KABARBURSA.COM - Harga batu bara di China tengah menghadapi tekanan besar akibat kelebihan pasokan yang terus membayangi pasar. Stok batu bara di pusat transportasi utama negara tersebut telah mendekati level tertinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Situasi ini berpotensi mengakibatkan harga semakin terjerembap setelah mencatat penurunan lebih dari 20 persen dalam setahun terakhir.
Kondisi ini semakin diperparah oleh rendahnya konsumsi, terutama setelah lonjakan pembelian yang terjadi pada musim gugur. Impor besar-besaran dari China dan negara Asia lainnya telah berkontribusi pada peningkatan stok di seluruh kawasan, menyebabkan tekanan besar bagi para penambang yang terpaksa memangkas harga demi menarik minat pembeli. Penurunan harga ini menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan industri batu bara di China.
Produksi listrik dari pembangkit berbahan bakar fosil juga mengalami tren penurunan. Dalam periode Januari dan Februari tahun ini, produksi listrik berbasis fosil mencatat penurunan ketiga dalam musim dingin selama 35 tahun terakhir. Hal ini turut menekan permintaan batu bara domestik, memperburuk kondisi pasar yang sudah mengalami kelebihan pasokan.
Para analis memperkirakan harga batu bara spot masih belum mencapai titik terendahnya. Laporan terbaru dari Morgan Stanley menyebutkan bahwa sebagian besar perusahaan tambang di China akan mengalami kerugian jika harga batu bara turun di bawah 400 yuan per ton, atau sekitar 40 persen lebih rendah dari level saat ini.
Bloomberg Intelligence juga menegaskan bahwa kondisi ini dapat memicu dampak finansial yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan di sektor ini.
Perusahaan tambang besar milik negara seperti China Shenhua Energy Co telah melaporkan penurunan laba akibat kondisi pasar yang sulit. Sebagai respons, perusahaan tersebut mengurangi anggaran divisi batu baranya dan menghentikan impor dari luar negeri guna mengatasi tingginya persediaan.
Sementara itu, perusahaan tambang skala kecil menghadapi tekanan yang lebih besar, dengan beberapa perusahaan di wilayah produksi utama seperti Shanxi terpaksa memotong gaji karyawan, merampingkan operasi, atau bahkan menutup kegiatan tambang mereka.
Dengan tidak adanya faktor pemulihan yang jelas dalam waktu dekat, para pelaku industri harus menghadapi kenyataan bahwa tekanan harga kemungkinan masih akan berlanjut dalam beberapa bulan mendatang.
Ketidakpastian ini membuat industri batu bara China berada di persimpangan jalan, dengan tantangan besar yang harus dihadapi untuk menjaga keberlanjutan sektor energi di tengah dinamika pasar global yang terus berubah.
BUMI dan ADRO Menghijau
Melimpahnya stok batu bara China ternyata membawa dampak positif bagi pergerakan saham sejumlah emiten batu bara Tanah Air. Contohnya PT Bumi Resources Tbk atau BUMI dan PT Alamtri Resources Indonesia Tbk atau ADRO.
Di akhir perdagangan Bursa Saham Indonesia, 27 Maret 2025, saham BUMI menunjukkan pergerakan yang cukup dinamis. Harga sahamnya ditutup di level Rp93, mencatat kenaikan sebesar Rp3 atau sekitar 3,33 persen dibandingkan hari sebelumnya. Sepanjang perdagangan, saham ini dibuka di harga Rp91 dan sempat menyentuh level tertinggi di Rp96 serta level terendah di Rp90.
Kapitalisasi pasar BUMI saat ini mencapai Rp34,53 triliun, menjadikannya salah satu pemain utama di sektor pertambangan. Dengan rasio price-to-earnings (P/E) sebesar 28,10, saham ini mencerminkan valuasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan rata-rata industri.
Meskipun demikian, BUMI belum menawarkan dividen kepada investornya, yang menunjukkan fokus perusahaan pada ekspansi dan penguatan kinerja keuangan.
Pergerakan harga saham BUMI juga masih dipengaruhi oleh volatilitas yang tinggi dalam satu tahun terakhir. Saham ini telah mencatat level tertinggi di Rp176 dan menyentuh titik terendah di Rp69. Tren ini mengindikasikan bahwa investor masih mencari keseimbangan antara ekspektasi pertumbuhan perusahaan dan dinamika pasar komoditas global, terutama sektor batu bara yang menjadi bisnis utama BUMI.
Di tengah fluktuasi harga batu bara global dan kebijakan pemerintah terkait energi, prospek saham BUMI masih bergantung pada beberapa faktor utama. Permintaan batu bara, regulasi lingkungan, serta strategi bisnis perusahaan dalam menghadapi tantangan industri akan menjadi faktor kunci yang menentukan arah pergerakan saham ini ke depan.
