahan tajam bursa Amerika Serikat pada akhir pekan lalu,” ujar Rully dalam riset hariannya, Selasa 14 Oktober 2025.
Rupiah juga memperlihatkan daya tahan kuat di tengah laju penguatan dolar AS yang berlanjut sepanjang pekan. Indeks dolar menanjak hingga mencapai 99,1. Di antara mata uang utama dunia, yen Jepang menjadi yang paling tertekan, melemah 3,2 persen sejak awal pekan, disusul euro 1,3 persen dan pound sterling 1,1 persen.
Dalam lanskap kawasan, rupiah bahkan menonjol di antara mata uang ASEAN lain. Sepanjang periode yang sama, depresiasinya hanya 0,1 persen - jauh lebih ringan dibandingkan baht Thailand yang melemah 1 persen, ringgit Malaysia 0,4 persen, dan peso Filipina 0,6 persen.
Namun, di balik stabilitas itu, bayang-bayang risiko belum sirna. Lonjakan ketidakpastian global mendorong investor beralih ke aset lindung nilai seperti emas, yang kini bertengger di atas USD4.000 per troy ons. Arus menuju safe haven ini berpotensi menekan nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Dalam pandangan kami, tekanan terhadap rupiah masih terbuka dalam jangka pendek hingga menengah. Bank Indonesia kemungkinan perlu kembali turun tangan menjaga kestabilan nilai tukar melalui intervensi,” pungkas Rully.(*)