Pun dengan saham ADRO, mengalami kenaikan tipis dalam perdagangan terbaru, ditutup di level Rp1.845 setelah menguat sebesar Rp5 atau 0,27 persen.
Saham ini dibuka di harga Rp1.840 dan sempat menyentuh level tertinggi di Rp1.845 serta level terendah di Rp1.805 sepanjang sesi perdagangan. Dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp56,75 triliun, ADRO tetap menjadi salah satu pemain utama di industri pertambangan batu bara Indonesia.
Rasio price-to-earnings (P/E) ADRO berada di level 7,43, yang mencerminkan valuasi yang relatif menarik dibandingkan dengan rata-rata industri. Salah satu aspek yang menarik perhatian investor adalah tingkat dividend yield yang mencapai 90,75 persen, menjadikannya sebagai salah satu saham dengan imbal hasil dividen tertinggi di pasar.
Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kebijakan distribusi keuntungan yang sangat menguntungkan bagi pemegang saham.
Dalam satu tahun terakhir, saham ADRO telah mengalami volatilitas yang signifikan, dengan level tertinggi di Rp4.300 dan level terendah di Rp1.680. Fluktuasi ini mencerminkan dinamika harga batu bara global, kebijakan energi pemerintah, serta sentimen pasar yang terus berubah. Meskipun mengalami penurunan dari level tertinggi, saham ini tetap menunjukkan daya tarik bagi investor yang mencari stabilitas dengan potensi dividen yang tinggi.
Prospek saham ADRO ke depan masih bergantung pada beberapa faktor utama, termasuk permintaan batu bara di pasar global, kebijakan lingkungan yang semakin ketat, serta strategi ekspansi perusahaan. Dengan fundamental yang masih solid dan potensi dividen yang menarik, saham ADRO tetap menjadi pilihan bagi investor yang mencari kombinasi antara pertumbuhan dan pendapatan pasif melalui dividen yang besar.
Namun, volatilitas harga komoditas dan dinamika pasar global tetap menjadi faktor yang harus diperhatikan dalam pengambilan keputusan investasi.
Target Produksi Batu Bara Indonesia
Sementara itu, dari dalam negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan target produksi batu bara sebesar 735 juta ton untuk tahun 2025, mengalami kenaikan sebesar 3,52 persen dibandingkan target tahun sebelumnya yang mencapai 710 juta ton. Peningkatan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan dalam negeri serta permintaan ekspor yang terus berlanjut.
Dari total produksi yang ditargetkan, sekitar 230 juta ton dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik, yang setara dengan sekitar 30,3 persen dari total produksi nasional.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno, menegaskan bahwa angka target produksi selalu lebih kecil dibandingkan dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) batu bara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti permasalahan lahan yang tidak dapat dibebaskan atau kendala administratif lainnya yang menyebabkan adanya perbedaan antara target produksi dan RKAB.
Sementara itu, berdasarkan RKAB tahun 2025, total produksi batu bara nasional diproyeksikan berada pada kisaran 900 juta ton.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara ESDM Julian Ambassadur Shiddiq, mengungkapkan bahwa meskipun target resmi lebih rendah, angka dalam RKAB memberikan gambaran lebih luas mengenai potensi produksi yang dapat dicapai oleh industri pertambangan di Indonesia.
Di sisi lain, peningkatan produksi ini terjadi di tengah tren penurunan harga batu bara global. Mengutip data dari Trading Economics, harga batu bara tercatat berada di level 118,5 dolar AS per ton pada awal Februari, mengalami kenaikan sebesar 1,37 persen dibandingkan penutupan akhir Januari. Namun, dalam sebulan terakhir, harga batu bara mengalami penurunan sebesar 4,9 persen.
Sejak awal tahun, harga komoditas ini telah mengalami koreksi sebesar 5,39 persen, turun 6,75 dolar AS per ton. Proyeksi ke depan menunjukkan bahwa harga batu bara kemungkinan akan terus melemah dan diperkirakan mencapai 118,28 dolar AS per ton pada akhir kuartal pertama tahun ini.
Dengan kondisi pasar yang masih fluktuatif, strategi pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara produksi, kebutuhan dalam negeri, dan ekspor menjadi krusial. Keputusan untuk meningkatkan produksi harus disertai dengan langkah mitigasi risiko, terutama mengingat harga komoditas yang masih bergejolak.
Selain itu, industri batu bara juga perlu beradaptasi dengan kebijakan energi global yang semakin mengarah pada transisi menuju energi bersih, yang dapat mempengaruhi permintaan batu bara dalam jangka panjang.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.